Kamis, 28 Mei 2015

PERANAN PINANDITA DALAM UPACARA YADNYA



A.  Peranan Pinandita dalam Upacara Yadnya
Kata pinandita bearasal kata dasar pandita kemudian mendapat sisipan “in” yang artinya di. Sehingga pinandita adalah rohaniawan hindu yang bertugas selaku pembantu mewakili pendeta, yang upacar penyuciannya tingkat ekajati atau lebih dikenal dengan istilah mewinten. Dalam masyarakat istilah pinandita lebih lazim disebut dengan sebutan  pemangku. Kata Pemangku berasal dari kata “Pangku” yang disamakan artinya dengan “nampa” , “menyangga” atau “memikul beban” atau “memikul tanggung jawab”. Dalam hal ini memikul beban atau tanggungjawab sebagai pelayan atau perantara antara manusia dengan Sang Pencipta (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atau dengan kata lain, tannggung jawab sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat itu dinamakan Pemangku.
Sebagai seorang pinandita hendaknya mampu bekerja tanpa pamrih atau Niskama Karma dan keyakinannya dinyalakan oleh api pengetahuan atau Jnana Agni, dalam arti seorang pinandita hendaknya mampu mbersikap bijaksana dengan dicerahkan oleh api pengetahuannya. Hal ini terkait dengan sloka dalam Bhagavadgita IV.19 (Suhardana, 2008:13), yang menyatakan:
Yasyasarve samarambhah kamasamkalpa varjitah
Jnanagni dagdha karmanam tam ahuh panditam budhha

Artinya
Orang yang melakukan pekerjaan tanpa pamrih, yang kegiatannya dibakar oleh api ilmu pengetahuan dinamakan orang yang arif sebagai pendeta yang budiman.

Dalam hal ini pinandita sebagai rohaniawan hindu diartikan juga sebagai orang yang mencapai kebebasab jiwa, sedangkan kegiatannya dibakar oleh api ilmu pengetahuan, artinya semua pekerjaannya terbebas dari ikatan keduniawian untuk menuju kelepasan.
Pinandita atau pemangku berhak untuk memimpin upacara yadnya karena telah melakukan pawintenan tingkat ekajati. Kata pawintenan itu sendiri berasal dari kata winten, yang dapat diartikan dengan inten (berlian), permata bercahaya. Pawintenan atau mawinten mengandung arti melaksanakan suatu upacara untuk mendapatkan sinar (cahaya) terang dari Sang Hyang Widhi Wasa, supaya dapat mengerti, mengetahui, serta menghayati ajaran pustaka suci Veda tanpa aral melintang. Makna dari pawintenan di sini tidak lain mohon waranugraha Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Sanghyang Guru, yang memberi tuntunan, Sanghyang Gana memberikan perlindungan dan membebaskan segala bentuk rintangan, dan Sanghyang Saraswati sebagai pemberi anugerah ilmu pengetahuan suci Veda.
 Di dalam beberapa lontar dan juga keputusan dari jawatan agama Propinsi Bali No. 85/Dh.B/SK/U-15/1970 tanggal 20 April 1970 serta keputusan seminar aspek-aspek Agama Hindu di Amlapura Bali menyebutkan bahwa ada beberapa tingkatan pewintenan, antara lain :
a. Pewintenan Saraswati (Mulai Mempelajari Agama)
b.Pewintenan Bunga (Pewintenan setelah berumah tangga)
c. Pewintenan Sari (Mulai mempelajari kitab Suci Veda atau cakepan Lontar)
d. Pewintenan Gede (Menjadi pemangku atau Jro Mangku yang lazim disebut Pinandita).
Dalam Lontar Raja Purana Gama, dilihat dari Swadharma maupun tempatnya melaksanakan tugas sehari-hari, pemangku dibedakan menjadi:
1.  Pemangku Pura dalem, Puseh dan Bale Agung.
2.   Pemangku Pamongmong.
3.  Pemangku Jan Banggul.
4.   Pemangku Cungkub.
5.   Pemangku Nilarta.
6.   Pemangku Pandita.
7.   Pemangku Bhujangga.
8.   Pemangku Balian.
9.   Pemangku Lancuban.
10.  Pemangku Dalang.
11.  Pemangku Tukang.
12.  Pemangku Kortenu.

Sedangkan berdasarkan fungsinya, Pemangku dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu:
1)   Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura, seperti Pemangku Sad Kahyangan, Pura dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Paibon, Pura Panti, Pura dadia, Pura Kawitan, Pura Pedharmaan, Merajan/sanggah dan lain-lain. Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura adalah Pemangku yang bertanggung jawab atas pelaksanaan yadnya di Pura. Dengan tanggung jawab untuk melaksanakan yadnya di Pura, jelaslah bahwa seorang Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura mempunyai tugas yang cukup berat. Pemangku harus bertanggung jawab juga atas kesucian Pura dan lain-lain kegiatan yang berkaitan dengan Pura yang diemongnya. Pemangku harus selalu menjaga kesucian dirinya, harus selalu “mepeningan “ atau “asuci laksana” dengan selalu menjaga kebersihan dan kesucian jasmani maupun rokhaninya.
Disamping itu Pemangku juga harus menjaga “Kelingsirannya” meskipun usianya masih muda dalam arti harus dapat memberi contoh yang baik, harus dapat menjadi manusia panutan dan selalu berfikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik (mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha).
2)   Pemangku Dalang, Pemangku tukang dan lain-lain yang sejenis. Pemangku Dalang, Pemangku Tukang dan lain-lain adalah orang memikul beban atas tugas pekerjaan tertentu seperti pedalangan, tukang dan lain-lain.


1.    Hak dan Kewajiban Pemangku
a.    Hak Pinandita (Pemangku)
Dalam paruman sulinggih (1990/1998:9) menguraikan bahwa hak seorang pemangku, diantaranya:
1)   Mengingat tugas berat yang disandang pemangku, maka pemangku dibebaskan dari ayah-ayahan desa sesuai tingkat kepemangkuan.
2)   Pemangku dapat menerima sesari atau aturan sesuai dengan pararem desa adat, seperti contoh tribhaga yakni dibagi tiga sesuai kepatutan desa adat.
3)   Pemangku dapat menerima bagian dan hasil pelaba pura (apabila pura memilikinya)
4)   Dapat ngeloka pala sraya sampai dengan upakara padudusan alit dan disesuaikan dengan kemampuan, tingkat pawintanan, serta waranugraha nabenya.
5)   Apabila pemangku meninggal dunia, segala upacara/upakaranya ditanggung oleh sang sane ngadegang, sesuai dengan kepemangkuannya.

b.    Kewajiban Pemangku
Dalam tugas mulai pemangku sebagai pelayan umat terutama dalam pelaksanaan upacara Agama tentunya memiliki batas-batas kewajiban dan wewenang yang kewenangannya tidak sama dengan wewenang sulinggih, perlu dibuatkan batasan-batasan kewenangan secara tegas dan jelas sesuai dengan tingkat kesucian yang nantinya merupakan fungsionalisasi dimasyarakat sesuai dengan ajaran “Catur Asrama”. Kewajiban dan wewenang Pemangku antara lain:
1)   Pemangku; wenang menyelesaikan upacara pujawali atau piodalan pada pura yang langsung oleh suatu masyarakat tertentu dengan tingkat upakaranya seperti piodalan biasa. Pemangku menyelesaikan (nganteb) upacara diluar Pura yang diemongnya seperti melaksanakan Upacara Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya telah diberikan wewenang namun selalu mempergunakan tirtha Sulinggih.
2)   Pemangku diberikan kewenangan nganteb piodalan dipemerajan-pemerajan uma, tetapi menggunakan tirtha sulinggih dan tingkat upakaranya adalah mesek taman kebawah. Didalam nganteb upacara Bhuta Yadnya, pemangku diberikan wewenang pada tingkat upakara manca sata kebawah dengan mempergunakan tirtha sulinggih.
3)   Sang pemangku diberikan wewenang menyelesaikan (nganteh) upacara Manusia Yadnya sesuai dengan Dharma Kahuripan dalam tingkat upakara madya dengan mempergunakan tirtha Sulinggih. Sehubungan dengan pelaksanaan upacara pitra yadnya sang pemangku diberikan kewenangan menyelesaikan upacara (nganteb) saji pitra hanya untuk pada tingkat mendem sawa.
Pemangku tidak memiliki wewenang membuat tirtha pengentas, melaksanakan pengaksaran, atau sebagai pelaksana pengabenan, kecuali ada purana atau perarem klian. Sehubungan dengan pembangunan tempat suci untuk pura-pura seperti Pura Tri Kahyangan, Sad Kahyangan, pemangku tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan pasupatinya(dasar bangunan) dan panca datu (pedagingan) karena hal itu adalah wewenang sulinggih.  Dalam hal mamuja, pemangku tidak berwenang mempergunakan Puja Parikrama,selain dari geglaran Kusuma Dewa.

2.    Kedudukan Dan Fungsi Pinandita
a.    Kedudukan Pinandita
Kedudukan pinandita (pemangku) mengandung pengertian yang penuh makna, dimana kata makna digunakan dalam berbagai bidang maupun konteks pemakaian. Makna disejajarkan pengertiannya dengan arti.pengertian makna sebagai istilah adalah hubungan antara bahasa dan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Makna bukan saja menunjukan pada tanda, bukan hanya menunjuk pada fakta keseharian, melainkan juga menunjuk pada suatu yang mempribadi pada realitas yang transendental. Denga demikian, pada saat pinandita mengantarkan yadnya mempunyai makna simbolik sebagai Undagan Bhatara.
Hal ini termuat dalam Lontar Kusuma Dewa dalam (Wismara,2010:53), dimana sebelum melakukan stawa (pemujaan) pinandita melakukan puja Siwa kedalam dirinya (Siwa, SadaSiwa, dan Parama Siwa) . Sedangkan dalam Lontar Tattwa Dewa  menyebutkan diantaranya:
“Inilah aji brata namanya, prilaku menjadi pemangku, menyucikan diri setiap hari purnama dan tilem sebagai kelengkapan melaksanakan brata mampu untuk makan nasi dengan lauk kacang-kacangan dan garam, jangan makan daging babi selama setahun”.
“Makan nasi hanya dengan garam saja selama sebelas hari setelah itu makan nasi dengan lauk serba bunga-bungaan selama tiga hari, inilah yang disebut brata wisnu murti kemudian makan nasi dengan lauk pauknya bebas setiap habis makan tidak boleh minum air selama sebelas hari, puncak brata namanya”.

Menyimak isi petikan diatas telah mengandung pendidikan dan tuntunan tentang beretika kepada umat Hindu, dan khususnya kepada pinandita agar betul-betul mampu mempertahankan kesucian dirinya.

b.    Fungsi Pinandita
Disamping harus mengetahui bagaimana kedudukan pinadita dalam menjalankan tugasnya, hendaknya juga mengetahui bagaimana fungsi pinandita dalam melaksanakan tugasnya sebagai rohaniawan Hindu. Untuk mengungkap makna dan fungsi pemangku bertumpu pada teori simbol dan fungsional-struktural, Tuhan didalam pandangan Weda merupakan “Acintya” yang artinya tidak terpikirkan oleh akal manusia. Wujud Tuhan yang tidak terpikirkan itu akan sangat sulit untuk dibayangkan oleh umat manusia secara umum.
Oleh karena itu melalui simbol (Nyasa)wujudnya dapat dikhayalkan menurut fantasi manusia yakni salah satunya dengan mantra bijaksara yang dilakukan oleh pinandita. Melalui bentuk nyasa (simbol) mantra bijaksara inilah idealiasi daripada bentuk yang semula tidak terkhayalkan itu diwujudkan secara nyata. Dasaksara adalah huruf-huruf sakti yang mempunyai kekuatan religius-magis, sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat, (1985:27-28). Dipandang sebagai ini aksara adalah simbol Tuhan dan manifestasinya.
Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan Tuhan. Kemehakuasaan Tuhan tertinggi mempunyai makna dengan simbol bijaksara. Sedangkan magis adalah semua tindakan manusia untuk mencapai suatu maksud malalui kekuatan-kekuatan yang ada pada Tuhan dengan demikian aksara sebagai simbol Tuhan yang memiliki dua definisi yaitu Transenden (hubungan manusia dengan  Tuhan, berdimensi vertikal) dan Imanen (hubungan manusia dengan menusia dalam pemanfaatan bijaksara sebagai pengantar yadnya oleh pinandita, berdimensi horisontal).
Dalam penyelesaian pelaksanaan upacara, Pinandita mempunyai fungsi yang sangat penting karena ia merupakan salah satu orang yang telah disucikan yang mampu untuk menyampaikan permintaan masyarakat kepada Tuhan dalam segala manifestasinya. Pinandita mempunyai fungsi religius-magis dala mangantarkan suatu yadnya.
Religius artinya kesatuan sistem kepercayaan dan tindakan yang berhubungan dengan baranng-barang yang suci. Barang-barang suci adalah barang atau benda yang diasingkan dan diberikan larangan atasnya. Sedangkan magis adalah kepercayaan yang primitif yang masih mengandung unsur yakin, pada kemanjuran akan kekuatan manusia mempergunakan mantra dan perbuatan ritus yang terbatas dalam hal tekniknya serta dikendalikan untuk maksud-maksud praktis tertentu. Sehingga pelaksanaan upacara magis yang tekniknya berdasarkan kepercayaan kepada kekuatan kesaktian dapat digunakan untuk menarik kekuatan positif, hal ini dapat dilakukan dengan mempergunakan puja atau stawa mantra.

3.    Peranan Pemangku Dalam Masyarakat
Pemangku mempunyai peranan yang sangat penting dalam masyarakat beragama Hindu. Dikatakan penting karena setiap upacara atau yajna, sepanjang tidak mempergunakan Sulinggih, maka Pemangkulah yang diminta bantuannya untuk nganteb upakara (banten). Memang tidak semua upacara harus diselesaikan oleh Pendeta dan atau Pemangku, sebab ada pula upacara-upacara kecil yang tidak mempergunakan jasa Sulinggih maupun Pinandita. Pada umumnya masyarakat sudah memahami tradisi dan kebiasaan, mana upacara yang harus dipuput oleh Pendeta, mana yang harus dihaturkan oleh Pemangku dan mana yang dapat dipersembahkan sendiri. Dalam hal dipergunakannya bantuan Pemangku, maka Pemangku tersebut berfungsi sebagai perantara antara umat yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan/Leluhur. Karena itu tugas Pemangku sering disebutkan sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat. Dalam posisinya sebagai pelayan itulah Pemangku menduduki posisi yang sangat penting dan terhormat.
Mengingat peranan penting tersebut, maka seorang Pemangku diharapkan dapat menjadi panutan, dapat memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya  dan selalu ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itulah sebabnya, maka untuk bisa menjadi Pemangku tidaklah mudah, karena harus dipenuhi berbagai persyaratan.
Selain berperan dalam memimpin upacara yadnya seorang pinandita juga perperan penting dalam memberi tuntunan kepada masyarakat dalam melaksanakan Dharma Agama dan Dharma Negara. Didalam konteks melaksanakan dharma negara dan dharma agama, sebagai rohaniawan tentunya sorang pinandita mempunyai peran yang penting dalam mengemban tugas dan misi suci Tuhan yang mulia.  Peranan pinandita dalan hal ini dapat dibagi menjadi dua, yakni:
1)   Pinandita berperan dalam menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama masyarakat yang disebut Jagathita, dengan cara memberikan tuntunan rohani, dapat memberi contoh yang baik, pembinaan mental dan spiritual umat, membantu kehidupan beragama dilingkungan masyarakat bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan diri dan selalu ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Dalam hal inilah sesungguhnya arti penting dari loka phala sraya yang berarti menjadi sandaran umat dalam mewujudkan suatu kehidupan yang aman, sentosa dan sejahtera yang biasa disebut dengan kasukerthan jagat.
Disamping berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup umat, seorang pinandita juga berperan dalam memohon keselamatan negara atau yang disebut dengan ngayasang jagat, dengan cara melakukan pemujaan setiap hari kepada Sanng Hyang Widhi, sebagaimana dilaksanakan dalam Surya sewana  yang bertujuan untuk menyucikan lahir batin dan memohon keselamatan jagat.
2)   Seorang pinandita berperan sebagai Sang Adhi Guru Loka yaitu tempat bertanya bagi umat, serta menuntun masyarakat/umat dalam merealisasikan kebenaran dalam hidup ini. Harapan ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam kitab Sarasamuscaya sloka 40 yang berbunyi:
Srutyuktah Paramo Dharmastatha
Smrtigato Parah
Sista Carah Parah Proktas
Trayo Dharmah Sanatanah”

Terjemahannya:
Maka yang patut diingat adalah segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti disebut Dharma, demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi yempat penyucian diri dan oranng yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).

Dari sloka terbut dengan tegas manjelaskan terdapat empat peran seorang pinandita, diantaranya:
a.    Sebagai Sang satya Vadi
Seorang pinandita hendaknya senantiasa menawarkan kebenaran dengan cara yang baik dan benar. Dalam hal ini pinandita berperan dalam menyadarkan umat agar senantiasa berprilaku yang baik dengan usaha melakukan pengendalian diri baik secara jasmani maupun rohani. Pengendalian tersebut diantaranya dengan melaksanakan ajaran Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata.

b.    Sebagai Sang Apta
Pinandita sebagai rohaniawan hindu hendaknya menjadi orang yang dapat dipercaya, karena selalu berkata yang benar dengan cara yang benar dan jujur.
c.    Sebagai Sang Patirtaning Sarat
Dalam hal ini pinandita berperan sebagai tempat memohon tuntunan ataupun perlindungan (mesayuban) bagi uamt, tempat menyucikan diri dan menuntun umat secara spiritual untuk dapat menempuh hidup suci agar terhindar dari perbuatan yang tercela. Dalam kaitannya dengan peningkatan spiritual umat, maka pinandita disini berperan dalam membimbing umat agar senantiasa menjaga kesucian rohani demi meningkatkan spiritualitas karena dengan tingkat spiritual yang bagus maka kehidupan yang tenang dapat dicapai. Misalnya saja mengajari umat yoga dan meditasi sebagai usaha untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi.
d.   Sebagai Sang Penadahan Upedesa
Pinandita berperan dalam memberikan pendidikan moral kesusilaan agar masyarakat hidup harmonis dengan moral yang luhur, memajukan pengetahuan dan keterampilan. Hal ini dicapai karena hidupnya telah dicerahkan sinar ilmu pengetahuan suci yang di sebut Jnana Agni yang mampu untuk memberikan sinar suci kepada umat yang dijadikan sebagai suluh dalam menjalankan hidupnya. Misalnya seorang pinandita memberikan pencerahan rohani kepada umat melalui kegiatan Dharmawacana atau Dharmatula yang berisikan ajaran-ajaran suci yang dapat meningkatkan pemahaman umat terhadap ajaran agama sehingga mempu meningkatkan spiritualitas umat.
Tugas atau peran seorang pinandita juga dijelaskan dalam beberapa sloka dalam kitab veda, diantaranya:
a.       Yajurweda XXXIII.82
Pavakavarnah sucayovipascitah
Artinya:
Para Brahmana (guru/pendeta) harusnya bersinar seperti sinar api, bijak dan terpelajar.
b.      Rgweda IX.107.7
Rsir vipro vicaksanah
Artinya:
Seorang Brahmana (guru) memiliki pengetahuan yang dalam dan kekuatan yang membedakan mana yang baik dan buruk, dia bijak.
c.       Rgweda IX.87.3
Rsir viprah pura-eta jananam
Artinya:
Seorang guru adalah seorang yang memiliki wawasan kedepan, bijaksana dan pemimpin di masyarakatnya.
d.      Rgweda VII.87.4
Yugaya vipra uparaya siksan
Artinya:
Brahmana atau guru yang berpengetahuan tinggi menanamkan pengetahuan kepada murid (sisya) yang mendekatinya.
e.       Atharwa weda XI.5.14
Acaryo mrtyur varubah, soma osadhayah payah
Artinya:
Brahma atau guru hendaknya keras bagai yama (dewa kematian), seorang hakim bagaikan dewa waruna, pemberi semangat hidup bagai dewa soma, penghancur sifat-sifat buruk bagaikan tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat dan penyegar bagai air.
f.       Atharwaweda XX.21.2
Siksanarah pradivo akamakarsanah
Artinya:
Brahmana atau guru adalah seseorang yang memperoleh pencerahan dan dia tidak menutup keinginan para murid (sisyanya).

Selain memiliki peran, seorang pinandita juga memiliki kewajiban yang disebut Dasakramaparamartha, diantaranya:
a.    Tapa, artinya teguh dan kuat pendirian dalam memuja SangHyang Widhi (Dewaarcana) dan melaksanakan dharmaning kawikon serrta mengucapkan puja, japa, mantra, dan weda setiap hari.
b.    Brata, artinya melaksanakan disiplin bathin, mengurang makan (aharalaghawa) dan mengurangi tidur, tidak melanggar pantangan, meninggalkan pengaruh panca indrya serta taat melaksanakan yama-niyama brata.
c.    Yoga, artinya melatih pernapasan (pranayama) guna menyeimbangkan stula sarira dengan suksma sarira sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa dan melebur dasamala pada diri.
d.    Samadhi artinya memusatkan pikiran ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga tidak terpengaruh dengan suatu kondisi luar (nirwikara).
e.    Santa artinya berpikir cemerlang dan berpenampilan serba tenang.
f.      Sanmata artinya berperasaan yang riang dan gembira meskipun dalam menghadapi cobaab-cobaan hidup.
g.    Maitri artinya senang mengatakan yang baik dan benar serta berprilaku yang baik dan santun.
h.    Karuna artinya senang bertukar pikiran dengan sesama. Baik dengan hal yang bersifat wahyu maupun dengan hal-hal yang bersifat adhyatmika dan mengasihi sarwa tumuwuh atau sesama mahluk.
i.      Upeksa artinya tahu tentang perbuatan baik dan buruk, perbuatan benar dan salah serta suka memberi petunjuk kepada orang yang belum memahami arti baik dan buruk.
j.      Mudhita artinya mencintai kebenaran dan memiliki budi pekerti yang luhur cemerlang dalam kehidupan.

Daftar Referensi:

Wismara, Ida Bagus Alit. 2010. Kedudukan Pemangku Dalam Beryadnya. Surabaya: Paramita.
Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya. 2003. Agem-Ageman Kepemangkuan. Surabaya: Paramita.
Sumber Internet:
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar