Senin, 27 Oktober 2014

Riwayat Perjalanan Maharsi Markandeya

A.  Silsilah Maha Yogi Rsi Markandeya
Pada zaman dahulu kala tersebutlah seorang maharsi yang bernama Rsi Markandeya. Rsi Markandeya adalah seorang Maha Yogi yang sangat utama yang berasal dari keturunan warga Bregu. Bheghawan Bregu adalah keturunan dari Hyang Jagatnatha yang bergelar Sang Hyang Ratnamaya. Beliau adalah putra dari Sang yang Tunggal yang menjaga dan menguasai dunia seluruhnya. Dikisahkan, salah satu keturunan Hyang Jagatnatha bernama Sang Hyang Rsiwu, beliau seorang Mahayogi yang amat bijaksana mempunyai putra bergelar Sang Hyang Meru.
Sang Hyang Meru mempunyai Putra Sang Ayati dan adiknya Sang Niata. Sang Ayati mempunyai putra bernama Sang Prana , dan Sang Niata mempunyai putra bernama Sang Markanda. Sang Markanda memperistri seorang gadis cantik dan sempurna bernama Dewi Manswini. Inilah yang Melahirkan Sang Maharsi Markandeya. Rsi Markandeya sangat tampan da mempunyai banyak ilmu, Lama beliau membujang dan akhirnya memperistri Dewi Dumara. Dan mempunyai putra seorang bergelar Hyang rsi Dewa Sirah. Rsi Dewa sirah memperistri Dewi Wipari. Rsi Markadeya adalah titisan Dewa Surya yang berasal dari Negara Bharatawarsa ( India). Dan Beliau berkeinginan mengembangkan ajaran Yoga beliau menuju daerah selatan India hingga akhirnya sampailah di Nusantara.

B.  Perjalanan Maharsi Markandeya di Nusantara
 Maharsi Markandeya datang kebumi nusantara pada abad ke 2 M. Beliau bertapa dilereng gunung Dieng, di jawa Tengah. Akan tetapi tiap malam beliau didatangai oleh orang-orang halus. Mereka ada yang berupa jin, setan, hantu dan sebagainya. Konon kabarnya mereka berdiam pada goa-goa, jurang-jurang yang dalam, batu-batu besar atau pohon-pohon yang besar. Semuanya datang mengganggu Sang Markhandeya bertapa. Maka terpaksalah beliau meninggalkan tempaat itu dan pergi kearah timur dan akhirnya sampai dilereng gunung Raung. Disitlah Maharsi Markandeya mulai bertapa lagi. Tak berselang lama dalam pertapaannya beliau mendapatkan wahyu berupa suara gaib dan sinar terang berderang yang terlihat di arah Timur.
Terlihatlah sederetan gunung-gunung dari barat ke timur yang berjejer berwarna hijau nan subur. Nun jauh ditimur tampaklah puncak gunung agung yang menjulang tinggi. disebut panjang (Dawa) karena berderet gunung-gunung yang memanjang dari barat ke timur, untuk membuka lahan baru. Mahayogi Markandeya dengan segera mengumumkan kepada para pengikutnya, maka sejumlah kurang lebih 8000 orang bersedia untuk hijrah ke Pulau Dawa atas saran Mahayogi untuk membuka lahan baru. Setelah perlengkapan dan perbekalan dirasakan telah siap maka berangkatlah rombongan Mahayogi Markandeya menuju pulau Dawa, rombongan ini mengalami banyak musibah, binatang-binatang buas macan, ular dan binatang buas lainnya banyak yang menerkam pengikut-pengikut Mahayogi Markandeya saat merabas hutan. Selain itu banyak pula pengikut-pengikut Mahayogi yang terserang wabah penyakit hingga banyak yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Melihat kenyataan ini, Mahayogi sangat sedih dan kecewa, pasti ada sesuatu yang kurang beres dalam misi ini. Akhirnya Mahayogi memutuskan untuk kembali ke Gunung Rawung bersama pengikut-pengikutnya yang masih tersisa. Sesampainya di Gunung Rawung Jawa Timur, Mahayogi Markandeya bertapa kembali untuk memohon petunjuk kepada hyang kuasa. Setelah selesai bertapa beliau kembali memberitahukan kepada pengikut-pengikutnya tentang rencana untuk kembali ke pulau Dawa. Kali ini beliau mengikutsertakan para Yogi lainnya. Untuk keberangkatan yang kedua kalinya, telah terkumpul orang-orang yang sebagian besar dari desa Aga yang berjumlah kurang lebih 400 orang lengkap dengan alat pertanian termasuk sejumlah bibit sarwapala yang dibawa untuk pembukaan lahan baru. Setibanya di pulau Dawa dan sebelum merabas hutan, diadakan upacara yang dipimpin oleh Mahayogi Markandeya beserta para Panditha, Rsi dan para Yogi lainnya. Upacara ini memohon kepada Tuhan dan Ibu Pertiwi agar diperkenankan untuk mengolah lahan yang akan dijadikan pertanian. Tak lupa pula dimohonkan agar wabah penyakit dan binatang-binatang buas tidak menjadi kendala untuk misi ini.
Setelah upacara yang dilakukan oleh Markandeya bersama orang-orang Desa Aga selesai, maka dilanjutkan dengan prosesi penanaman sarana yang disebut Pancadatu (liam jens logam, yaitu: perak, tembaga, emas, besi, dan timah, disertai pula permata mirah). Sebagai simbol kelima unsur elemen agar pengolahan lahan baru ini berjalan lancar. Mahayogi Markandeya memberi nama “Basuki” pada penanaman Pancadatu tersebut, karena Basuki memiliki arti Rahayu atau selamat. Akhirnya saat ini nama Basuki itu dikenal dengan nama Desa Besakih di lereng Gunung Agung. Disaat Mahayogi membagi-bagikan sawah dan ladang kepada para pengikutnya, maka tempat tersebut diberi nama “Desa Puwakan” (puwakan=pembagian).
Di tempat dimana Mahayogi beryoga disebut Desa Payogan, Campuan, Ubud. Selanjutnya di Desa Taro (Taro=Taru, Taru =Kayu, Kayu berarti Kayun, Kayun = keinginan, dalam hal ini berarti memiliki keinginan suci dan berpikiran suci) yang artinya sang Yogi mengajarkan ajaran dan pikiran suci. Selanjutnya orang desa Aga disebut Bali Aga yang berarti orang-orang dari desa Aga yang melakukan wali=kurban suci. Semenjak itu pulau Dawa dikenal dengan nama pulau Wali/Bali. Mahayogi Markandeya pun mengajarkan sistem bertani yang dikenal dengan sistem “subak” dan mengajarkan sistem bermasyarakat yaitu adat Banjar, Pekasehan, dan tugas serta kewajiban masing-masing. di tempat dimana beliau mengajarkan agama, akhirnya dikenal dengan sebutan “Desa Payangan” (Payangan berasal dari kata Parahyangan yang berarti para dewata). Di kemudian hari, dimana tempat tinggal beliau, didirikan pura Taro, di desa Besakih juga didirikan Pura Besakih.
Demikian kisah Mahayogi Markandeya di tahun 158 Masehi yang membawa para pengkutnya dari Gunung Rawung dan desa Aga, Jawa Timur ke pulau Dawa untuk membuka lahan baru hingga pulau ini dikenal dengan nama pulau Bali yang terkenal dengan pura Besakihnya dimana beliau menanamkan pancadatu untuk memulai merabas hutan yang nantinya menjadi lahan pertanian dan perladangan untuk mengisi kehidupan pada pulau ini. Karena pulau ini telah lama kosong semenjak penduduk asli Bali yang hidup di zaman raja Bali yang pernah bertemu dengan Mahayogi cebol yang bernama Wamana, yang mana atas permintaan sang Wamana meminta 3 langkah kaki sebagai wilayahnya, akhirnya raja Bali beserta rakyatnya harus menuju ke alam bawah yang disebut patala. Pada zaman Ramayana, Sugriwa pernah mengirim pasukannya untuk mencari Dewi Sitha hingga ke pulau “Narikel” yang artinya kepulauan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa (Sunda Kelapa = Sumatra, Jawa, Madura, dan Bali). Yang ditemukan hanyalah saksi-saksi bisu di masa raja Bali. Namun berkat kedatangan Mahayogi Markandeya beserta pengikutnya, maka pulau ini hidup kembali dan dikenal dengan nama pulau Bali.



C.  Jejak perjalanan Rsi Markandeya di Tanah Lombok
Setelah memastikan pulau Bali merupakan titik sinar yang beliau lihat pada waktu bersemedi di Gunung Raung Jawa. Maka untuk memastikan suatu saat nanti di masa depan pulau Bali akan tetap menjadi pulau yang suci, maka Ida Maharsi Markandeya berusaha melindungi pulau Bali dengan cara memagari pulau Bali dengan sinar-sinar suci. Proses pemagaran pulau Bali ini terkait dengan penanaman panca datu di beberapa pulau yang mengelilingi pulau Bali. Tujuan dari penanaman panca datu di pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali ini adalah dengan tujuan jikalau suatu saat sinar kesucian pulau Bali mulai meredup akibat pola prilaku sekala-niskala dari penduduk Bali yang mulai tidak sesuai dengan kaidah Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita Karana maka sinar-sinar suci dari pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali inilah yang akan memberikan sokongan energi supaya energi kesucian pulau Bali tetap terjaga.
Singkat cerita, dalam tulisan ini penulis memfokuskan pada perjalanan Ida Maharsi Markandeya ke tanah Lombok dalam rangka menanam panca datu dan dalam rangka menandai titik-titik spiritual di tanah Lombok yang suatu saat akan menjadi sumber energi spiritual yang bukan hanya akan menjaga keseimbangan pulau Lombok dan sekitar akan tetapi juga akan menjadi cadangan energi spiritual untuk pulau Bali jikalau pulau Bali sudah mulai kotor.
Jejak perjalanan Ida Maharsi Markandeya ditanah Lombok diawali lewat Nusa Penida. Setelah menandai titik-titik spiritual di Nusa Penida seperti Puncak Mundi, Puncak Tunjuk Pusuh, Puncak Tinggar, Dalem Ped, Giri Putri, Sekar Taji dll, Ida Maharsi Markandeya melanjutkan perjalanan beliau ke pulau Lombok. Di pulau Lombok ini beliau pertama kali beryoga semadi di puncak Gunung Sari (sekarang menjadi lokasi pura Gunung Sari, Lombok), disini Ida ditemani oleh putun Ida yang bernama Ratu Ayu Manik Tirta Mas.
Kemudian setelah itu beliau beryoga semadi di puncak Baliku (sekarang menjadi lokasi pura Puncak Baliku), disini Ida ditemani oleh istri beliau yang bernama Ida Ratu Niang Sarining Suci. Setelah itu beliau lanjut menandai titik Gunung Pengsong.
Di Gunung Pengsong beliau bertemu dengan seorang wanita cina yang jaman sekarang dikenal dengan Ida Ratu Niang Gunung Pengsong atau ditanah Bali dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Di Gunung Pengsong ini Ida Hyang Maharsi Markandeya melakukan kawin kesaktian dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Jadi selama bertapa di Gunung Pengsong ini Ida Maharsi Markandeya ditemani oleh Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Tempat pertapaan beliau ini yang pada jaman sekarang ini menjadi cikal bakal Pura Puncak Gunung Pengsong. Taksu hasil kawin kesaktian dari Ida Maharsi Markandeya dan Ida Hyang Dewi Anjani di Gunung Pengsong ini merupakan taksu kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Setelah menyelasaikan proses pembangkitan sinar suci di Gunung Pengsong kemudian Ida Maharsi Markandeya ditemani dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani melanjutkan perjalanan ke Puncak Gunung Rinjani. Di Puncak Gunung Rinjani ini Ida Maharsi Markandeya mengumpulkan energi dari semua titik sinar suci di pulau Lombok yang suatu saat jika diperlukan akan dikirim ke pulau Bali untuk menjaga kesucian pulau Bali. Di puncak Gunung Rinjani ini Ida Hyang Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar kesucian yang beliau dapat di pulau Lombok. Akibat dari hasil penunggalan semua sinar suci pulau Lombok ini maka di Puncak Gunung Rinjani, Ida Betara Lingsir Maharsi Markandeya dikenal dengan Ida Hyang Lingsir Maharsi SUKMA JATI. Setelah Ida Maharsi Markandeya merasa cukup membangkitkan titik kesucian pulau Lombok, kemudian beliau berencana melanjutkan perjalanan meninggalkan pulau Lombok menuju Gunung Tambora. Untuk tetap menjaga kesucian pulau Lombok khususnya setelah ditinggalkan oleh beliau maka Tongkat Komando Penguasa pulau Lombok diserahkan kepada Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Karena tugas yang maha berat ini kemudian Ida Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar suci yang telah dikumpulkan selama masa pertapaan Ida dan Hyang Dewi Anjani dari pertapaan di Gunung Pengsong sampai puncak Gunung Rinjani.
Hasil penunggalan /pemurtian sinar suci ini kemudian menyebabkan Ida Hyang Betari Dewi Anjani bergelar IDA HYANG BETARI AMBUN JAGAT. Gelar ini mencerminkan bahwa Ida Hyang Betari Dewi Anjani adalah pengayom dan pelindung jagat Lombok dan sekitarnya. Sehingga sampai saat ini yang diyakini berstana dan merupakan betara lingsir puncak Gunung Rinjani Lombok adalah Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Sepeninggal Ida Maharsi Markandeya, suatu saat ratusan tahun kemudian atas petunjuk spiritual yang diberikan oleh Ida Maharsi Markandeya, datanglah murid spiritual beliau yaitu Ida Hyang Mpu Siddhimantra bertapa di puncak Gunung Rinjani untuk melanjutkan tugas Ida Maharsi Markandeya. Jadi di atas puncak Gunung Rinjani secara garis besar terdapat tiga Ida Betara Lingsir yang menjadi pengayom dan penjaga kesucian Gunung Rinjani yaitu : Ida Hyang Lingsir Maharsi Sukma Jati yang merupakan penunggalan dari Ida Maharsi Markandeya, Ida Hyang Betari Lingsir Ambun Jagat yang merupakan penunggalan dari Ida Hyang Betari Dewi Anjani dan Ida Hyang Mpu Siddhimantra sebagai pelaksana teknis dari Gunung Rinjani.
Setelah menyelesaikan penandaan dan pembangkitan sinar-sinar suci di pulau Lombok kemudian Ida Hyang Maharsi Markandeya berdasarkan petunjuk yang didapat di puncak Gunung Rinjani kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Tambora. Berdasarkan petunjuk yang didapat dari puncak Gunung Rinjani, meskipun Gunung Tambora tidak berbatasan langsung dengan pulau Bali, akan tetapi jika tidak ditandai dan dibangkitkan sinar sucinya maka Gunung tersebut suatu saat akan bisa menghancurkan pulau Bali, ini terbukti dengan terjadinya letusan paling dasyat di muka bumi ini yaitu pada tahun 1881 dimana efeknya ikut meluluhlantakan kehidupan di Bali.
Singkat cerita Ida Maharsi Markandeya sampai ke puncak Gunung Tambora, disini beliau bertemu dengan seorang wanita yang nantinya akan menjadi istri beliau di puncak Gunung Tambora beliau bernama Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan. Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan sepeninggal Ida Maharsi Markandeya dari puncak Gunung Tambora, kelak kemudian hari juga dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Bhujangga Suci. Atas tugas dari alam semesta untuk melindungi Gunung Tambora, sehingga ditempat ini Ida Maharsi Markandeya menanam pancer berupa manik-manik yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan Gunung Tambora. Atas tugas inilah alam semesta memberi gelar Ida Betara Lingsir Pancer Manik Tunggul kepada Ida Maharsi Markandeya sebagai Betara Lingsir Puncak Gunung Tambora.
Sama seperti Ida Hyang Mpu Siddimantra yang dipanggil oleh Guru Niskala Ida yaitu Ida Hyang Maharsi Markandeya untuk melanjutkan menjaga kesucian puncak-puncak di tanah Lombok maka sama seperti halnya Ida Hyang Maharsi Madura. Ida Maharsi Madura dipanggil ratusan tahun berikutnya ke tanah Lombok untuk melanjutkan tugas Maharsi Markandeya untuk menjaga kesucian pulau Lombok. Akan tetapi, Ida Maharsi Madura dalam kapasitas sebagai Ida Rsi Dalem Segara, hanya ditugaskan untuk menjaga kesucian laut Lombok. Titik yang dipilih oleh Ida Rsi Madura dalam mendoakan dan menjaga kesucian laut-laut di pulau Lombok, pada jaman sekarang ini dikenal dengan Pura Batu Bolong. Setelah jaman Ida Maharsi Markandeya, Ida Mpu Siddimantra dan Ida Maharsi Madura barulah ratusan berikutnya datang Ida Peranda Sakti Wawu Rauh atau yang nantinya di Lombok dikenal dengan Tuan Semeru. Ida Peranda Sakti tidak dapat napak puncak-puncak di Lombok, akan tetapi beliau napak di puncak Gunung Tambora. Disinilah beliau mendapat julukan Tuan Semeru. Mudah-mudahan dengan cerita di atas dapat membuka wawasan berpikir saudara-saudara di Bali akan jejak perjalanan para pendeta ditanah Lombok beserta dengan titik-titik napak tilasnya.

D.  Tempat Suci Peninggalan Rsi Markandeya

1.    Pura Besakih
Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula lokasi pura ini merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Hingga sekarang komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih.
2.    Pura Pucak Cabang Dahat.
 Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.
3.    Pura Gunung Raung
Pura ini sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali.

4.    Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar.

7 komentar:

  1. antara abad 2 M dengan th. 800 M jauh sekali???shg kesimpukannya ASAL TULIS dan tidak bisa dipercaya>>>>Mohon kalau menulis sertakan juga th nya yang akurat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Abad ke-2 itu sudah benar. Rujukan data primer. Purana Besakih menyebutkan Candra Sangkala "Wak Sasih Wak". Wak artinya satu. Sasih artinya satu. Wak artinya satu. Panca DAtu di Pura Besakih di tanam pada Tahun Wak Sasih Wak atau tahun 111 SAka atau Tahun 189 Masehi. Sudah benar abad ke-2. Kalau ingin tahu lebih lanjut silakan temui Mangku Pura Basukihan/Bali Mula. Di sanalah Ida Resi menanam Panca Datu. Ada juga yang menyebut tahun 800, namun sumber rujukan belum pernah saya lihat.

      Hapus
  2. sukseme antuk cerittra /sejarah Riwayat Perjalanan Maharsi Markandeyanya

    BalasHapus
  3. Demikian berat perjuangan Maharsi Markandeya yg Jauh2 datang pada sekitar abad ke-8 dari India Selatan untuk mengajarkan Sanatana Dharma serta tata cara merawat Bali dengan ritual keagamaan dan tradisi berdasarkan Kitab Suci Weda. Saat itu nusantara terutama Bali yg belum memiliki nama, masih menyatu dengan pulau jawa (belum dipisahkan selat) sehingga disebut pulau dawa/panjang dan dominan ditumbuhi hutan lebat, angker dan dijaga binatang buas. Belum ada jalan setapak apalagi jalan paving atau jalan aspal seperti sekarang. Berkat Beliau, Ida Maharsi Markandeya dan juga murid-murid dan pengiring Beliau, Bali bisa dihuni dan memberikan kesejahteraan & kemakmuran luar biasa pada umat manusia dan makhluk lain yg tinggal diatas pulau ini. Bali tidak memiliki tambang emas, minyak, mineral, dll. Bali tidak begitu indah, karena daerah lain di nusantara memiliki pemandangan yg jauh lebih indah daripada Bali. Tapi berkat jasa Ida Maharsi Markandeya dengan kekuatan yogaNYA lalu mengumpulkan energi dari tanah/pertiwi Bali yg memiliki kekuatan luar biasa lalu dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran orang yg tinggal dibali. Terbukti Bali menjadi Pulau yg makmur dan sejahtera. Untuk mencari uang 100 ribu sehari adalah hal gampang di Bali sedangkan untuk mencari uang 5000 rupiah di Jawa dan sejumlah daerah lain adalah perkara yg susah. Hal ini yg mengundang orang luar ramai datang ke Bali. Sekali lagi Bali tanpa memiliki sumber daya alam dan tambang seperti daerah lain. Jadi siapapun yg tinggal diatas pulau Bali termasuk para pendatang wajib dan harus ikut merawat, melestarikan dan mengajegkan Bali sesuai warisan berupa tradisi, adat, kebiasaan berdasarkan dan bernafaskan Hindu & kitab suci weda yg dilanjutkan turun temurun hingga jaman sekarang. Kalau mau merusak tatanan yg sudah ada dengan membawa budaya dan tradisi baru/asing dari luar, termasuk agama baru, ada baiknya keluar dari pulau ini. Jangan tinggal di pulau ini. Yg cinta Bali, Mari Ajeg kan Bali.

    BalasHapus
  4. Sangat detail semoga di lengkapi dengan uraian pendukungnya biar jadi lebih jelas.

    BalasHapus
  5. Om Swastiastu Ih tabik Maha Guru. Hyang Bhatara Guru.. Nike berasal dari Desa Ngawonggo Dieng Tanah hisap.. Ampura banget sampunang sejarah di ubah Semua dari Nusantara.. Akibat kolonial jejak sejarah di ubah seolah olah Hindu dari Jambu Dwipa.. India. Maha Rsi Markandya dari Tanah Jawa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maharesi Markandeya adalah murid Maharesi Agasteya sama-sama berasal dari India Selatan, melakukan Dharmayatra/Tirtayatra ke Nusantara (Kutai Kaltim, Jawa Barat, Jawa Tengah (Gunung Demalung/Di Hyang/Dieng), Jawa Timur (gunung Raung/Wukir/Wilis/lereng lembah Age), ke Bali (gunung Tohlangkir/Agung Pura Besakih, Ubud gunung Lebah, Payangan, Taro, gunung Batukaru), lanjut ke Lombok dan Sumbawa, kembali ke Bali moksah di Pura Payogan Ubud Bali

      Hapus