A. Silsilah Maha Yogi Rsi Markandeya
Pada
zaman dahulu kala tersebutlah seorang maharsi yang bernama Rsi Markandeya. Rsi
Markandeya adalah seorang Maha Yogi yang sangat utama yang berasal dari
keturunan warga Bregu. Bheghawan Bregu adalah keturunan dari Hyang Jagatnatha
yang bergelar Sang Hyang Ratnamaya. Beliau adalah putra dari Sang yang Tunggal
yang menjaga dan menguasai dunia seluruhnya. Dikisahkan, salah satu keturunan
Hyang Jagatnatha bernama Sang Hyang Rsiwu, beliau seorang Mahayogi yang amat
bijaksana mempunyai putra bergelar Sang Hyang Meru.
Sang
Hyang Meru mempunyai Putra Sang Ayati dan adiknya Sang Niata. Sang Ayati
mempunyai putra bernama Sang Prana , dan Sang Niata mempunyai putra bernama
Sang Markanda. Sang Markanda memperistri seorang gadis cantik dan sempurna
bernama Dewi Manswini. Inilah yang Melahirkan Sang Maharsi Markandeya. Rsi
Markandeya sangat tampan da mempunyai banyak ilmu, Lama beliau membujang dan
akhirnya memperistri Dewi Dumara. Dan mempunyai putra seorang bergelar Hyang
rsi Dewa Sirah. Rsi Dewa sirah memperistri Dewi Wipari. Rsi Markadeya adalah
titisan Dewa Surya yang berasal dari Negara Bharatawarsa ( India). Dan Beliau
berkeinginan mengembangkan ajaran Yoga beliau menuju daerah selatan India
hingga akhirnya sampailah di Nusantara.
B. Perjalanan Maharsi Markandeya di
Nusantara
Maharsi Markandeya datang kebumi nusantara
pada abad ke 2 M. Beliau bertapa dilereng gunung Dieng, di jawa Tengah. Akan
tetapi tiap malam beliau didatangai oleh orang-orang halus. Mereka ada yang
berupa jin, setan, hantu dan sebagainya. Konon kabarnya mereka berdiam pada
goa-goa, jurang-jurang yang dalam, batu-batu besar atau pohon-pohon yang besar.
Semuanya datang mengganggu Sang Markhandeya bertapa. Maka terpaksalah beliau
meninggalkan tempaat itu dan pergi kearah timur dan akhirnya sampai dilereng
gunung Raung. Disitlah Maharsi Markandeya mulai bertapa lagi. Tak berselang
lama dalam pertapaannya beliau mendapatkan wahyu berupa suara gaib dan sinar
terang berderang yang terlihat di arah Timur.
Terlihatlah
sederetan gunung-gunung dari barat ke timur yang berjejer berwarna hijau nan
subur. Nun jauh ditimur tampaklah puncak gunung agung yang menjulang tinggi. disebut
panjang (Dawa) karena berderet gunung-gunung yang memanjang dari barat ke
timur, untuk membuka lahan baru. Mahayogi Markandeya dengan segera mengumumkan
kepada para pengikutnya, maka sejumlah kurang lebih 8000 orang bersedia untuk
hijrah ke Pulau Dawa atas saran Mahayogi untuk membuka lahan baru. Setelah
perlengkapan dan perbekalan dirasakan telah siap maka berangkatlah rombongan
Mahayogi Markandeya menuju pulau Dawa, rombongan ini mengalami banyak musibah,
binatang-binatang buas macan, ular dan binatang buas lainnya banyak yang
menerkam pengikut-pengikut Mahayogi Markandeya saat merabas hutan. Selain itu
banyak pula pengikut-pengikut Mahayogi yang terserang wabah penyakit hingga
banyak yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Melihat
kenyataan ini, Mahayogi sangat sedih dan kecewa, pasti ada sesuatu yang kurang
beres dalam misi ini. Akhirnya Mahayogi memutuskan untuk kembali ke Gunung
Rawung bersama pengikut-pengikutnya yang masih tersisa. Sesampainya di Gunung
Rawung Jawa Timur, Mahayogi Markandeya bertapa kembali untuk memohon petunjuk
kepada hyang kuasa. Setelah selesai bertapa beliau kembali memberitahukan
kepada pengikut-pengikutnya tentang rencana untuk kembali ke pulau Dawa. Kali
ini beliau mengikutsertakan para Yogi lainnya. Untuk keberangkatan yang kedua
kalinya, telah terkumpul orang-orang yang sebagian besar dari desa Aga yang
berjumlah kurang lebih 400 orang lengkap dengan alat pertanian termasuk
sejumlah bibit sarwapala yang dibawa untuk pembukaan lahan baru. Setibanya di
pulau Dawa dan sebelum merabas hutan, diadakan upacara yang dipimpin oleh
Mahayogi Markandeya beserta para Panditha, Rsi dan para Yogi lainnya. Upacara
ini memohon kepada Tuhan dan Ibu Pertiwi agar diperkenankan untuk mengolah
lahan yang akan dijadikan pertanian. Tak lupa pula dimohonkan agar wabah
penyakit dan binatang-binatang buas tidak menjadi kendala untuk misi ini.
Setelah
upacara yang dilakukan oleh Markandeya bersama orang-orang Desa Aga selesai,
maka dilanjutkan dengan prosesi penanaman sarana yang disebut Pancadatu (liam
jens logam, yaitu: perak, tembaga, emas, besi, dan timah, disertai pula permata
mirah). Sebagai simbol kelima unsur elemen agar pengolahan lahan baru ini
berjalan lancar. Mahayogi Markandeya memberi nama “Basuki” pada penanaman
Pancadatu tersebut, karena Basuki memiliki arti Rahayu atau selamat. Akhirnya
saat ini nama Basuki itu dikenal dengan nama Desa Besakih di lereng Gunung
Agung. Disaat Mahayogi membagi-bagikan sawah dan ladang kepada para
pengikutnya, maka tempat tersebut diberi nama “Desa Puwakan”
(puwakan=pembagian).
Di
tempat dimana Mahayogi beryoga disebut Desa Payogan, Campuan, Ubud. Selanjutnya
di Desa Taro (Taro=Taru, Taru =Kayu, Kayu berarti Kayun, Kayun = keinginan,
dalam hal ini berarti memiliki keinginan suci dan berpikiran suci) yang artinya
sang Yogi mengajarkan ajaran dan pikiran suci. Selanjutnya orang desa Aga
disebut Bali Aga yang berarti orang-orang dari desa Aga yang melakukan wali=kurban
suci. Semenjak itu pulau Dawa dikenal dengan nama pulau Wali/Bali. Mahayogi
Markandeya pun mengajarkan sistem bertani yang dikenal dengan sistem “subak”
dan mengajarkan sistem bermasyarakat yaitu adat Banjar, Pekasehan, dan tugas
serta kewajiban masing-masing. di tempat dimana beliau mengajarkan agama,
akhirnya dikenal dengan sebutan “Desa Payangan” (Payangan berasal dari kata
Parahyangan yang berarti para dewata). Di kemudian hari, dimana tempat tinggal
beliau, didirikan pura Taro, di desa Besakih juga didirikan Pura Besakih.
Demikian
kisah Mahayogi Markandeya di tahun 158 Masehi yang membawa para pengkutnya dari
Gunung Rawung dan desa Aga, Jawa Timur ke pulau Dawa untuk membuka lahan baru
hingga pulau ini dikenal dengan nama pulau Bali yang terkenal dengan pura
Besakihnya dimana beliau menanamkan pancadatu untuk memulai merabas hutan yang
nantinya menjadi lahan pertanian dan perladangan untuk mengisi kehidupan pada
pulau ini. Karena pulau ini telah lama kosong semenjak penduduk asli Bali yang
hidup di zaman raja Bali yang pernah bertemu dengan Mahayogi cebol yang bernama
Wamana, yang mana atas permintaan sang Wamana meminta 3 langkah kaki sebagai
wilayahnya, akhirnya raja Bali beserta rakyatnya harus menuju ke alam bawah
yang disebut patala. Pada zaman Ramayana, Sugriwa pernah mengirim pasukannya
untuk mencari Dewi Sitha hingga ke pulau “Narikel” yang artinya kepulauan yang
banyak ditumbuhi pohon kelapa (Sunda Kelapa = Sumatra, Jawa, Madura, dan Bali).
Yang ditemukan hanyalah saksi-saksi bisu di masa raja Bali. Namun berkat
kedatangan Mahayogi Markandeya beserta pengikutnya, maka pulau ini hidup
kembali dan dikenal dengan nama pulau Bali.
C. Jejak perjalanan Rsi Markandeya di
Tanah Lombok
Setelah
memastikan pulau Bali merupakan titik sinar yang beliau lihat pada waktu
bersemedi di Gunung Raung Jawa. Maka untuk memastikan suatu saat nanti di masa
depan pulau Bali akan tetap menjadi pulau yang suci, maka Ida Maharsi
Markandeya berusaha melindungi pulau Bali dengan cara memagari pulau Bali
dengan sinar-sinar suci. Proses pemagaran pulau Bali ini terkait dengan
penanaman panca datu di beberapa pulau yang mengelilingi pulau Bali. Tujuan
dari penanaman panca datu di pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali ini
adalah dengan tujuan jikalau suatu saat sinar kesucian pulau Bali mulai meredup
akibat pola prilaku sekala-niskala dari penduduk Bali yang mulai tidak sesuai
dengan kaidah Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita Karana maka sinar-sinar suci dari
pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali inilah yang akan memberikan sokongan
energi supaya energi kesucian pulau Bali tetap terjaga.
Singkat cerita, dalam tulisan ini penulis
memfokuskan pada perjalanan Ida Maharsi Markandeya ke tanah Lombok dalam rangka
menanam panca datu dan dalam rangka menandai titik-titik spiritual di tanah
Lombok yang suatu saat akan menjadi sumber energi spiritual yang bukan hanya
akan menjaga keseimbangan pulau Lombok dan sekitar akan tetapi juga akan
menjadi cadangan energi spiritual untuk pulau Bali jikalau pulau Bali sudah
mulai kotor.
Jejak
perjalanan Ida Maharsi Markandeya ditanah Lombok diawali lewat Nusa Penida.
Setelah menandai titik-titik spiritual di Nusa Penida seperti Puncak Mundi,
Puncak Tunjuk Pusuh, Puncak Tinggar, Dalem Ped, Giri Putri, Sekar Taji dll, Ida
Maharsi Markandeya melanjutkan perjalanan beliau ke pulau Lombok. Di pulau
Lombok ini beliau pertama kali beryoga semadi di puncak Gunung Sari (sekarang
menjadi lokasi pura Gunung Sari, Lombok), disini Ida ditemani oleh putun Ida
yang bernama Ratu Ayu Manik Tirta Mas.
Kemudian
setelah itu beliau beryoga semadi di puncak Baliku (sekarang menjadi lokasi
pura Puncak Baliku), disini Ida ditemani oleh istri beliau yang bernama Ida
Ratu Niang Sarining Suci. Setelah itu beliau lanjut menandai titik Gunung
Pengsong.
Di
Gunung Pengsong beliau bertemu dengan seorang wanita cina yang jaman sekarang
dikenal dengan Ida Ratu Niang Gunung Pengsong atau ditanah Bali dikenal dengan
nama Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Di Gunung Pengsong ini Ida Hyang Maharsi
Markandeya melakukan kawin kesaktian dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Jadi
selama bertapa di Gunung Pengsong ini Ida Maharsi Markandeya ditemani oleh Ida
Hyang Betari Dewi Anjani. Tempat pertapaan beliau ini yang pada jaman sekarang
ini menjadi cikal bakal Pura Puncak Gunung Pengsong. Taksu hasil kawin
kesaktian dari Ida Maharsi Markandeya dan Ida Hyang Dewi Anjani di Gunung
Pengsong ini merupakan taksu kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Setelah
menyelasaikan proses pembangkitan sinar suci di Gunung Pengsong kemudian Ida
Maharsi Markandeya ditemani dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani melanjutkan
perjalanan ke Puncak Gunung Rinjani. Di Puncak Gunung Rinjani ini Ida Maharsi
Markandeya mengumpulkan energi dari semua titik sinar suci di pulau Lombok yang
suatu saat jika diperlukan akan dikirim ke pulau Bali untuk menjaga kesucian
pulau Bali. Di puncak Gunung Rinjani ini Ida Hyang Maharsi Markandeya
menunggalkan semua sinar kesucian yang beliau dapat di pulau Lombok. Akibat
dari hasil penunggalan semua sinar suci pulau Lombok ini maka di Puncak Gunung
Rinjani, Ida Betara Lingsir Maharsi Markandeya dikenal dengan Ida Hyang Lingsir
Maharsi SUKMA JATI. Setelah Ida Maharsi Markandeya merasa cukup membangkitkan
titik kesucian pulau Lombok, kemudian beliau berencana melanjutkan perjalanan meninggalkan
pulau Lombok menuju Gunung Tambora. Untuk tetap menjaga kesucian pulau Lombok
khususnya setelah ditinggalkan oleh beliau maka Tongkat Komando Penguasa pulau
Lombok diserahkan kepada Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Karena tugas yang maha
berat ini kemudian Ida Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar suci yang
telah dikumpulkan selama masa pertapaan Ida dan Hyang Dewi Anjani dari
pertapaan di Gunung Pengsong sampai puncak Gunung Rinjani.
Hasil
penunggalan /pemurtian sinar suci ini kemudian menyebabkan Ida Hyang Betari
Dewi Anjani bergelar IDA HYANG BETARI AMBUN JAGAT. Gelar ini mencerminkan bahwa
Ida Hyang Betari Dewi Anjani adalah pengayom dan pelindung jagat Lombok dan
sekitarnya. Sehingga sampai saat ini yang diyakini berstana dan merupakan betara
lingsir puncak Gunung Rinjani Lombok adalah Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Sepeninggal
Ida Maharsi Markandeya, suatu saat ratusan tahun kemudian atas petunjuk
spiritual yang diberikan oleh Ida Maharsi Markandeya, datanglah murid spiritual
beliau yaitu Ida Hyang Mpu Siddhimantra bertapa di puncak Gunung Rinjani untuk
melanjutkan tugas Ida Maharsi Markandeya. Jadi di atas puncak Gunung Rinjani
secara garis besar terdapat tiga Ida Betara Lingsir yang menjadi pengayom dan
penjaga kesucian Gunung Rinjani yaitu : Ida Hyang Lingsir Maharsi Sukma Jati
yang merupakan penunggalan dari Ida Maharsi Markandeya, Ida Hyang Betari
Lingsir Ambun Jagat yang merupakan penunggalan dari Ida Hyang Betari Dewi
Anjani dan Ida Hyang Mpu Siddhimantra sebagai pelaksana teknis dari Gunung
Rinjani.
Setelah menyelesaikan penandaan dan
pembangkitan sinar-sinar suci di pulau Lombok kemudian Ida Hyang Maharsi
Markandeya berdasarkan petunjuk yang didapat di puncak Gunung Rinjani kemudian
melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Tambora. Berdasarkan petunjuk yang
didapat dari puncak Gunung Rinjani, meskipun Gunung Tambora tidak berbatasan
langsung dengan pulau Bali, akan tetapi jika tidak ditandai dan dibangkitkan
sinar sucinya maka Gunung tersebut suatu saat akan bisa menghancurkan pulau
Bali, ini terbukti dengan terjadinya letusan paling dasyat di muka bumi ini
yaitu pada tahun 1881 dimana efeknya ikut meluluhlantakan kehidupan di Bali.
Singkat
cerita Ida Maharsi Markandeya sampai ke puncak Gunung Tambora, disini beliau
bertemu dengan seorang wanita yang nantinya akan menjadi istri beliau di puncak
Gunung Tambora beliau bernama Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan. Ida Hyang Betari
Ibu Dewi Wulan sepeninggal Ida Maharsi Markandeya dari puncak Gunung Tambora,
kelak kemudian hari juga dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Bhujangga Suci.
Atas tugas dari alam semesta untuk melindungi Gunung Tambora, sehingga ditempat
ini Ida Maharsi Markandeya menanam pancer berupa manik-manik yang berfungsi
untuk menjaga keseimbangan Gunung Tambora. Atas tugas inilah alam semesta
memberi gelar Ida Betara Lingsir Pancer Manik Tunggul kepada Ida Maharsi
Markandeya sebagai Betara Lingsir Puncak Gunung Tambora.
Sama
seperti Ida Hyang Mpu Siddimantra yang dipanggil oleh Guru Niskala Ida yaitu
Ida Hyang Maharsi Markandeya untuk melanjutkan menjaga kesucian puncak-puncak
di tanah Lombok maka sama seperti halnya Ida Hyang Maharsi Madura. Ida Maharsi
Madura dipanggil ratusan tahun berikutnya ke tanah Lombok untuk melanjutkan
tugas Maharsi Markandeya untuk menjaga kesucian pulau Lombok. Akan tetapi, Ida
Maharsi Madura dalam kapasitas sebagai Ida Rsi Dalem Segara, hanya ditugaskan
untuk menjaga kesucian laut Lombok. Titik yang dipilih oleh Ida Rsi Madura
dalam mendoakan dan menjaga kesucian laut-laut di pulau Lombok, pada jaman
sekarang ini dikenal dengan Pura Batu Bolong. Setelah jaman Ida Maharsi
Markandeya, Ida Mpu Siddimantra dan Ida Maharsi Madura barulah ratusan
berikutnya datang Ida Peranda Sakti Wawu Rauh atau yang nantinya di Lombok
dikenal dengan Tuan Semeru. Ida Peranda Sakti tidak dapat napak puncak-puncak
di Lombok, akan tetapi beliau napak di puncak Gunung Tambora. Disinilah beliau
mendapat julukan Tuan Semeru. Mudah-mudahan dengan cerita di atas dapat membuka
wawasan berpikir saudara-saudara di Bali akan jejak perjalanan para pendeta
ditanah Lombok beserta dengan titik-titik napak tilasnya.
D. Tempat Suci Peninggalan Rsi
Markandeya
1. Pura
Besakih
Pura Basukian di kaki
Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang,
Kabupaten Karangasem. Semula lokasi pura ini merupakan tempat yajnya tempat Rsi
Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti
perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya supaya Maharsi beserta
pengikutnya mendapat keselamatan. Hingga sekarang komplek pura Basukian dikenal
dengan nama Besakih.
2. Pura
Pucak Cabang Dahat.
Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan,
Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda
pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah
menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi
Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan
pemukiman dan areal pertanian.
3. Pura
Gunung Raung
Pura
ini sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa
Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari
tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke
Bali.
4. Pura
Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud,
Kabupaten Gianyar.
antara abad 2 M dengan th. 800 M jauh sekali???shg kesimpukannya ASAL TULIS dan tidak bisa dipercaya>>>>Mohon kalau menulis sertakan juga th nya yang akurat.
BalasHapusAbad ke-2 itu sudah benar. Rujukan data primer. Purana Besakih menyebutkan Candra Sangkala "Wak Sasih Wak". Wak artinya satu. Sasih artinya satu. Wak artinya satu. Panca DAtu di Pura Besakih di tanam pada Tahun Wak Sasih Wak atau tahun 111 SAka atau Tahun 189 Masehi. Sudah benar abad ke-2. Kalau ingin tahu lebih lanjut silakan temui Mangku Pura Basukihan/Bali Mula. Di sanalah Ida Resi menanam Panca Datu. Ada juga yang menyebut tahun 800, namun sumber rujukan belum pernah saya lihat.
Hapussukseme antuk cerittra /sejarah Riwayat Perjalanan Maharsi Markandeyanya
BalasHapusDemikian berat perjuangan Maharsi Markandeya yg Jauh2 datang pada sekitar abad ke-8 dari India Selatan untuk mengajarkan Sanatana Dharma serta tata cara merawat Bali dengan ritual keagamaan dan tradisi berdasarkan Kitab Suci Weda. Saat itu nusantara terutama Bali yg belum memiliki nama, masih menyatu dengan pulau jawa (belum dipisahkan selat) sehingga disebut pulau dawa/panjang dan dominan ditumbuhi hutan lebat, angker dan dijaga binatang buas. Belum ada jalan setapak apalagi jalan paving atau jalan aspal seperti sekarang. Berkat Beliau, Ida Maharsi Markandeya dan juga murid-murid dan pengiring Beliau, Bali bisa dihuni dan memberikan kesejahteraan & kemakmuran luar biasa pada umat manusia dan makhluk lain yg tinggal diatas pulau ini. Bali tidak memiliki tambang emas, minyak, mineral, dll. Bali tidak begitu indah, karena daerah lain di nusantara memiliki pemandangan yg jauh lebih indah daripada Bali. Tapi berkat jasa Ida Maharsi Markandeya dengan kekuatan yogaNYA lalu mengumpulkan energi dari tanah/pertiwi Bali yg memiliki kekuatan luar biasa lalu dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran orang yg tinggal dibali. Terbukti Bali menjadi Pulau yg makmur dan sejahtera. Untuk mencari uang 100 ribu sehari adalah hal gampang di Bali sedangkan untuk mencari uang 5000 rupiah di Jawa dan sejumlah daerah lain adalah perkara yg susah. Hal ini yg mengundang orang luar ramai datang ke Bali. Sekali lagi Bali tanpa memiliki sumber daya alam dan tambang seperti daerah lain. Jadi siapapun yg tinggal diatas pulau Bali termasuk para pendatang wajib dan harus ikut merawat, melestarikan dan mengajegkan Bali sesuai warisan berupa tradisi, adat, kebiasaan berdasarkan dan bernafaskan Hindu & kitab suci weda yg dilanjutkan turun temurun hingga jaman sekarang. Kalau mau merusak tatanan yg sudah ada dengan membawa budaya dan tradisi baru/asing dari luar, termasuk agama baru, ada baiknya keluar dari pulau ini. Jangan tinggal di pulau ini. Yg cinta Bali, Mari Ajeg kan Bali.
BalasHapusSangat detail semoga di lengkapi dengan uraian pendukungnya biar jadi lebih jelas.
BalasHapusOm Swastiastu Ih tabik Maha Guru. Hyang Bhatara Guru.. Nike berasal dari Desa Ngawonggo Dieng Tanah hisap.. Ampura banget sampunang sejarah di ubah Semua dari Nusantara.. Akibat kolonial jejak sejarah di ubah seolah olah Hindu dari Jambu Dwipa.. India. Maha Rsi Markandya dari Tanah Jawa..
BalasHapusMaharesi Markandeya adalah murid Maharesi Agasteya sama-sama berasal dari India Selatan, melakukan Dharmayatra/Tirtayatra ke Nusantara (Kutai Kaltim, Jawa Barat, Jawa Tengah (Gunung Demalung/Di Hyang/Dieng), Jawa Timur (gunung Raung/Wukir/Wilis/lereng lembah Age), ke Bali (gunung Tohlangkir/Agung Pura Besakih, Ubud gunung Lebah, Payangan, Taro, gunung Batukaru), lanjut ke Lombok dan Sumbawa, kembali ke Bali moksah di Pura Payogan Ubud Bali
Hapus