A.
Peranan
Pinandita dalam Upacara Yadnya
Kata pinandita bearasal kata dasar
pandita kemudian mendapat sisipan “in” yang artinya di. Sehingga pinandita
adalah rohaniawan hindu yang bertugas selaku pembantu mewakili pendeta, yang
upacar penyuciannya tingkat ekajati atau lebih dikenal dengan istilah mewinten.
Dalam masyarakat istilah pinandita lebih lazim disebut dengan sebutan pemangku. Kata
Pemangku berasal dari kata “Pangku” yang disamakan artinya dengan “nampa” ,
“menyangga” atau “memikul beban” atau “memikul tanggung jawab”. Dalam hal ini
memikul beban atau tanggungjawab sebagai pelayan atau perantara antara manusia
dengan Sang Pencipta (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atau dengan kata lain,
tannggung jawab sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai
pelayan masyarakat itu dinamakan Pemangku.
Sebagai seorang pinandita
hendaknya mampu bekerja tanpa pamrih atau Niskama Karma dan keyakinannya
dinyalakan oleh api pengetahuan atau Jnana Agni, dalam arti seorang pinandita
hendaknya mampu mbersikap bijaksana dengan dicerahkan oleh api pengetahuannya.
Hal ini terkait dengan sloka dalam Bhagavadgita IV.19 (Suhardana, 2008:13),
yang menyatakan:
Yasyasarve samarambhah kamasamkalpa varjitah
Jnanagni dagdha karmanam tam ahuh panditam budhha
Artinya
Orang yang melakukan
pekerjaan tanpa pamrih, yang kegiatannya dibakar oleh api ilmu pengetahuan
dinamakan orang yang arif sebagai pendeta yang budiman.
Dalam hal ini pinandita
sebagai rohaniawan hindu diartikan juga sebagai orang yang mencapai kebebasab
jiwa, sedangkan kegiatannya dibakar oleh api ilmu pengetahuan, artinya semua
pekerjaannya terbebas dari ikatan keduniawian untuk menuju kelepasan.
Pinandita atau pemangku
berhak untuk memimpin upacara yadnya karena telah melakukan pawintenan tingkat
ekajati. Kata pawintenan itu sendiri berasal dari kata winten, yang dapat
diartikan dengan inten (berlian), permata bercahaya. Pawintenan atau mawinten
mengandung arti melaksanakan suatu upacara untuk mendapatkan sinar (cahaya)
terang dari Sang Hyang Widhi Wasa, supaya dapat mengerti, mengetahui, serta
menghayati ajaran pustaka suci Veda tanpa aral melintang. Makna dari pawintenan
di sini tidak lain mohon waranugraha Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya
sebagai Sanghyang Guru, yang memberi tuntunan, Sanghyang Gana memberikan
perlindungan dan membebaskan segala bentuk rintangan, dan Sanghyang Saraswati
sebagai pemberi anugerah ilmu pengetahuan suci Veda.
Di dalam beberapa lontar dan juga keputusan dari jawatan
agama Propinsi Bali No. 85/Dh.B/SK/U-15/1970 tanggal 20 April 1970 serta
keputusan seminar aspek-aspek Agama Hindu di Amlapura Bali menyebutkan bahwa
ada beberapa tingkatan pewintenan, antara lain :
a. Pewintenan Saraswati (Mulai Mempelajari Agama)
b.Pewintenan Bunga (Pewintenan setelah berumah tangga)
c. Pewintenan Sari (Mulai mempelajari kitab Suci Veda atau
cakepan Lontar)
d. Pewintenan Gede (Menjadi pemangku atau Jro Mangku yang lazim
disebut Pinandita).
Dalam Lontar Raja Purana
Gama, dilihat dari Swadharma maupun tempatnya melaksanakan tugas
sehari-hari, pemangku dibedakan menjadi:
1. Pemangku Pura dalem, Puseh dan Bale Agung.
2. Pemangku Pamongmong.
3. Pemangku Jan Banggul.
4. Pemangku Cungkub.
5. Pemangku Nilarta.
6. Pemangku Pandita.
7. Pemangku Bhujangga.
8. Pemangku Balian.
9. Pemangku Lancuban.
10.
Pemangku
Dalang.
11.
Pemangku
Tukang.
12.
Pemangku Kortenu.
Sedangkan berdasarkan
fungsinya, Pemangku dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu:
1) Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura, seperti Pemangku
Sad Kahyangan, Pura dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Paibon, Pura
Panti, Pura dadia, Pura Kawitan, Pura Pedharmaan, Merajan/sanggah dan
lain-lain. Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura adalah Pemangku yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan yadnya di Pura. Dengan tanggung jawab untuk melaksanakan
yadnya di Pura, jelaslah bahwa seorang Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku
Pura mempunyai tugas yang cukup berat. Pemangku harus bertanggung jawab juga
atas kesucian Pura dan lain-lain kegiatan yang berkaitan dengan Pura yang
diemongnya. Pemangku harus selalu menjaga kesucian dirinya, harus selalu
“mepeningan “ atau “asuci laksana” dengan selalu menjaga kebersihan dan kesucian
jasmani maupun rokhaninya.
Disamping itu Pemangku
juga harus menjaga “Kelingsirannya” meskipun usianya masih muda dalam arti
harus dapat memberi contoh yang baik, harus dapat menjadi manusia panutan dan
selalu berfikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik (mengamalkan
ajaran Tri Kaya Parisudha).
2)
Pemangku
Dalang, Pemangku tukang dan lain-lain yang sejenis. Pemangku Dalang, Pemangku
Tukang dan lain-lain adalah orang memikul beban atas tugas pekerjaan tertentu
seperti pedalangan, tukang dan lain-lain.
1.
Hak dan Kewajiban Pemangku
a.
Hak
Pinandita (Pemangku)
Dalam paruman sulinggih
(1990/1998:9) menguraikan bahwa hak seorang pemangku, diantaranya:
1) Mengingat tugas berat yang disandang pemangku, maka pemangku
dibebaskan dari ayah-ayahan desa sesuai tingkat kepemangkuan.
2) Pemangku dapat menerima sesari atau aturan sesuai dengan pararem
desa adat, seperti contoh tribhaga yakni dibagi tiga sesuai kepatutan desa
adat.
3) Pemangku dapat menerima bagian dan hasil pelaba pura (apabila
pura memilikinya)
4) Dapat ngeloka pala sraya sampai dengan upakara padudusan alit
dan disesuaikan dengan kemampuan, tingkat pawintanan, serta waranugraha
nabenya.
5) Apabila pemangku meninggal dunia, segala upacara/upakaranya
ditanggung oleh sang sane ngadegang, sesuai dengan kepemangkuannya.
b.
Kewajiban Pemangku
Dalam tugas mulai pemangku sebagai
pelayan umat terutama dalam pelaksanaan upacara Agama tentunya memiliki
batas-batas kewajiban dan wewenang yang kewenangannya tidak sama dengan
wewenang sulinggih, perlu dibuatkan batasan-batasan kewenangan secara tegas dan
jelas sesuai dengan tingkat kesucian yang nantinya merupakan fungsionalisasi
dimasyarakat sesuai dengan ajaran “Catur Asrama”. Kewajiban dan wewenang
Pemangku antara lain:
1) Pemangku;
wenang menyelesaikan upacara pujawali atau piodalan pada pura yang langsung
oleh suatu masyarakat tertentu dengan tingkat upakaranya seperti piodalan
biasa. Pemangku menyelesaikan (nganteb) upacara diluar Pura yang diemongnya
seperti melaksanakan Upacara Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya telah diberikan
wewenang namun selalu mempergunakan tirtha Sulinggih.
2) Pemangku
diberikan kewenangan nganteb piodalan dipemerajan-pemerajan uma, tetapi
menggunakan tirtha sulinggih dan tingkat upakaranya adalah mesek taman kebawah.
Didalam nganteb upacara Bhuta Yadnya, pemangku diberikan wewenang pada tingkat
upakara manca sata kebawah dengan mempergunakan tirtha sulinggih.
3) Sang
pemangku diberikan wewenang menyelesaikan (nganteh) upacara Manusia Yadnya
sesuai dengan Dharma Kahuripan dalam tingkat upakara madya dengan mempergunakan
tirtha Sulinggih. Sehubungan dengan pelaksanaan upacara pitra yadnya sang
pemangku diberikan kewenangan menyelesaikan upacara (nganteb) saji pitra hanya
untuk pada tingkat mendem sawa.
Pemangku
tidak memiliki wewenang membuat tirtha pengentas, melaksanakan pengaksaran,
atau sebagai pelaksana pengabenan, kecuali ada purana atau perarem klian.
Sehubungan dengan pembangunan tempat suci untuk pura-pura seperti Pura Tri
Kahyangan, Sad Kahyangan, pemangku tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan
pasupatinya(dasar bangunan) dan panca datu (pedagingan) karena hal itu adalah
wewenang sulinggih. Dalam hal mamuja,
pemangku tidak berwenang mempergunakan Puja Parikrama,selain dari geglaran
Kusuma Dewa.
2.
Kedudukan
Dan Fungsi Pinandita
a. Kedudukan
Pinandita
Kedudukan pinandita (pemangku)
mengandung pengertian yang penuh makna, dimana kata makna digunakan dalam
berbagai bidang maupun konteks pemakaian. Makna disejajarkan pengertiannya
dengan arti.pengertian makna sebagai istilah adalah hubungan antara bahasa dan
dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat
saling dimengerti. Makna bukan saja menunjukan pada tanda, bukan hanya menunjuk
pada fakta keseharian, melainkan juga menunjuk pada suatu yang mempribadi pada
realitas yang transendental. Denga demikian, pada saat pinandita mengantarkan
yadnya mempunyai makna simbolik sebagai Undagan Bhatara.
Hal ini termuat dalam Lontar Kusuma Dewa dalam
(Wismara,2010:53), dimana sebelum melakukan stawa (pemujaan) pinandita
melakukan puja Siwa kedalam dirinya (Siwa, SadaSiwa, dan Parama Siwa) . Sedangkan
dalam Lontar Tattwa Dewa menyebutkan diantaranya:
“Inilah aji brata namanya, prilaku
menjadi pemangku, menyucikan diri setiap hari purnama dan tilem sebagai
kelengkapan melaksanakan brata mampu untuk makan nasi dengan lauk kacang-kacangan
dan garam, jangan makan daging babi selama setahun”.
“Makan nasi hanya dengan garam saja
selama sebelas hari setelah itu makan nasi dengan lauk serba bunga-bungaan
selama tiga hari, inilah yang disebut brata wisnu murti kemudian makan nasi dengan
lauk pauknya bebas setiap habis makan tidak boleh minum air selama sebelas
hari, puncak brata namanya”.
Menyimak
isi petikan diatas telah mengandung pendidikan dan tuntunan tentang beretika
kepada umat Hindu, dan khususnya kepada pinandita agar betul-betul mampu
mempertahankan kesucian dirinya.
b. Fungsi
Pinandita
Disamping harus mengetahui bagaimana
kedudukan pinadita dalam menjalankan tugasnya, hendaknya juga mengetahui
bagaimana fungsi pinandita dalam melaksanakan tugasnya sebagai rohaniawan
Hindu. Untuk mengungkap makna dan fungsi pemangku bertumpu pada teori simbol
dan fungsional-struktural, Tuhan didalam pandangan Weda merupakan “Acintya” yang artinya tidak terpikirkan
oleh akal manusia. Wujud Tuhan yang tidak terpikirkan itu akan sangat sulit untuk
dibayangkan oleh umat manusia secara umum.
Oleh karena itu melalui simbol (Nyasa)wujudnya dapat dikhayalkan menurut
fantasi manusia yakni salah satunya dengan mantra
bijaksara yang dilakukan oleh pinandita. Melalui bentuk nyasa (simbol) mantra bijaksara inilah
idealiasi daripada bentuk yang semula tidak terkhayalkan itu diwujudkan secara
nyata. Dasaksara adalah huruf-huruf sakti yang mempunyai kekuatan
religius-magis, sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat, (1985:27-28).
Dipandang sebagai ini aksara adalah simbol Tuhan dan manifestasinya.
Religi adalah segala sistem tingkah laku
manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada
kemauan dan kekuasaan Tuhan. Kemehakuasaan Tuhan tertinggi mempunyai makna
dengan simbol bijaksara. Sedangkan
magis adalah semua tindakan manusia untuk mencapai suatu maksud malalui
kekuatan-kekuatan yang ada pada Tuhan dengan demikian aksara sebagai simbol
Tuhan yang memiliki dua definisi yaitu Transenden (hubungan manusia dengan Tuhan, berdimensi vertikal) dan Imanen
(hubungan manusia dengan menusia dalam pemanfaatan bijaksara sebagai pengantar
yadnya oleh pinandita, berdimensi horisontal).
Dalam penyelesaian pelaksanaan upacara,
Pinandita mempunyai fungsi yang sangat penting karena ia merupakan salah satu orang
yang telah disucikan yang mampu untuk menyampaikan permintaan masyarakat kepada
Tuhan dalam segala manifestasinya. Pinandita mempunyai fungsi religius-magis
dala mangantarkan suatu yadnya.
Religius artinya kesatuan sistem
kepercayaan dan tindakan yang berhubungan dengan baranng-barang yang suci.
Barang-barang suci adalah barang atau benda yang diasingkan dan diberikan
larangan atasnya. Sedangkan magis adalah kepercayaan yang primitif yang masih
mengandung unsur yakin, pada kemanjuran akan kekuatan manusia mempergunakan
mantra dan perbuatan ritus yang terbatas dalam hal tekniknya serta dikendalikan
untuk maksud-maksud praktis tertentu. Sehingga pelaksanaan upacara magis yang
tekniknya berdasarkan kepercayaan kepada kekuatan kesaktian dapat digunakan untuk
menarik kekuatan positif, hal ini dapat dilakukan dengan mempergunakan puja
atau stawa mantra.
3.
Peranan Pemangku Dalam Masyarakat
Pemangku mempunyai
peranan yang sangat penting dalam masyarakat beragama Hindu. Dikatakan penting
karena setiap upacara atau yajna, sepanjang tidak mempergunakan Sulinggih, maka
Pemangkulah yang diminta bantuannya untuk nganteb upakara (banten). Memang
tidak semua upacara harus diselesaikan oleh Pendeta dan atau Pemangku, sebab
ada pula upacara-upacara kecil yang tidak mempergunakan jasa Sulinggih maupun
Pinandita. Pada umumnya masyarakat sudah memahami tradisi dan kebiasaan, mana
upacara yang harus dipuput oleh Pendeta, mana yang harus dihaturkan oleh
Pemangku dan mana yang dapat dipersembahkan sendiri. Dalam hal dipergunakannya
bantuan Pemangku, maka Pemangku tersebut berfungsi sebagai perantara antara
umat yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara
Kawitan/Leluhur. Karena itu tugas Pemangku sering disebutkan sebagai pelayan
Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat. Dalam posisinya sebagai
pelayan itulah Pemangku menduduki posisi yang sangat penting dan terhormat.
Mengingat peranan
penting tersebut, maka seorang Pemangku diharapkan dapat menjadi panutan, dapat
memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina
warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya dan selalu ingat kepada keagungan dan
kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itulah sebabnya, maka untuk bisa
menjadi Pemangku tidaklah mudah, karena harus dipenuhi berbagai persyaratan.
Selain berperan dalam memimpin upacara
yadnya seorang pinandita juga perperan penting dalam memberi tuntunan kepada
masyarakat dalam melaksanakan Dharma Agama dan Dharma Negara. Didalam konteks
melaksanakan dharma negara dan dharma agama, sebagai rohaniawan tentunya sorang
pinandita mempunyai peran yang penting dalam mengemban tugas dan misi suci
Tuhan yang mulia. Peranan pinandita
dalan hal ini dapat dibagi menjadi dua, yakni:
1)
Pinandita berperan
dalam menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama masyarakat yang
disebut Jagathita, dengan cara memberikan tuntunan rohani, dapat memberi contoh
yang baik, pembinaan mental dan spiritual umat, membantu kehidupan beragama dilingkungan
masyarakat bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga
masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan diri dan selalu ingat kepada keagungan
dan kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Dalam hal inilah sesungguhnya arti penting
dari loka phala sraya yang berarti
menjadi sandaran umat dalam mewujudkan suatu kehidupan yang aman, sentosa dan
sejahtera yang biasa disebut dengan kasukerthan jagat.
Disamping berbuat sesuatu untuk
menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup umat, seorang pinandita juga
berperan dalam memohon keselamatan negara atau yang disebut dengan ngayasang jagat, dengan cara melakukan
pemujaan setiap hari kepada Sanng Hyang Widhi, sebagaimana dilaksanakan dalam Surya sewana yang bertujuan untuk menyucikan lahir batin
dan memohon keselamatan jagat.
2)
Seorang pinandita
berperan sebagai Sang Adhi Guru Loka yaitu
tempat bertanya bagi umat, serta menuntun masyarakat/umat dalam merealisasikan
kebenaran dalam hidup ini. Harapan ini sesuai dengan makna yang terkandung
dalam kitab Sarasamuscaya sloka 40 yang
berbunyi:
“Srutyuktah
Paramo Dharmastatha
Smrtigato
Parah
Sista
Carah Parah Proktas
Trayo
Dharmah Sanatanah”
Terjemahannya:
Maka yang patut diingat adalah segala
apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti disebut Dharma, demikian pula tingkah
laku Sang Sista (Pandita) seharusnya jujur, setia pada kata-kata, dapat
dipercaya, orang yang menjadi yempat penyucian diri dan oranng yang memberi
ajaran-ajaran (nasehat).
Dari sloka terbut dengan tegas
manjelaskan terdapat empat peran seorang pinandita, diantaranya:
a. Sebagai
Sang satya Vadi
Seorang pinandita hendaknya senantiasa
menawarkan kebenaran dengan cara yang baik dan benar. Dalam hal ini pinandita
berperan dalam menyadarkan umat agar senantiasa berprilaku yang baik dengan
usaha melakukan pengendalian diri baik secara jasmani maupun rohani. Pengendalian
tersebut diantaranya dengan melaksanakan ajaran Panca Yama Brata dan Panca
Niyama Brata.
b. Sebagai
Sang Apta
Pinandita
sebagai rohaniawan hindu hendaknya menjadi orang yang dapat dipercaya, karena
selalu berkata yang benar dengan cara yang benar dan jujur.
c. Sebagai
Sang Patirtaning Sarat
Dalam
hal ini pinandita berperan sebagai tempat memohon tuntunan ataupun perlindungan
(mesayuban) bagi uamt, tempat menyucikan
diri dan menuntun umat secara spiritual untuk dapat menempuh hidup suci agar
terhindar dari perbuatan yang tercela. Dalam kaitannya dengan peningkatan
spiritual umat, maka pinandita disini berperan dalam membimbing umat agar
senantiasa menjaga kesucian rohani demi meningkatkan spiritualitas karena
dengan tingkat spiritual yang bagus maka kehidupan yang tenang dapat dicapai. Misalnya
saja mengajari umat yoga dan meditasi sebagai usaha untuk menghubungkan diri
dengan Sang Hyang Widhi.
d. Sebagai
Sang Penadahan Upedesa
Pinandita
berperan dalam memberikan pendidikan moral kesusilaan agar masyarakat hidup
harmonis dengan moral yang luhur, memajukan pengetahuan dan keterampilan. Hal
ini dicapai karena hidupnya telah dicerahkan sinar ilmu pengetahuan suci yang
di sebut Jnana Agni yang mampu untuk memberikan sinar suci kepada umat yang
dijadikan sebagai suluh dalam menjalankan hidupnya. Misalnya seorang pinandita
memberikan pencerahan rohani kepada umat melalui kegiatan Dharmawacana atau
Dharmatula yang berisikan ajaran-ajaran suci yang dapat meningkatkan pemahaman
umat terhadap ajaran agama sehingga mempu meningkatkan spiritualitas umat.
Tugas
atau peran seorang pinandita juga dijelaskan dalam beberapa sloka dalam kitab
veda, diantaranya:
a. Yajurweda
XXXIII.82
Pavakavarnah
sucayovipascitah
Artinya:
Para Brahmana (guru/pendeta) harusnya
bersinar seperti sinar api, bijak dan terpelajar.
b. Rgweda
IX.107.7
Rsir
vipro vicaksanah
Artinya:
Seorang Brahmana (guru) memiliki
pengetahuan yang dalam dan kekuatan yang membedakan mana yang baik dan buruk,
dia bijak.
c. Rgweda
IX.87.3
Rsir
viprah pura-eta jananam
Artinya:
Seorang guru adalah seorang yang
memiliki wawasan kedepan, bijaksana dan pemimpin di masyarakatnya.
d. Rgweda
VII.87.4
Yugaya
vipra uparaya siksan
Artinya:
Brahmana atau guru yang berpengetahuan
tinggi menanamkan pengetahuan kepada murid (sisya) yang mendekatinya.
e. Atharwa
weda XI.5.14
Acaryo
mrtyur varubah, soma osadhayah payah
Artinya:
Brahma atau guru hendaknya keras bagai
yama (dewa kematian), seorang hakim bagaikan dewa waruna, pemberi semangat
hidup bagai dewa soma, penghancur sifat-sifat buruk bagaikan tumbuh-tumbuhan
yang berkhasiat obat dan penyegar bagai air.
f. Atharwaweda
XX.21.2
Siksanarah
pradivo akamakarsanah
Artinya:
Brahmana atau guru adalah seseorang yang
memperoleh pencerahan dan dia tidak menutup keinginan para murid (sisyanya).
Selain
memiliki peran, seorang pinandita juga memiliki kewajiban yang disebut
Dasakramaparamartha, diantaranya:
a.
Tapa, artinya teguh dan
kuat pendirian dalam memuja SangHyang Widhi (Dewaarcana) dan melaksanakan dharmaning kawikon serrta mengucapkan
puja, japa, mantra, dan weda setiap hari.
b.
Brata, artinya
melaksanakan disiplin bathin, mengurang makan (aharalaghawa) dan mengurangi
tidur, tidak melanggar pantangan, meninggalkan pengaruh panca indrya serta taat
melaksanakan yama-niyama brata.
c.
Yoga, artinya melatih
pernapasan (pranayama) guna menyeimbangkan stula sarira dengan suksma sarira
sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa dan
melebur dasamala pada diri.
d.
Samadhi artinya
memusatkan pikiran ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga tidak
terpengaruh dengan suatu kondisi luar (nirwikara).
e.
Santa artinya berpikir
cemerlang dan berpenampilan serba tenang.
f.
Sanmata artinya
berperasaan yang riang dan gembira meskipun dalam menghadapi cobaab-cobaan
hidup.
g.
Maitri artinya senang
mengatakan yang baik dan benar serta berprilaku yang baik dan santun.
h.
Karuna artinya senang
bertukar pikiran dengan sesama. Baik dengan hal yang bersifat wahyu maupun
dengan hal-hal yang bersifat adhyatmika dan mengasihi sarwa tumuwuh atau sesama
mahluk.
i.
Upeksa artinya tahu
tentang perbuatan baik dan buruk, perbuatan benar dan salah serta suka memberi
petunjuk kepada orang yang belum memahami arti baik dan buruk.
j.
Mudhita artinya
mencintai kebenaran dan memiliki budi pekerti yang luhur cemerlang dalam
kehidupan.
Daftar Referensi:
Wismara,
Ida Bagus Alit. 2010. Kedudukan Pemangku Dalam Beryadnya. Surabaya: Paramita.
Wijayananda,
Ida Pandita Mpu Jaya. 2003. Agem-Ageman
Kepemangkuan. Surabaya: Paramita.
Sumber
Internet:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar