BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada mulanya upanisad
adalah nama sebuah model pembelajaran atau suatu tatacara belajar. Secara
etimologi upanisad berasal dari kata upa yang artinya dekat, ni artinya di
bawah, dan sad artinya duduk. Sehingga upanisad dapat diartikan sebagai suatu
model pembelajaran dengan cara para sisya duduk dibawah dekat kaki sang guru.
Seiring dengan perkembangan jaman, materi yang diajarkan dengan cara demikian
juga disebut upanisad yang mengandung ajaran-ajaran yang bersifat rahasia.
Materi yang diajarkan tersebut lambat laun dibukukan oleh para rsi untuk lebih
mudah untuk dipelajari, sehingga buku tersebut disebut Kitab Upanisad.
Munculnya upanisad
karena para rohaniawan hindu terutama dari kalangan ksatrya merasa tidak puas
dengan penjelasan weda yang pertama yaitu kitab Brahmana yang menjelaskan weda
dari segi karma kanda yaitu system upacara yadnya. Karena kitab Brahmana hanya
menonjolkan weda dari sisi ritual, sehingga rohaniawan ingin mengetahui lebih
mendalam sisi yang hakiki dari isi weda, meliputi pengetahuan kerohanian yang
sangat rahasia. Kitab upanisad juga disebut Rahasya Jnana karena memuat
ajaran-ajaran rahasia yang terkandung dalam weda.
Upanisad juga diartikan
sebagai pengetahuan yang dapat mengantarkan orang untuk mencapai batas akhir
suatu proses pencaharian yaitu lepasnya segala kebodohan (awidya) lalu menjadi
pengetahuan (widya) yang artinya bijak. Kebijakan yang dicapai adalah kebijakan
pengetahuan yang menurut Bhagawadgita tidak ada menyamai kesuciannya di dunia
dan api kebijaksanaan pengetahuan yang akan membasmi segala karma. Oleh sebab
itu, upanisad juga disebut wedanta artinya bagian puncak atau akhir weda yang
berisi simpulan-simpulan weda.
Upanisad berisi tentang kearifan weda yang disebut weda wijnanam yang meliputi lima
keyakinan dasar agama hindu yang disebut Panca Sradha, terdiri dari keyakinan
pada Brahman, keyakinan pada Atman, keyakinan pada Karmaphala, keyakinan pada
Punarbhawa dan keyakinan pada Moksa. Pertama, sebagai umat hindu tentunya kita
percaya akan keberadaan Tuhan, walaupun sebagai manusia yang memiliki
keterbatasan kita tidak dapat melihat wujud Tuhan namun kita bisa merasakan
kemahakuasaan beliau melalui hasil ciptaan-Nya. Eka Dewah Sarwah Bhutesu Jitah artinya hanya ada satu tuhan dan
terasa pada seluruh ciptaannya.
Kedua, yakin akan
adanya atman sebagai percikan-percikan terkecil dari Sang Hyang Widhi sebagai
sumber hidup semua mahluk yang diibaratkan sama dengan percikan-percikan sinar
yang bersumber dari matahari, kemudian terpancar menerangi segala pelosok alam
semesta. Ketiga, percaya akan adanya karmaphala yang menekankan bahwa setiap
perbuatan pasti akan mendatangkan phala atau hasil. Dari karmaphala ini pula
timbul istilah hukum karmaphala sebagai hukum yang mengatur sebab akibat dimana
ada sebab pasti ada akibat. Keempat yaitu percaya akan adanya kelahiran atanu
penjelmaa kembali kedunia yang disebabkan oleh karma wasana yang merupakan
bekas-bekas dari perbuatan baik perbuatan banik maupun perbuatan buruk. Dan
yang kelima adalah percaya akan adanya moksa atau bebasnya atman dari ikatan
duniawi dan mencapai kebahagiaan batin dan kesejahteraan jasmani dengan jalan
dharma.
Dari kelima bagian Panca Sradha diatas, kami
tertarik untuk lebih menjelaskan tentang atman, karena atman merupakan sesuatu
yang sering dibicarakan, terlebih ada pada setiap makhluk hidup. Atman yang ada
pada diri manusia disebut dengan jiwatman, yang mana disebutkan atman memiliki
sifat yang sama satu dengan yang lain, namun kenapa manusia bias memiliki sifat
yang berbeda, hal inilah yang memerlukan suatu pemikiran kritis untuk
memahaminya. Rasa penasaran tentunya selalu hadir pada setiap insan menanggapi
kenyataan yang tertuang dalam ajaran agama ini, olehnya pada kesempatan ini,
penulis akan mengulas secara lebih mendalam tentang Atman yang penulis tuangkan
dalam sebuah tulisan yang berjudul “Konsep Atman dalam Pandangan Upanisad”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah
penulis uraikan dapat dirumuskan beberapa permasalahan, antara lain:
1. Apakah
definisi atman?
2. Bagaimanakah
konsep atman dalam pandangan upanisad?
3. Bagaimanakah
atman setelah kematian?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang telah
diuraikan di atas, tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini, antara lain:
1. Agar
penulis dan pembaca mengetahui definisi atman.
2. Agar
penulis dan pembaca mengetahui serta memahami bagaimana konsep atman menurut
pandangan upanisad.
3. Agar
penulis dan pembaca mengetahui serta memahami bagaimana atman setelah kematian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Atman
Atman merupakan percikan-percikan
kecil dari parama Atman yaitu Sang Hyang Widhi Wasa yang berada didalam mahluk
hidup. Atman adalah pusat segala fungsi jasmani dan rohani manusia. Kata Atman, diambil dari kata An (bernafas),
yaitu nafas kehidupan. Atman berasal dari
Brahman, bagaikan matahari dengan sinarnya. Brahman sebagai matahari, dan
atman-atman sebagai sinar-Nya yang terpencar memasuki dalam hidup semua
makhluk.
Atman di dalam badan manusia disebut Jiwatman atau jiwa atau
roh yaitu yang menghidupkan manusia. Jivatman bersifat abadi, namun karena
terpengaruh oleh badan manusia yang tersusun dari unsure panca maha buta,
menyebabkan atman tersebut bersifat maya. Jivatman tidak mengetahui asal dan
sifat yang sesungguhnya, sehingga keadaan itu disebut Awidya.
Atman sebagai percikan terkecil dari Sang
Hyang Widhi tentunya memiliki hubungan yang erat dengan Brahman. Hubungan Atman
dan Brahman ini dapat dilihat dari beberapa petikan sloka weda, antara lain:
Eko vasti sarvabhutantaratma
ekam bijam bahudha yah karoti
tam atmasyham ye’nupasyanti dhiras
tesyam sukham sasvatam netaresam
(Katha Upanisad Bag II:12)
Artinya:
Dia
yang tunggal itulah penguasa semuanya
atma
yang esa itu menjadikan dirinya tampak jamak
ia
yang arif menyadari dia bersemayam dalam jiwa
memperoleh
suka-cita kekekalan, bukan yang lainnya
Sarvam hy etad brahma
aham
Atma Brahma
so’yam
Atma catuspat
( Mandukya upanisad :2)
Artinya:
Semua ini adalah Brahman
Atman adalah Brahman
Atman, sang diri, memiliki empat kaki
Dari
petikan dua mantra Upanisad diatas, maka dapat ditarik garis besar bahwa, Ia
disebut Atman, ia dalah Brahman. Brahman atman aikyam, artinya Brahman
adalah azas alam semesta sedangkan atma adalah azas pribadi atau individu. Sang
Hyang Widhi dapat di ibaratkan sebagai matahari dan Atman sebagai
sinar-sinarnya yang terpancar merasuki dalam hidup semua makhluk. Istilah
Brahman sendiri berasal dari akar kata “brh”
yang berarti menjadi besar atau kuat. Kata Brahman juga berarti roh impersonal
keberadaan seseorang atau roh universal tunggal, keberadaan diri, yang mutlak,
Yang Abadi. Atman merupakan prinsip kesadaran pribadi yang dalam Mandukya
upanisad di istilahkan dengan empat kaki. Kesadaran antara lain Vaisvanara
(kesadaran yang bergerak keluar) si penikmat kasar; Taijasa (kesadaran
yang bergerak kedalam) yakni si pemikat hal-hal yang bersifat halus; Prajna (kesadaran
yang diam/ tak memiliki keinginan) yakni si penikmat objektivitas yang tak
berwujud dan Esa (kesadaran tertinggi). Sedangkan Brahman adalah dasar
pribadi super dari kosmo. Segera setelah itu perbedaan diantara keduanya lenyap
dan keduanya menjadi identik atau tunggal.
1. Sifat-sifat
Atman
Sesungguhnya Atman dan
Brahman adalah tunggal karena Atman berasal dari Sang Hyang Widhi, sehingga
Atmanpun memiliki sifat-sifat yang sama dengan Sang Hyang Widhi. Dalam Katha
Upanisad disebutkan beberapa sifat Atman, diantaranya:
Esa sarvestu bhutesu
gudho ‘tma na prakasate,
drsyate tvargyaya buddhya
suksmaya suksma darsibhih
(Katha
Upanisad I.3.12)
Artinya
:
Atman
yang bercahaya halus itu
Ada
dalam setiap mahluk
Ia
hanya dapat di lihat oleh para rsi
Dengan
budi yang tajam dan murni
Asabdam Asparsan Arupam Avyayam
tatha arasam nityam agandhavac ca
yat
anady anantam mahatah param dhruvam
nicayya Tam Mrtyu Mukhat Pramucyate
(Katha Upanisad
I.3.15)
Artinya:
Atman
itu tanpa suara, tidak teraba, tak berbentuk,
Tidak
pernah tua, tanpa rasa, abadi, tanpa bahu,
Tanpa
pemulaan, tanpa akhir, tak terjangkau, langgeng
Dengan
menyadari Atman orang bebas dari kematian.
Dari petikan mantra
Katha Upanisad telah jelas memaparkan sifat-sifat atma yakni ada disetiap
mahluk, tak berawal dan tak berakhir dan tak dapat dimusnahkan.
Selain beberapa sifat
Atman diatas, dalam Bhagavad Gita juga
dijabarkan mengenai sifat-sifat Atman, diantaranya :
a) Achedya: tak terlukai oleh senjata.
b) Adahya: tak terbakar oleh api.
c) Akledya: tak terkeringkan oleh angin.
d) Acesyah: tak terbasahkan oleh air.
e) Nitya: abadi.
f) Sarwagatah: diamana-mana ada.
g) Sthanu: tak berpindah-pindah.
h) Acala: tak bergerak.
i) Sanatana: selalu sama
j) Awyakta: tak dilahirkan.
k) Acintya: tak terpikirkan.
l) Awikara: tak berubah dan dan sempurna tidak laki-laki maupun
perempuan.
B. Konsep Atman dalam pandangan
Upanisad
Sri Sankara menganggap Atman dari
akar kata yang berarti untuk memperoleh, menyantap atau menikmati atau berada
pada segalanya. Atman adalah azaz dari
hidupnya manusia, jiwa yang mengisi wujudnya, nafasnya, prana, budhi, prajna
dan berada diatasnya. Atman adalah yang tertinggal sesudah segala sesuatunya
dilahirkan, ajo bhagah. Ada unsur yang
tiada dilahirkan dan karena itu abadi pada manusia, yang jangan dicampur adukan
dengan tubuh, yang hidup, pikiran dan kecerdasan ini bukanlah Atman tetapi
bentuknya, pengungkapannyalah yang keluar. (Agus.2008:45)
Atman kita sesungguhnya adalah
keberadaan yang sejati, kesadaran sendiri dan tiada disifatkan oleh bentuk
pikiran maupun kecerdasan. Bila kita mencampakan Atman dari semua
kejadian-kejadian luar, maka muncullah dari kedalaman yang jauh dari suatu
pengalaman, rahasia dan mengasyikkan, aneh dan agung. Ini adalah keajaiban dari
pengetahuan/Atman, Atman/Jnana.
Seperti pula dalam hubungannya
dengan alam semesta, yang nyata adalah Brahman, sedangkan nama dan bentuk
hanyalah permainan dari perwujudan, demikian pulalah ego pada setiap individu
adalah keragaman pengungkapan dari Atman semesta Yang Esa. Brahman adalah yang
abadi sunyi dan didalam yang mengendalikan serta menggiatkan alam semesta.
Atman adalah yang nyata dan merupakan kenyataan pokok yang mendasari kekuatan
yang sadar dari individu, tempat berpijak yang paling dalam dari jiwa manusia.
Ada kedalaman akhir dari hidup kita dibawah kesadaran berpikir dan berkemauan.
Atman adalah supra kenyataan dari jiwa, dari ego individu.
Chandogya Upanisad memberikan kita
ceritera dimana dewa maupun asura, karena ingin mengerti sifat sesungguhnya
radi Atman mendekati prajapati yang memastikan bahwa Atman yang sesungguhnya
adalah bebas dari dosa, bebas dari umur tua, bebas dari kematian dan
penderitaan, bebas dari lapar dan haus, yang tiada menginginkan apapun dan
tiada membayangkan apapun. Ini adalah jiwa yang tetap dimikian, yang tetap
abadi dalam semua perubahan dari keadaan terjaga, mimpi dan tidur, meninggal,
dilahirkan kembali dan terlahir.
Penjelasan dari semua ini menunjukan
bahwa ada kesadaran bahkan pada keadaan yang jelas tidak sadar, ketika kita
tertidur, ketika kita dibius atau ketika kita terpana. Dewata mengirim Indra
dan asura mengirim virocana untuk mempelajari kebenaran ini. Pendapat pertama
adalah bahwasanya Atman adalah apa yang kita lihat dimata, pada air atau
cermin. Pemikiran tentang Atman sebagai tubuh lahiriah tidaklah cukup. Untuk
menjelaskan bahwa apa yang kita lihat pada mata orang lain, pada seember air
atau cermin bukanlah Atman yang sesungguhnya, prajapati menyuruh mereka untuk
memakai pakaian mereka yang terbaik dan kemudian melihat lagi. Indra melihat
kesukaran ini dan berkata kepada prajapati bahwa Atman ini (pada air) kelihatan
berpakaian bagus, berpakaian indah ketika tubuh berpakaian bagus, dan dengan
demikian Atman ini juga buta bila tubuh buta, dan akan lenyap pada kenyataan
kalau tubuh ini lenyap. Pendapat demikian tidak dapat diterima.
Bila Atman ini bukanlah tubuh,
mungkinkan ini Atman yang bermimpi? Pendapat kedua adalah bahwasanya Atman yang
sesungguhnya adalah “dia yang bergerak bebas pada saat mimpi”. Sekali lagi
kesulitan timbul. Indra berkata bahwa walaupun ini benar bahwa Atman yang
bermimpi ini tiada dipengaruhi oleh perubahan tubuh, tetapi pada saat mimpi
kita merasa bahwa kita dipukul atau dikejar, kita merasakan penderitaan dan
kita menangis. Kita berenang dalam mimpi, meledak dalam kemarahan, berbuat
sesuatu yang bertentangan, jahat dan kejam. Indra berpendapat bahwa Atman
tidaklah sama dengan kesadaran mimpi. Atman bukanlah gabungan dari semua sikap
mental, bagaimanapun bebas dan berdiri sendirinya dia dari kejadian pada tubuh.
Keadaan mimipi bukanlah keberadaan sendiri, Indra kemudian mendekat lagi kepada
prajapati yang memberikannya pendapat yang lain lagi bahwa Atman adalah
kesadaran pada keadaan tidur nyenyak.
Indra merasa bahwa pada keadaan ini
tidak ada kesadaran tentang Atman maupun tentang dunia objektif. Indra merasa
bahwa dia tidak mengerti dirinya dan juga tidak
mengerti apapun yang ada. Dia sampai pada peleburan semesta, tetapi
Atman tetap ada bahkan pada saat tidur nyenyak. Bahkan ketika objek tiada
berada disana, subjek tetap atapun ada. Yang nyata yang akhir adalah kesadaran
semesta yang aktif, yang jangan dikacaukan baik dengan yang bersifat lahiriah
(tubuh) kesadaran mimpi ataupun kesadaran pada saat tidur nyenyak. Pada keadaan
tidur nyenyak yang tiada bermimpi, Atman yang dibungkus oleh buddhi tidak
mempunyai kesadaran akan objek, tetapi bukannya tidak sadar. Atman yang
sesungguhnya adalah Atman yang mutlak yang bukan golongan metafisik yang
abstrak, tetapi atman rohani yang asli. Bentuk apapun yang lain adalah wujud
yang dijadikan objek. Atman adalah yang hidup dan bukan objek. Ini adalah
pengalaman dimana Atman adalah subjek yang maha tahu dan pada saat bersamaan
objek yang diketahui. Atman hanya terbuka untuk Atman. Hidup dari Atman
tidaklah ditentukan bertentangan dengan pengetahuan tentangnya sebagai benda
objektif. Atman bukanlah kenyataan yang objektif, bukan pula sesuatu yang
bersifat subjektif murni.
Hubungan subjek dan objek hanya
mempunyai arti dalam dunia objek-objek, dalam lingkup pengetahuan dalam arti
luas. Atman adalah cahayanya cahaya dan melalui hal ini sajalah adanya cahaya
di alam semesta. Dia adalah cahaya abadi, dia adalah yang tidak hidup atau
mati, yang tanpa bergerak atau perubahan dan yang masih bertahan ketika yang
lainnya sudah berakhir. Dia adalah yang melihat dan bukan objek yang dilihat.
Atman adalah kesadaran dan saksi yang abadi. Keempat kesadaran berdiri pada
sisi subjektif dari empat jenis jiwa, yaitu Vaisvanara
yang mengalami benda kasar, Taijasa yang
mengalami yang halus, Prajna yang
mengalami objektifitas yang tiada terwujud dan Turia Atman maha tinggi. Mandukhya
Upanisad, dengan menganalisa keempat macam kesadaran, yaitu terjaga, mimpi,
tidur nyenyak dan kesadaran yang disinari, berpendapat bahwa yang terakhir
adalah dasar dari tiga yang lain. Pada segi objektifnya, kita mempunyai kosmos,
viraj, jiwa dan semesta, Hiranya dan
Garbha Tuhan maha tinggi, Isvara dan yang mutlak Brahman.
Dengan melihat Isvara sebagai
Prajna, disimpulkan bahwa buddhi maha tinggi yang bersemayam pada keadaan tidur
memegang semua benda pada keadaan yang belum terwujud. Kebijakan agung melihat
semua hal, tidak seperti akal manusia melihatnya sebagai bagian-bagian atau
dalam hubungan satu dengan yang lainnya, tetapi dalam alasan yang asli dari
keberadaan mereka, kebenaran utama mereka yang nyata. Ini adalah apa yang
disebur spermatikos atau bibit logos oleh kaum stoic yang berwujud pada wujud
yang memiliki kesadaran sebagai logos bibit.
Pada pembahasan tentang yoga,
kesadaran potensial yang semesta pada keadaan tidur nyenyak diwakili dalam
bentuk ular bercahaya kundalini atau vag-devi.
Kita menemukan hal yang sama dalam pembahasan-pembahasan yang lebih tua.
Dalam Reg Veda, Vac dikatakan sebagai
ular sarpa rajni.
Proses yoga adalah membengunkan ular
bercahaya ini dan mengangkatnya dari tingkat terbawah sampai kejantung, dimana
dengan menunggal dengan prana maka
sifat semestanya tercapai dan dari sini keubun-ubun. Dia keluar melalui
pembukaan yang disebut Brahmana-randrha yang
dibentuk oleh matahari pada puncak dari lengkungan langit. (Agus. 2008: 45- 47)
C. Atman Setelah Kematian
Sebagaimana
yang disebutkan dalam salah satu sifat Atman bahwa Atman adalah sumber kehidupan
yang bersifat abadi dan tidak akan pernah mengalami fase kematian. Atman akan
terus hidup baik itu di dalam maupun di luar makhluk hidup. Sebagaimana kalau
berada di dalam tubu makhluk hidup atman disebut dengan istilah yang berbeda,
sebutan untuk Jiwatman untuk yang bersemayam pada tubuh manusia, sebutan
Janggama jika bersemayam pada binatang dan sebutan Stavara untuk yang
bersemayam pada tumbuh-tumbuhan. Keabadian Atman memang tidak akan terlihat
ketika Atman telah berada di dalam makhluk hidup karena dipengaruhi oleh unsur
Panca Maha Butha sebagai penyusun tubuh yang akan memberikan sifat maya pada
Atman itu sendiri. Begitupula ketika Atman yang semula bersemayam pada tubuh
makhluk hidup kemudian pergi meninggalkan tubuh itu karena adanya fase kematian
pada badan kasar tersebut maka Atman akan mengalami suatu keadaan setelah
kematian itu yang tentunya tidak mampu diketahui oleh manusia normal tanpa
memiliki kekuatan supra natural.
Penelitian spiritual telah menunjukkan bahwa manusia
terdiri dari empat tubuh dasar sebagai berikut:
1. Fisik,
yaitu tubuh manusia yang kelihatan secara nyata, yang terlihat apakah itu
hitam, putih, mulus, ganteng, cantik, atau lainnya.
2. Mental,
yaitu tubuh manusia yang lebih mengarah pada kejiwaan, yaitu untuk
mengetahuinya tidak bisa dilihat dengan indera penglihatan (mata), tetapi dapat
dirasakan melalui pola tingkah laku yang ditunjukkan oleh seorang individu.
3. Kausal
atau intelektual (kecerdasan), yaitu tubuh manusia yang tidak dapat dilihat
pula, tetapi tubuh ini akan memberikan tingkat intelegensi (kecerdasan pada
seorang individu).
4. Suprakausal
atau ego halus (tak kasat mata), yaitu tubuh manusia yang mnejadi penyebab dari
kehidupan itu sendiri, inilah yang kemudian bisa dikatakan sebagai Atman.
Ketika seseorang meninggal, tubuh fisiknya berhenti
untuk hidup. Namun, sisa eksistensi atau kesadarannya terus berlanjut.
Eksistansi orang tersebut, minus tubuh fisiknya dikenal sebagai tubuh halus
(lingga deha) dan terdiri dari tubuh-tubuh mental, kausal (intelek) dan
supracausal (ego halus). Tubuh halus ini kemudian pergi ke salah satu dari 13
tempat (alam-alam) eksistensi halus selain alam Bumi. Maksudnya, bahwa ketika
manusia mati, Atman (tubuh manusia yang lain) masih tetap hidup dan tetap
memiliki kesadaran yang sama dengan keadaan ketika tubuh fisik masih hidup.
Ada 14 tempat utama di dalam alam semesta ini. Tujuh
dari mereka adalah tempat positif dan tujuh lainnya adalah tempat negatif.
Ketujuh tempat negatif biasanya dinamakan sebagai Neraka (Patala). Terdapat
banyak divisi lainnya di setiap ke 14 tempat tersebut. Tujuh alam-alam
eksistensi positif adalah tempat yang ditempati oleh tubuh rohani yang
melakukan perbuatan baik dan melakukan praktik spiritual sesuai dengan jalan
positif dari ajaran spiritualitas. Dengan jalan positif, kita artikan sebagai
orientasi praktik spiritual menuju kesadaran Tuhan atau bersatu dengan Tuhan
seutuhnya (mencapai Pencerahan). Bersatu dengan Tuhan seutuhnya, adalah tujuan
paling utama dalam pertumbuhan spiritual. Adapun ketujuh alam itu adalah Satya
loka, Tapa Loka, Jana Loka, Maha Loka, Surga, Wilayah Nether, dan Bumi (dari
urutan teratas ke terbawah).
Alam Bumi adalah satu-satunya alam fisik eksistensi
di alam semesta dan juga merupakan alam eksistensi pertama dalam hirarki
alam-alam eksistensi positif di alam semesta. Sedangkan tujuh alam-alam
eksistensi negatif merupakan tempat yang kebanyakan ditempati oleh tubuh rohani
yang telah melakukan kejahatan serta
melakukan praktik spiritual sesuai dengan jalan yang negatif dari ajaran
spiritualitas. Dengan jalan negatif, kita artikan sebagai orientasi praktik spiritual dengan
kekuatan-kekuatan spiritual, misalkan kekuatan supranatural atau ilmu
kesaktian. Kekuatan spiritual ini digunakan untuk tujuan yang negatif. Dengan
demikian semua tubuh rohani/ halus yang pergi ke salah satu alam-alam
eksistensi neraka, menjadi hantu berdasarkan niat-niat jahat mereka.
Setelah kematian, orang-orang yang berada di
alam-alam eksistensi di bawah Maha loka perlu bereinkarnasi di alam Bumi untuk
melunasi takdir dan menyelesaikan akun-akun memberi-dan-mengambil
(give-and-take account) yang mereka miliki. Atau bahasa agamany disebutkan
dengan istilah membayar hutang yang telah dibuat pada kehidupan sebelumnya.
Jika seseorang mencapai Maha loka dan Jana loka setelah kematian, itu berarti
tingkat spiritual mereka di atas 80%. Jiwa-jiwa ini tidak perlu bereinkarnasi
lagi karena semua takdir yang tersisa (akumulasi akun) dapat diselesaikan dari
alam-alam eksistensi itu sendiri. Namun tubuh-tubuh halus yang telah berevolusi
ini boleh memilih untuk dilahirkan atas kehendak mereka sendiri. Mereka
melakukannya terutama untuk bertindak sebagai pemandu-pemandu spiritual bagi
umat manusia.
Dalam beberapa kondisi tertentu, orang-orang yang
meninggal di tingkat spiritual 60% dapat mencapai Maha loka. Di sini potensi
seseorang untuk pertumbuhan spiritual lebih lanjut dapat dipertimbangkan.
Melalui penelitian spiritual yang dilakukan oleh spiritual research foundation
Indonesia, telah ditemukan adanya 5 faktor yang mempengaruhi potensi untuk
pertumbuhan spiritual lebih lanjut dari orang tersebut.
1. Memiliki jumlah emosi spiritual (bhāv) yang
tinggi,
2. Memiliki ego yang rendah,
3. Memiliki keinginan yang kuat untuk pertumbuhan
spiritual,
4. Melakukan praktik spiritual teratur dengan tingkatan
yang semakin tinggi,
5. Terpengaruh atau tidak terpengaruh oleh
energi-energi negatif.
Dipengaruhi oleh energi-energi negatif sangatlah
menghambat kemampuan seseorang untuk dapat tumbuh secara spiritual. Maka, jika
seseorang berada di tingkat spiritual 65% tetapi sangat terpengaruh oleh
energi-energi negatif, kemampuannya untuk mencapai alam-alam spiritual yang
lebih tinggi seperti Maha loka menjadi terbatas. Jika seseorang mencapai Tapa
loka atau Satya loka setelah kematian, maka orang tersebut tidak mengambil
kelahiran lagi di alam eksistensi Bumi tetapi terus melakukan praktik spiritual
di alam eksistensi itu sampai ia bersatu sepenuhnya dengan Tuhan (Brahman Atman
Aikyam)
Dalam
kepercayaan Hindu, yang
hidup di surga
maupun neraka hanya
jiwa. Tetapi tempat ini bukan tempat abadi. Sorga dan Neraka sekedar
persinggahan sementara bagi Atman yang tidak murni karena pengaruh karma
wasana. Sorga bersifat sementara. Kalau sorga bersifat sementara, lantas
kapankah jiwa/roh/atman bereinkarnasi?. Bhagawad Gita IX. 21 menyatakan: mereka
menikmati sorga yang luas, dan ketika buah dari karma baik mereka habis, mereka
memasuki dunia yang tidak abadi ini; demikianlah mereka yang mengikuti aturan
Weda, mendambakan hasil dari perbuatan mereka, memperoleh lingkaran hidup dan
mati. Jadi setelah pahala atau dosa yang ia perbuat usai ditebus dalam sorga
atau neraka pada saat itulah jiwa/roh/atman seorang manusia siap lahir ke dunia
untuk memperbaiki setiap kesalahan yang dilakukannya dalam kehidupan terdahulu
dan mengalami sebuah evolusi spritualitas dan mencapai Moksa.
Bagi atman yang ketika hidup di dunia banyak berbuat
subha karma (berbuat baik) dari pada
asubha karma (berbuat
tidak baik), mereka
akan singgah sementara
di sorga. Dan sebaliknya, bagi atman yang ketika hidup
banyak berbuat asubha karma (berbuat tidak baik) dari pada subha karmanya
(berbuat baik), mereka akan singgah di neraka. Ini semua karena hasil karma
mereka masing-masing. Akibat tidak mampu mempertahankan kesucian sang atman
(jiwa/roh) yang suci, bagian dari
Brahman (Tuhan) yang Maha Suci. Jadi setelah menikmati sorga atau neraka, jiwa
bisa kembali lahir ke dunia untuk melanjutkan evolusi spritualnya sampai
akhirnya mencapai moksa. Dengan demikian dalam pandangan Hindu, seseorang
mencapai sorga atau moksa karena “Hasil dari Perbuatannya”.
Tuhan/Sanghyang Widhi tidak pilih kasih, setiap
orang membuat nasibnya sendiri, melalui karma yang mereka lakukan sebelumnya.
Karma yang lampau-lah yang menentukan sebagai apa dan peranan apa yang dia
terima dalam kelahirannya di dunia ini. Itulah sebabnya yang dilahirkan
berbeda-beda. Ada yang jadi Pandita, Rohaniawan, Presiden, Pejabat ABRI maupun Sipil, Pengusaha Sukses/Ekonom,
Konglomerat, Petani Sukses dan Kaya Raya, Peternak Sukses, Seniman, ada yang
menjadi orang kaya, orang miskin, orang cacat, orang gelandangan dsb. Bahkan
yang lebih jauh
merosot adalah sebagai binatang dan tumbuhan.
Hal ini juga merupakan salah satu motivasi umat Hindu
dalam berbuat baik, setidaknya bisa mencapai surga, sehingga reinkarnasinya
nanti masih pada manusia yang sempurna dan bernasib baik, dan ada kesempatan
mencapai moksa
Tetapi yang penting diingat Sorga Hindu bukanlah
sorga dimana manusia memuaskan nafsu badaninya. Karena yang hidup di sorga
Hindu hanya jiwa, tanpa badan kasar. Neraka Hindu juga bukan merupakan tempat
penyiksaan yang kejam dan abadi karena tujuan hidup seorang manusia
adalah mencapai moksa
dan reinkarnasi adalah
sebuah jalan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih
dan Penyayang kepada setiap jiwa/roh/atman manusia untuk memperbaiki setiap
kesalahan yang telah diperbuatnya dan mencapai kesempurnaan dan menyatu dengan
Brahman/Tuhan Semesta Alam. Neraka dalam Weda hanya disebutkan dalam tiga
mantra sebagai tempat kegelapan saja, lawan dari sorga yang artinya dunia yang
selalu terang. Neraka hanya digambarkan sebagai wilayah kegelapan
tanpa dasar, tempat
para pendurhaka, orang-orang
yang tidak bermoral, rumah kehancuran dan tukang sihir.
Tidak ada penjelasan tentang api yang berkobar-kobar yang mengancam dengan
ganas. Tidak ada alat-alat penyiksa yang akan merobek-robek atau menusuk,
memotong jiwa manusia. Karena jiwa/atman/roh tidak bisa dirobek dan dipotong.
Karl Jasper, seorang filsuf Jerman mengatakan
penderitaan membuat manusia melakukan refleksi, membuat hidup seseorang semakin
dalam dan bermakna. Orang yang tidak pernah menderita hidupnya dangkal.
Porselin yang indah dan mahal adalah tanah liat yang telah
mengalami penderitaan; ditumbuk, dibentuk dan dibakar dalam api yang sangat
panas. Hasilnya barang seni yang berguna, indah dan tinggi nilainya. Sepotong
bambu setelah dilubangi tubuhnya dengan bor panas menjadi seruling yang
menghasilkan suara merdu.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah penulis uraikan, dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Atman
adalah Percikan terkecil dari Brahman/ Ida Sanghyang Widhi Wasa yang berada
pada setiap makhluk hidup, yang mana mimiliki sifat-sifat seperti; Achedya, Adahya,
Akledya , Acesyah, Nitya, Sarwagatah, Sthanu, Acala, Sanatana, Awyakta, Acintya,
dan Awikara.
2. Atman adalah azaz dari hidupnya manusia, jiwa yang
mengisi wujudnya, nafasnya, prana, budhi, prajna dan berada diatasnya. Atman
kita sesungguhnya adalah keberadaan yang sejati, kesadaran sendiri dan tiada
disifatkan oleh bentuk pikiran maupun kecerdasan, sedangkan nama dan bentuk
hanyalah permainan dari perwujudan, demikian pula ego pada setiap individu
adalah keragaman pengungkapan dari Atman semesta Yang Esa.
3. Setelah
kematian Atman tetap mengalami keabadian, yang mana Atman akan menuju ke salah
satu dari 13 tempat utama selain bumi yang merupakan dunia suprakausal (tidak
terjangkau oleh pengamatan biasa). Atman ada yang akan mencapai sorga, neraka,
atau bahkan tidak akan terlahir lagi sesuai dengan karma yang telah dilakukan
semasa kehidupannya dengan badan fisik. Akan tetapi untuk atman yang baru bias
mencapai tempat di bawah Maha Loka, atman itu akan kembali mengalami
reinkarnasi untuk memperbaiki karmanya, dan hal ini akan terus berulang hingga
atman tersebut bias mendapatkan posisi di atas Maha Loka bahkan menyatu dengan
Brahman/ Ida Sanghyang Widhi (Brahman
Atman Aikyam).
DAFTAR REFERENSI:
Radhakrishnan,S.
2008. Upanisad-Upanisad Utama.Surabaya: Paramita.
Makasih sangat membantu
BalasHapussuksma
BalasHapus