Kamis, 28 Mei 2015

KONSEP ATMAN DALAM PANDANGAN UPANISAD



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pada mulanya upanisad adalah nama sebuah model pembelajaran atau suatu tatacara belajar. Secara etimologi upanisad berasal dari kata upa yang artinya dekat, ni artinya di bawah, dan sad artinya duduk. Sehingga upanisad dapat diartikan sebagai suatu model pembelajaran dengan cara para sisya duduk dibawah dekat kaki sang guru. Seiring dengan perkembangan jaman, materi yang diajarkan dengan cara demikian juga disebut upanisad yang mengandung ajaran-ajaran yang bersifat rahasia. Materi yang diajarkan tersebut lambat laun dibukukan oleh para rsi untuk lebih mudah untuk dipelajari, sehingga buku tersebut disebut Kitab Upanisad.
Munculnya upanisad karena para rohaniawan hindu terutama dari kalangan ksatrya merasa tidak puas dengan penjelasan weda yang pertama yaitu kitab Brahmana yang menjelaskan weda dari segi karma kanda yaitu system upacara yadnya. Karena kitab Brahmana hanya menonjolkan weda dari sisi ritual, sehingga rohaniawan ingin mengetahui lebih mendalam sisi yang hakiki dari isi weda, meliputi pengetahuan kerohanian yang sangat rahasia. Kitab upanisad juga disebut Rahasya Jnana karena memuat ajaran-ajaran rahasia yang terkandung dalam weda.
Upanisad juga diartikan sebagai pengetahuan yang dapat mengantarkan orang untuk mencapai batas akhir suatu proses pencaharian yaitu lepasnya segala kebodohan (awidya) lalu menjadi pengetahuan (widya) yang artinya bijak. Kebijakan yang dicapai adalah kebijakan pengetahuan yang menurut Bhagawadgita tidak ada menyamai kesuciannya di dunia dan api kebijaksanaan pengetahuan yang akan membasmi segala karma. Oleh sebab itu, upanisad juga disebut wedanta artinya bagian puncak atau akhir weda yang berisi simpulan-simpulan weda.
Upanisad berisi  tentang kearifan weda yang disebut weda wijnanam yang meliputi lima keyakinan dasar agama hindu yang disebut Panca Sradha, terdiri dari keyakinan pada Brahman, keyakinan pada Atman, keyakinan pada Karmaphala, keyakinan pada Punarbhawa dan keyakinan pada Moksa. Pertama, sebagai umat hindu tentunya kita percaya akan keberadaan Tuhan, walaupun sebagai manusia yang memiliki keterbatasan kita tidak dapat melihat wujud Tuhan namun kita bisa merasakan kemahakuasaan beliau melalui hasil ciptaan-Nya. Eka Dewah Sarwah Bhutesu Jitah artinya hanya ada satu tuhan dan terasa pada seluruh ciptaannya.
Kedua, yakin akan adanya atman sebagai percikan-percikan terkecil dari Sang Hyang Widhi sebagai sumber hidup semua mahluk yang diibaratkan sama dengan percikan-percikan sinar yang bersumber dari matahari, kemudian terpancar menerangi segala pelosok alam semesta. Ketiga, percaya akan adanya karmaphala yang menekankan bahwa setiap perbuatan pasti akan mendatangkan phala atau hasil. Dari karmaphala ini pula timbul istilah hukum karmaphala sebagai hukum yang mengatur sebab akibat dimana ada sebab pasti ada akibat. Keempat yaitu percaya akan adanya kelahiran atanu penjelmaa kembali kedunia yang disebabkan oleh karma wasana yang merupakan bekas-bekas dari perbuatan baik perbuatan banik maupun perbuatan buruk. Dan yang kelima adalah percaya akan adanya moksa atau bebasnya atman dari ikatan duniawi dan mencapai kebahagiaan batin dan kesejahteraan jasmani dengan jalan dharma.
Dari kelima bagian Panca Sradha diatas, kami tertarik untuk lebih menjelaskan tentang atman, karena atman merupakan sesuatu yang sering dibicarakan, terlebih ada pada setiap makhluk hidup. Atman yang ada pada diri manusia disebut dengan jiwatman, yang mana disebutkan atman memiliki sifat yang sama satu dengan yang lain, namun kenapa manusia bias memiliki sifat yang berbeda, hal inilah yang memerlukan suatu pemikiran kritis untuk memahaminya. Rasa penasaran tentunya selalu hadir pada setiap insan menanggapi kenyataan yang tertuang dalam ajaran agama ini, olehnya pada kesempatan ini, penulis akan mengulas secara lebih mendalam tentang Atman yang penulis tuangkan dalam sebuah tulisan yang berjudul “Konsep Atman dalam Pandangan Upanisad”





B.  Rumusan Masalah
            Dari latar belakang yang telah penulis uraikan dapat dirumuskan beberapa permasalahan, antara lain:
1.    Apakah definisi atman?
2.    Bagaimanakah konsep atman dalam pandangan upanisad?
3.    Bagaimanakah atman setelah kematian?

C.  Tujuan Penulisan
            Dari rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini, antara lain:
1.    Agar penulis dan pembaca mengetahui definisi atman.
2.    Agar penulis dan pembaca mengetahui serta memahami bagaimana konsep atman menurut pandangan upanisad.
3.    Agar penulis dan pembaca mengetahui serta memahami bagaimana atman setelah kematian.















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Definisi Atman
Atman merupakan percikan-percikan kecil dari parama Atman yaitu Sang Hyang Widhi Wasa yang berada didalam mahluk hidup. Atman adalah pusat segala fungsi jasmani dan rohani manusia. Kata Atman, diambil dari kata An (bernafas), yaitu nafas kehidupan. Atman berasal dari Brahman, bagaikan matahari dengan sinarnya. Brahman sebagai matahari, dan atman-atman sebagai sinar-Nya yang terpencar memasuki dalam hidup semua makhluk.
Atman di dalam badan manusia disebut Jiwatman atau jiwa atau roh yaitu yang menghidupkan manusia. Jivatman bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh badan manusia yang tersusun dari unsure panca maha buta, menyebabkan atman tersebut bersifat maya. Jivatman tidak mengetahui asal dan sifat yang sesungguhnya, sehingga keadaan itu disebut Awidya.
 Atman sebagai percikan terkecil dari Sang Hyang Widhi tentunya memiliki hubungan yang erat dengan Brahman. Hubungan Atman dan Brahman ini dapat dilihat dari beberapa petikan sloka weda, antara lain:
Eko vasti sarvabhutantaratma
ekam bijam bahudha yah karoti
tam atmasyham ye’nupasyanti dhiras
tesyam sukham sasvatam netaresam
                                                (Katha Upanisad Bag II:12)
Artinya:        
Dia yang tunggal itulah penguasa semuanya
atma yang esa itu menjadikan dirinya tampak jamak
ia yang arif menyadari dia bersemayam dalam jiwa
memperoleh suka-cita kekekalan, bukan yang lainnya

Sarvam hy etad brahma
aham Atma Brahma
so’yam Atma catuspat
                                    ( Mandukya upanisad :2)
Artinya:
Semua ini adalah Brahman
Atman adalah Brahman
Atman, sang diri, memiliki empat kaki
Dari petikan dua mantra Upanisad diatas, maka dapat ditarik garis besar bahwa, Ia disebut Atman, ia dalah Brahman. Brahman atman aikyam, artinya Brahman adalah azas alam semesta sedangkan atma adalah azas pribadi atau individu. Sang Hyang Widhi dapat di ibaratkan sebagai matahari dan Atman sebagai sinar-sinarnya yang terpancar merasuki dalam hidup semua makhluk. Istilah Brahman sendiri berasal dari akar kata “brh” yang berarti menjadi besar atau kuat. Kata Brahman juga berarti roh impersonal keberadaan seseorang atau roh universal tunggal, keberadaan diri, yang mutlak, Yang Abadi. Atman merupakan prinsip kesadaran pribadi yang dalam Mandukya upanisad di istilahkan dengan empat kaki. Kesadaran antara lain Vaisvanara (kesadaran yang bergerak keluar) si penikmat kasar; Taijasa (kesadaran yang bergerak kedalam) yakni si pemikat hal-hal yang bersifat halus; Prajna (kesadaran yang diam/ tak memiliki keinginan) yakni si penikmat objektivitas yang tak berwujud dan Esa (kesadaran tertinggi). Sedangkan Brahman adalah dasar pribadi super dari kosmo. Segera setelah itu perbedaan diantara keduanya lenyap dan keduanya menjadi identik atau tunggal.
1.    Sifat-sifat Atman
Sesungguhnya Atman dan Brahman adalah tunggal karena Atman berasal dari Sang Hyang Widhi, sehingga Atmanpun memiliki sifat-sifat yang sama dengan Sang Hyang Widhi. Dalam Katha Upanisad disebutkan beberapa sifat Atman, diantaranya:
Esa sarvestu bhutesu
gudho ‘tma na prakasate,
drsyate tvargyaya buddhya
suksmaya suksma darsibhih
                                    (Katha Upanisad I.3.12)
Artinya :
Atman yang bercahaya halus itu
Ada dalam setiap mahluk
Ia hanya dapat di lihat oleh para rsi
Dengan budi yang tajam dan murni
Asabdam Asparsan Arupam Avyayam
tatha arasam nityam agandhavac ca yat
anady anantam mahatah param dhruvam
nicayya Tam Mrtyu Mukhat Pramucyate
                                    (Katha Upanisad I.3.15)

Artinya:
Atman itu tanpa suara, tidak teraba, tak berbentuk,
Tidak pernah tua, tanpa rasa, abadi, tanpa bahu,
Tanpa pemulaan, tanpa akhir, tak terjangkau, langgeng
Dengan menyadari Atman orang bebas dari kematian.
Dari petikan mantra Katha Upanisad telah jelas memaparkan sifat-sifat atma yakni ada disetiap mahluk, tak berawal dan tak berakhir dan tak dapat dimusnahkan.
Selain beberapa sifat Atman diatas, dalam Bhagavad Gita juga dijabarkan mengenai sifat-sifat Atman, diantaranya :
a)    Achedya: tak terlukai oleh senjata.
b)   Adahya: tak terbakar oleh api.
c)    Akledya: tak terkeringkan oleh angin.
d)   Acesyah: tak terbasahkan oleh air.
e)    Nitya: abadi.
f)    Sarwagatah: diamana-mana ada.
g)   Sthanu: tak berpindah-pindah.
h)    Acala: tak bergerak.
i)      Sanatana: selalu sama
j)     Awyakta: tak dilahirkan.
k)   Acintya: tak terpikirkan.
l)     Awikara: tak berubah dan dan sempurna tidak laki-laki maupun perempuan.






B.  Konsep Atman dalam pandangan Upanisad
            Sri Sankara menganggap Atman dari akar kata yang berarti untuk memperoleh, menyantap atau menikmati atau berada pada segalanya. Atman  adalah azaz dari hidupnya manusia, jiwa yang mengisi wujudnya, nafasnya, prana, budhi, prajna dan berada diatasnya. Atman adalah yang tertinggal sesudah segala sesuatunya dilahirkan, ajo bhagah. Ada unsur yang tiada dilahirkan dan karena itu abadi pada manusia, yang jangan dicampur adukan dengan tubuh, yang hidup, pikiran dan kecerdasan ini bukanlah Atman tetapi bentuknya, pengungkapannyalah yang keluar. (Agus.2008:45)
            Atman kita sesungguhnya adalah keberadaan yang sejati, kesadaran sendiri dan tiada disifatkan oleh bentuk pikiran maupun kecerdasan. Bila kita mencampakan Atman dari semua kejadian-kejadian luar, maka muncullah dari kedalaman yang jauh dari suatu pengalaman, rahasia dan mengasyikkan, aneh dan agung. Ini adalah keajaiban dari pengetahuan/Atman, Atman/Jnana.
            Seperti pula dalam hubungannya dengan alam semesta, yang nyata adalah Brahman, sedangkan nama dan bentuk hanyalah permainan dari perwujudan, demikian pulalah ego pada setiap individu adalah keragaman pengungkapan dari Atman semesta Yang Esa. Brahman adalah yang abadi sunyi dan didalam yang mengendalikan serta menggiatkan alam semesta. Atman adalah yang nyata dan merupakan kenyataan pokok yang mendasari kekuatan yang sadar dari individu, tempat berpijak yang paling dalam dari jiwa manusia. Ada kedalaman akhir dari hidup kita dibawah kesadaran berpikir dan berkemauan. Atman adalah supra kenyataan dari jiwa, dari ego individu.
            Chandogya Upanisad memberikan kita ceritera dimana dewa maupun asura, karena ingin mengerti sifat sesungguhnya radi Atman mendekati prajapati yang memastikan bahwa Atman yang sesungguhnya adalah bebas dari dosa, bebas dari umur tua, bebas dari kematian dan penderitaan, bebas dari lapar dan haus, yang tiada menginginkan apapun dan tiada membayangkan apapun. Ini adalah jiwa yang tetap dimikian, yang tetap abadi dalam semua perubahan dari keadaan terjaga, mimpi dan tidur, meninggal, dilahirkan kembali dan terlahir. 
            Penjelasan dari semua ini menunjukan bahwa ada kesadaran bahkan pada keadaan yang jelas tidak sadar, ketika kita tertidur, ketika kita dibius atau ketika kita terpana. Dewata mengirim Indra dan asura mengirim virocana untuk mempelajari kebenaran ini. Pendapat pertama adalah bahwasanya Atman adalah apa yang kita lihat dimata, pada air atau cermin. Pemikiran tentang Atman sebagai tubuh lahiriah tidaklah cukup. Untuk menjelaskan bahwa apa yang kita lihat pada mata orang lain, pada seember air atau cermin bukanlah Atman yang sesungguhnya, prajapati menyuruh mereka untuk memakai pakaian mereka yang terbaik dan kemudian melihat lagi. Indra melihat kesukaran ini dan berkata kepada prajapati bahwa Atman ini (pada air) kelihatan berpakaian bagus, berpakaian indah ketika tubuh berpakaian bagus, dan dengan demikian Atman ini juga buta bila tubuh buta, dan akan lenyap pada kenyataan kalau tubuh ini lenyap. Pendapat demikian tidak dapat diterima.
            Bila Atman ini bukanlah tubuh, mungkinkan ini Atman yang bermimpi? Pendapat kedua adalah bahwasanya Atman yang sesungguhnya adalah “dia yang bergerak bebas pada saat mimpi”. Sekali lagi kesulitan timbul. Indra berkata bahwa walaupun ini benar bahwa Atman yang bermimpi ini tiada dipengaruhi oleh perubahan tubuh, tetapi pada saat mimpi kita merasa bahwa kita dipukul atau dikejar, kita merasakan penderitaan dan kita menangis. Kita berenang dalam mimpi, meledak dalam kemarahan, berbuat sesuatu yang bertentangan, jahat dan kejam. Indra berpendapat bahwa Atman tidaklah sama dengan kesadaran mimpi. Atman bukanlah gabungan dari semua sikap mental, bagaimanapun bebas dan berdiri sendirinya dia dari kejadian pada tubuh. Keadaan mimipi bukanlah keberadaan sendiri, Indra kemudian mendekat lagi kepada prajapati yang memberikannya pendapat yang lain lagi bahwa Atman adalah kesadaran pada keadaan tidur nyenyak.
            Indra merasa bahwa pada keadaan ini tidak ada kesadaran tentang Atman maupun tentang dunia objektif. Indra merasa bahwa dia tidak mengerti dirinya dan juga tidak  mengerti apapun yang ada. Dia sampai pada peleburan semesta, tetapi Atman tetap ada bahkan pada saat tidur nyenyak. Bahkan ketika objek tiada berada disana, subjek tetap atapun ada. Yang nyata yang akhir adalah kesadaran semesta yang aktif, yang jangan dikacaukan baik dengan yang bersifat lahiriah (tubuh) kesadaran mimpi ataupun kesadaran pada saat tidur nyenyak. Pada keadaan tidur nyenyak yang tiada bermimpi, Atman yang dibungkus oleh buddhi tidak mempunyai kesadaran akan objek, tetapi bukannya tidak sadar. Atman yang sesungguhnya adalah Atman yang mutlak yang bukan golongan metafisik yang abstrak, tetapi atman rohani yang asli. Bentuk apapun yang lain adalah wujud yang dijadikan objek. Atman adalah yang hidup dan bukan objek. Ini adalah pengalaman dimana Atman adalah subjek yang maha tahu dan pada saat bersamaan objek yang diketahui. Atman hanya terbuka untuk Atman. Hidup dari Atman tidaklah ditentukan bertentangan dengan pengetahuan tentangnya sebagai benda objektif. Atman bukanlah kenyataan yang objektif, bukan pula sesuatu yang bersifat subjektif murni.
            Hubungan subjek dan objek hanya mempunyai arti dalam dunia objek-objek, dalam lingkup pengetahuan dalam arti luas. Atman adalah cahayanya cahaya dan melalui hal ini sajalah adanya cahaya di alam semesta. Dia adalah cahaya abadi, dia adalah yang tidak hidup atau mati, yang tanpa bergerak atau perubahan dan yang masih bertahan ketika yang lainnya sudah berakhir. Dia adalah yang melihat dan bukan objek yang dilihat. Atman adalah kesadaran dan saksi yang abadi. Keempat kesadaran berdiri pada sisi subjektif dari empat jenis jiwa, yaitu Vaisvanara yang mengalami benda kasar, Taijasa yang mengalami yang halus, Prajna yang mengalami objektifitas yang tiada terwujud dan Turia Atman maha tinggi. Mandukhya Upanisad, dengan menganalisa keempat macam kesadaran, yaitu terjaga, mimpi, tidur nyenyak dan kesadaran yang disinari, berpendapat bahwa yang terakhir adalah dasar dari tiga yang lain. Pada segi objektifnya, kita mempunyai kosmos, viraj, jiwa dan semesta, Hiranya dan Garbha Tuhan maha tinggi, Isvara dan yang mutlak Brahman.
            Dengan melihat Isvara sebagai Prajna, disimpulkan bahwa buddhi maha tinggi yang bersemayam pada keadaan tidur memegang semua benda pada keadaan yang belum terwujud. Kebijakan agung melihat semua hal, tidak seperti akal manusia melihatnya sebagai bagian-bagian atau dalam hubungan satu dengan yang lainnya, tetapi dalam alasan yang asli dari keberadaan mereka, kebenaran utama mereka yang nyata. Ini adalah apa yang disebur spermatikos atau bibit logos oleh kaum stoic yang berwujud pada wujud yang memiliki kesadaran sebagai logos bibit.
            Pada pembahasan tentang yoga, kesadaran potensial yang semesta pada keadaan tidur nyenyak diwakili dalam bentuk ular bercahaya kundalini atau vag-devi. Kita menemukan hal yang sama dalam pembahasan-pembahasan yang lebih tua. Dalam Reg Veda, Vac dikatakan sebagai ular sarpa rajni.
            Proses yoga adalah membengunkan ular bercahaya ini dan mengangkatnya dari tingkat terbawah sampai kejantung, dimana dengan menunggal dengan prana maka sifat semestanya tercapai dan dari sini keubun-ubun. Dia keluar melalui pembukaan yang disebut Brahmana-randrha yang dibentuk oleh matahari pada puncak dari lengkungan langit. (Agus. 2008: 45- 47)

C.  Atman Setelah Kematian
            Sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu sifat Atman bahwa Atman adalah sumber kehidupan yang bersifat abadi dan tidak akan pernah mengalami fase kematian. Atman akan terus hidup baik itu di dalam maupun di luar makhluk hidup. Sebagaimana kalau berada di dalam tubu makhluk hidup atman disebut dengan istilah yang berbeda, sebutan untuk Jiwatman untuk yang bersemayam pada tubuh manusia, sebutan Janggama jika bersemayam pada binatang dan sebutan Stavara untuk yang bersemayam pada tumbuh-tumbuhan. Keabadian Atman memang tidak akan terlihat ketika Atman telah berada di dalam makhluk hidup karena dipengaruhi oleh unsur Panca Maha Butha sebagai penyusun tubuh yang akan memberikan sifat maya pada Atman itu sendiri. Begitupula ketika Atman yang semula bersemayam pada tubuh makhluk hidup kemudian pergi meninggalkan tubuh itu karena adanya fase kematian pada badan kasar tersebut maka Atman akan mengalami suatu keadaan setelah kematian itu yang tentunya tidak mampu diketahui oleh manusia normal tanpa memiliki kekuatan supra natural.
Penelitian spiritual telah menunjukkan bahwa manusia terdiri dari empat tubuh dasar sebagai berikut:
1.      Fisik, yaitu tubuh manusia yang kelihatan secara nyata, yang terlihat apakah itu hitam, putih, mulus, ganteng, cantik, atau lainnya.
2.      Mental, yaitu tubuh manusia yang lebih mengarah pada kejiwaan, yaitu untuk mengetahuinya tidak bisa dilihat dengan indera penglihatan (mata), tetapi dapat dirasakan melalui pola tingkah laku yang ditunjukkan oleh seorang individu.
3.      Kausal atau intelektual (kecerdasan), yaitu tubuh manusia yang tidak dapat dilihat pula, tetapi tubuh ini akan memberikan tingkat intelegensi (kecerdasan pada seorang individu).
4.      Suprakausal atau ego halus (tak kasat mata), yaitu tubuh manusia yang mnejadi penyebab dari kehidupan itu sendiri, inilah yang kemudian bisa dikatakan sebagai Atman.
Ketika seseorang meninggal, tubuh fisiknya berhenti untuk hidup. Namun, sisa eksistensi atau kesadarannya terus berlanjut. Eksistansi orang tersebut, minus tubuh fisiknya dikenal sebagai tubuh halus (lingga deha) dan terdiri dari tubuh-tubuh mental, kausal (intelek) dan supracausal (ego halus). Tubuh halus ini kemudian pergi ke salah satu dari 13 tempat (alam-alam) eksistensi halus selain alam Bumi. Maksudnya, bahwa ketika manusia mati, Atman (tubuh manusia yang lain) masih tetap hidup dan tetap memiliki kesadaran yang sama dengan keadaan ketika tubuh fisik masih hidup.
Ada 14 tempat utama di dalam alam semesta ini. Tujuh dari mereka adalah tempat positif dan tujuh lainnya adalah tempat negatif. Ketujuh tempat negatif biasanya dinamakan sebagai Neraka (Patala). Terdapat banyak divisi lainnya di setiap ke 14 tempat tersebut. Tujuh alam-alam eksistensi positif adalah tempat yang ditempati oleh tubuh rohani yang melakukan perbuatan baik dan melakukan praktik spiritual sesuai dengan jalan positif dari ajaran spiritualitas. Dengan jalan positif, kita artikan sebagai orientasi praktik spiritual menuju kesadaran Tuhan atau bersatu dengan Tuhan seutuhnya (mencapai Pencerahan). Bersatu dengan Tuhan seutuhnya, adalah tujuan paling utama dalam pertumbuhan spiritual. Adapun ketujuh alam itu adalah Satya loka, Tapa Loka, Jana Loka, Maha Loka, Surga, Wilayah Nether, dan Bumi (dari urutan teratas ke terbawah).
Alam Bumi adalah satu-satunya alam fisik eksistensi di alam semesta dan juga merupakan alam eksistensi pertama dalam hirarki alam-alam eksistensi positif di alam semesta. Sedangkan tujuh alam-alam eksistensi negatif merupakan tempat yang kebanyakan ditempati oleh tubuh rohani yang telah melakukan kejahatan serta  melakukan praktik spiritual sesuai dengan jalan yang negatif dari ajaran spiritualitas. Dengan jalan negatif, kita artikan  sebagai orientasi praktik spiritual dengan kekuatan-kekuatan spiritual, misalkan kekuatan supranatural atau ilmu kesaktian. Kekuatan spiritual ini digunakan untuk tujuan yang negatif. Dengan demikian semua tubuh rohani/ halus yang pergi ke salah satu alam-alam eksistensi neraka, menjadi hantu berdasarkan niat-niat jahat mereka.
Setelah kematian, orang-orang yang berada di alam-alam eksistensi di bawah Maha loka perlu bereinkarnasi di alam Bumi untuk melunasi takdir dan menyelesaikan akun-akun memberi-dan-mengambil (give-and-take account) yang mereka miliki. Atau bahasa agamany disebutkan dengan istilah membayar hutang yang telah dibuat pada kehidupan sebelumnya. Jika seseorang mencapai Maha loka dan Jana loka setelah kematian, itu berarti tingkat spiritual mereka di atas 80%. Jiwa-jiwa ini tidak perlu bereinkarnasi lagi karena semua takdir yang tersisa (akumulasi akun) dapat diselesaikan dari alam-alam eksistensi itu sendiri. Namun tubuh-tubuh halus yang telah berevolusi ini boleh memilih untuk dilahirkan atas kehendak mereka sendiri. Mereka melakukannya terutama untuk bertindak sebagai pemandu-pemandu spiritual bagi umat manusia.
Dalam beberapa kondisi tertentu, orang-orang yang meninggal di tingkat spiritual 60% dapat mencapai Maha loka. Di sini potensi seseorang untuk pertumbuhan spiritual lebih lanjut dapat dipertimbangkan. Melalui penelitian spiritual yang dilakukan oleh spiritual research foundation Indonesia, telah ditemukan adanya 5 faktor yang mempengaruhi potensi untuk pertumbuhan spiritual lebih lanjut dari orang tersebut.
1.  Memiliki jumlah emosi spiritual (bhāv) yang tinggi,
2.  Memiliki ego yang rendah,
3.  Memiliki keinginan yang kuat untuk pertumbuhan spiritual,
4.  Melakukan praktik spiritual teratur dengan tingkatan yang semakin tinggi,
5.  Terpengaruh atau tidak terpengaruh oleh energi-energi negatif.
Dipengaruhi oleh energi-energi negatif sangatlah menghambat kemampuan seseorang untuk dapat tumbuh secara spiritual. Maka, jika seseorang berada di tingkat spiritual 65% tetapi sangat terpengaruh oleh energi-energi negatif, kemampuannya untuk mencapai alam-alam spiritual yang lebih tinggi seperti Maha loka menjadi terbatas. Jika seseorang mencapai Tapa loka atau Satya loka setelah kematian, maka orang tersebut tidak mengambil kelahiran lagi di alam eksistensi Bumi tetapi terus melakukan praktik spiritual di alam eksistensi itu sampai ia bersatu sepenuhnya dengan Tuhan (Brahman Atman Aikyam)
Dalam   kepercayaan   Hindu,   yang   hidup   di   surga   maupun   neraka   hanya   jiwa. Tetapi tempat ini bukan tempat abadi. Sorga dan Neraka sekedar persinggahan sementara bagi Atman yang tidak murni karena pengaruh karma wasana. Sorga bersifat sementara. Kalau sorga bersifat sementara, lantas kapankah jiwa/roh/atman bereinkarnasi?. Bhagawad Gita IX. 21 menyatakan: mereka menikmati sorga yang luas, dan ketika buah dari karma baik mereka habis, mereka memasuki dunia yang tidak abadi ini; demikianlah mereka yang mengikuti aturan Weda, mendambakan hasil dari perbuatan mereka, memperoleh lingkaran hidup dan mati. Jadi setelah pahala atau dosa yang ia perbuat usai ditebus dalam sorga atau neraka pada saat itulah jiwa/roh/atman seorang manusia siap lahir ke dunia untuk memperbaiki setiap kesalahan yang dilakukannya dalam kehidupan terdahulu dan mengalami sebuah evolusi spritualitas dan mencapai Moksa.
Bagi atman yang ketika hidup di dunia banyak berbuat subha karma (berbuat baik) dari pada  asubha  karma  (berbuat  tidak  baik),  mereka  akan  singgah  sementara  di  sorga.  Dan sebaliknya, bagi atman yang ketika hidup banyak berbuat asubha karma (berbuat tidak baik) dari pada subha karmanya (berbuat baik), mereka akan singgah di neraka. Ini semua karena hasil karma mereka masing-masing. Akibat tidak mampu mempertahankan kesucian sang atman (jiwa/roh)   yang suci, bagian dari Brahman (Tuhan) yang Maha Suci. Jadi setelah menikmati sorga atau neraka, jiwa bisa kembali lahir ke dunia untuk melanjutkan evolusi spritualnya sampai akhirnya mencapai moksa. Dengan demikian dalam pandangan Hindu, seseorang mencapai sorga atau moksa karena “Hasil dari Perbuatannya”.
Tuhan/Sanghyang Widhi tidak pilih kasih, setiap orang membuat nasibnya sendiri, melalui karma yang mereka lakukan sebelumnya. Karma yang lampau-lah yang menentukan sebagai apa dan peranan apa yang dia terima dalam kelahirannya di dunia ini. Itulah sebabnya yang dilahirkan berbeda-beda.  Ada yang  jadi Pandita, Rohaniawan, Presiden, Pejabat  ABRI maupun Sipil, Pengusaha Sukses/Ekonom, Konglomerat, Petani Sukses dan Kaya Raya, Peternak Sukses, Seniman, ada yang menjadi orang kaya, orang miskin, orang cacat, orang gelandangan dsb.  Bahkan  yang  lebih  jauh  merosot  adalah  sebagai binatang  dan tumbuhan.  Hal  ini  juga merupakan salah satu motivasi umat Hindu dalam berbuat baik, setidaknya bisa mencapai surga, sehingga reinkarnasinya nanti masih pada manusia yang sempurna dan bernasib baik, dan ada kesempatan mencapai moksa
Tetapi yang penting diingat Sorga Hindu bukanlah sorga dimana manusia memuaskan nafsu badaninya. Karena yang hidup di sorga Hindu hanya jiwa, tanpa badan kasar. Neraka Hindu juga bukan merupakan tempat penyiksaan yang kejam dan abadi karena tujuan hidup seorang  manusia  adalah  mencapai  moksa  dan  reinkarnasi  adalah  sebuah  jalan  yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada setiap jiwa/roh/atman manusia untuk memperbaiki setiap kesalahan yang telah diperbuatnya dan mencapai kesempurnaan dan menyatu dengan Brahman/Tuhan Semesta Alam. Neraka dalam Weda hanya disebutkan dalam tiga mantra sebagai tempat kegelapan saja, lawan dari sorga yang artinya dunia yang selalu terang. Neraka hanya digambarkan sebagai wilayah  kegelapan  tanpa  dasar,  tempat  para  pendurhaka,  orang-orang  yang  tidak  bermoral, rumah kehancuran dan tukang sihir. Tidak ada penjelasan tentang api yang berkobar-kobar yang mengancam dengan ganas. Tidak ada alat-alat penyiksa yang akan merobek-robek atau menusuk, memotong jiwa manusia. Karena jiwa/atman/roh tidak bisa dirobek dan dipotong.
Karl Jasper, seorang filsuf Jerman mengatakan penderitaan membuat manusia melakukan refleksi, membuat hidup seseorang semakin dalam dan bermakna. Orang yang tidak pernah menderita hidupnya dangkal. Porselin  yang  indah dan mahal adalah tanah liat yang telah mengalami penderitaan; ditumbuk, dibentuk dan dibakar dalam api yang sangat panas. Hasilnya barang seni yang berguna, indah dan tinggi nilainya. Sepotong bambu setelah dilubangi tubuhnya dengan bor panas menjadi seruling yang menghasilkan suara merdu.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Dari pembahasan yang telah penulis uraikan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Atman adalah Percikan terkecil dari Brahman/ Ida Sanghyang Widhi Wasa yang berada pada setiap makhluk hidup, yang mana mimiliki sifat-sifat seperti; Achedya, Adahya, Akledya , Acesyah, Nitya, Sarwagatah, Sthanu, Acala, Sanatana, Awyakta, Acintya, dan Awikara.
2.      Atman  adalah azaz dari hidupnya manusia, jiwa yang mengisi wujudnya, nafasnya, prana, budhi, prajna dan berada diatasnya. Atman kita sesungguhnya adalah keberadaan yang sejati, kesadaran sendiri dan tiada disifatkan oleh bentuk pikiran maupun kecerdasan, sedangkan nama dan bentuk hanyalah permainan dari perwujudan, demikian pula ego pada setiap individu adalah keragaman pengungkapan dari Atman semesta Yang Esa.
3.      Setelah kematian Atman tetap mengalami keabadian, yang mana Atman akan menuju ke salah satu dari 13 tempat utama selain bumi yang merupakan dunia suprakausal (tidak terjangkau oleh pengamatan biasa). Atman ada yang akan mencapai sorga, neraka, atau bahkan tidak akan terlahir lagi sesuai dengan karma yang telah dilakukan semasa kehidupannya dengan badan fisik. Akan tetapi untuk atman yang baru bias mencapai tempat di bawah Maha Loka, atman itu akan kembali mengalami reinkarnasi untuk memperbaiki karmanya, dan hal ini akan terus berulang hingga atman tersebut bias mendapatkan posisi di atas Maha Loka bahkan menyatu dengan Brahman/ Ida Sanghyang Widhi (Brahman Atman Aikyam).



  DAFTAR REFERENSI:
   

     Radhakrishnan,S. 2008. Upanisad-Upanisad Utama.Surabaya: Paramita.




 

2 komentar: