Kamis, 28 Mei 2015

KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF HINDU


RENUNGAN 
Wanita diciptakan dengan tubuh yang lemah, tapi dengan jiwa yang kuat.
Kecantikan wajah hanyalah penghias, kecantikan hati adalah wujud yang sebenarnya.
Kelembutan wanita adalah senjata dalam mengalahkan kerasnya laki-laki.
Tidak semua wanita diciptakan dengan paras yang cantik, tapi semua wanita diciptakan dengan kelebihan-kelebuhan yang menjadikannya berharga.
Tidak semua laki-laki bisa tegar menghadapi beban pekerjaannya, tapi semua wanita bisa tegar menghadapi pekerjaannya sebagai ibu.


PENDAHULUAN
              Di dalam kehidupan manusia, perempuan menempati poisis yang sentral dalam artian ada sejumlah peran yang melekat dalam diri perempuan yang belum bisa disubtitusi oleh kaum laki-laki sampai saat ini. Kontinuitas regenarasi kehidupan manusia dapat dijaga eksistensinya berkat adanya perempuan sebagai pasangan laki-laki dalam melakukan reproduksi atau menghasilkan keturunan sehingga perempuan mempunyai kontribusi yang besar didalamnya. Demikian pula dalam agama Hindu,  wanita dipandang sebagai kaum yang memiliki peranan yang tidak terpisahkan dengan kaum pria dalam kehidupan masyarakat dari jaman ke jaman. Sejak awal peradaban agama Hindu yaitu dari jaman Veda hingga dewasa ini wanita senantiasa memegang peranan penting dalam kehidupan. Hal ini tidak mengherankan bila ditinjau dari konsepsi ajaran agama Hindu dalam Siwa Tattwa yang mengatakan adanya kehidupan makhluk terutama manusia karena perpaduan antara unsur sukla dan swanita. Tanpa swanita tak mungkin ada dunia yang harmonis. Demikianlah pentingnya kedudukan wanita dalam kehidupan ini.
              Idealisme ajaran agama Hindu tentang keutamaan wanita dapat kita jumpai dalam Kitab Suci Weda, yang menyatakan:
“Wahai wanita, engkau adalah perintis, cemerlang, mantap, pendukung, yang memberi makan dan aturan-aturan seperti bumi. Kami memiliki engkau dalam keluarga untuk usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran/kesuburan pertanian dan kesejahteraan”.(Yajur Veda XIV.21).
              Selanjutnya menurut smrti pria dinyatakan sebagai benih (bibit), terjadinya jazad badaniah yang hidup terjadi karena hubungan antara tanah dengan benih (bibit)”. Sementara wanita diumpamakan sebagai bumi (tanah) dan laki-laki (pria) disamakan dengan bibit. Antara bumi atau tanah dengan bibit mempunyai kedudukan dan peranan yang sama untuk menentukan segala kehidupan. Melalui pertemuan antara benih dengan bumi mengakibatkan adanya kelahiran dan kehidupan.
              Sloka diatas memberikan penegasan kebenaran atas idealisme tentang keutamaan wanita ini seharusnya menjadi landasan perjuangan bagi kaum wanita dewasa ini untuk menumbuh kembangkan kemuliaannya ditengah-tengah masyarakat yang beradab. Dalam peradaban veda semua wanita dihormati sebagai ibu yang memiliki sifat-sifat kedewasaan. Karena kemuliaan seorang ibu memiliki kualifikasi kasih sayang yang memungkinkan ia mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.
              Berdasarkan dari uraian diatas, maka peran dan tanggung jawab wanita yang patut ditumbuh kembangkan adalah sebagai perintis (pelopor), yang berkepribadian cemerlang, pembimbing yang penuh kasih sayang dalam keluarga, pendidik yang berkualifikasi sarjana guna mencetak generasi yang cakap dan berkepribadian yang luhur dan bahkan sebagai generasi penerus bangsa yang akan membawa kemajuan untuk negeri ini.  
              Dari pernyataan ini tercermin bahwa peran status dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan adalah setara dan berkeadilan. Tetapi kenyataan dalam praktek kehidupan sehari-hari masih banyak kasus yang menempatkan peran status dan tanggung jawab perempuan tidak setara dan tidak adil. Hal ini terbukti bahwa tidak jarang terjadi kasus eksploitasi perempuan dalam berbagai ranah kehidupan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu diatas penderitaan perempuan. Misalnya saja mengenai pendidikan, hal ini terbukti dilapangan bahwa kualitas dan kuantitas pendidikan perempuan di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kaum laki-laki. Ketidaksetaraan gender dapat dilihat dengan masih banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap kaum perempuan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial budaya.  
              Dalam sejarah perkembangan agama hindu, pernah dalam momentum tertentu wanita dilecehkan seperti yang kita jumpai dalam cerita Ramayana (Dewi Sita) dan dalam Mahabharata (Drupadi) yang menjadi korban keserakahan dan hawa nafsu laki-laki. Demikian pula dalam dalam kehidupan masyarakat Bali dimasa silam dikenal dengan adanya suatu bentk perkawinan malagandang yakni pengambilan seorang calon istri dengan pemaksaan, pemerkosaan, penggunaan obat bius, guna-guna dan sebgaianya. Hal ini menunjukan bahwa kaum laki-laki tidak menghargai kedudukan kaum perempuan (Tim Penyusun, 2005:13).
              Namun sejak Merdekanya Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, bentuk perkawinan seperti itu diarang dan masyarakat tidak berani lagi melakukan hal-hal yang melecehkan perempuan. Dan kini perempuan Indonesia dapat bernapas lega semenjak dicetuskannya emansipasi wanita yang menekankan pengertian hak dan kewajiban dan berusaha mensejajarkan status perempuan dan laki-laki merangsang perempuan-perempuan modern untuk menerapkan hal ini dan untuk meningkatkan harkat martabat perempuan.

KONSEP GENDER
              Gender berasal dari bahasa latin “Genus” yang berarti jenis atau tipe. Pengertian gender (gender) dibedakan dengan pengertian jenis kelamin (seks). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, dengan tanda-tanda (alat) tertentu pula. Alat-alat tersebut selalu melekat pada manusia selamanya, tidak dapat dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat dikenali sejak lahir. Itulah yang disebut dengan ketentuan Tuhan atau kodrat (Arniati,2008:5). Sehingga pengertian gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Gender dalam artian  tersebut mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut nonbiologis.
              Sedangkan menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender itu sendiri adalah prilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk dimasyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Sehingga konsep gender adalah suatu sifat yang melekat baik pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi atau dibentuk secara sosial maupun kultural dengan akibat terjalinnya hubungan sosial yanng membedakan fungsi peran dan tanggunng jawab kedua jenis kelamin itu. Gender bukanlah kodrat atau ketentuan Tuhan dan karenanya berkaitan dengan proses keyakinan tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk bersikap, bertindak dan berperan sesuai dengan ketentuan sosial dan budaya dimana mereka berada.
              Pemikiran mengenai gender di Indonesia sendiri telah berkembang sejak kongres Perempuan indonesia, di Yogyakarta 22 Desember 1982 yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu. Sebenarnya isu kesetaraan sudah mulai mengemuka pertama adanya kementerian perempuan pada tahun 1978 dikabinet pembangunan II. Kemudian pemikiran gender ini berlanjut pada Deklarasi Komitmen bersama Negara dan Masyarakat untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang diadakan dijakarta pada tanggal 24 Nopember 1999 dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1999, “kesetaraan dan keadilan gender telah dituangkan dalam GBHN 1999. Pada tahun 2004, dalam Rencana Kerja Pemerintah program-program yang mengandung gender telah lebih mendapat perhatian yang cukup besar.
              Kesetaraan gender tentunya dibentuk berdasarkan tujuan yang mulia, agar kita tidak membuat skat yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, karena pada dasarnya semua sama mempunyai hak atas semua yang ada didunia ini agar tidak ada lagi kesan bahwa wanita adalah yang lemah.
PERSEPSI MASYARAKAT HINDU TERHADAP PERANAN PEREMPUAN
              Persepsi masyarakat tentang wanita juga sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber bacaan yang umum dijadikan teladan oleh masyarakat Hindu. Demikianlah ajaran yang terkandung dalam kitab suci veda dan susastra Hindu sangat menentukan sikap dan persepsi masyarakat terhadap perempuan. Di dalam Manawadharmasastra IX.33 (Titib, 1998:138)  dinyatakan bahwa perempuan menurut Smrti adalah sebagai tanah, laki-laki dinyatakan sebgaai benih, hasil terjadinya jasad badaniah yang hidup terjadi karena melalui hubunngan antara tanah dan benih. Terhadap mitos penciptaan tersebut diatas menimbulkan dua penafsiran yang berbeda. Menurut Ranjana Kumari, potensi wanita (disimbolkan dengan tanah) dipandang kreatif dan penuh kebaikan, hanya apabila potensi itu terjalin secara harmonis dengan pria, jika wanita terpisah dengan pria maka akan menimbulkan bahaya dan kedengkian. Hal ini jelas memberikan penafsiran yang mensetarakan potensi pria dan wania. Ia juga berangkat dari kitab Manavadharmasastra (1.32) yang menyatakan bahwa Brahman membagi dirinya atas dua bagian yaitu pria dan wanita.
              Berdasarkan pada kitab tersebut, Thampuran melihat kesamaan pria dan wanita dari segi hakekat potensinya, wanita menurutnya tidak dapat dikatakan inferior dan superior. Wanita merupakan pasangan pria ideal. Lebuh lanjut ia menyatakan: Semua ajaran Tantra mengagungkan wanita sebagai yang tertinggi. Sesungguhnya telah dinyatakan bahwa Tuhan Sang hyang Siwa menjadi kuat hanya dengan bekerja sama dengan dewi Sakti, berarti pria tidak lengkap potensinya sebelum bekerja sama denga wanita.
              Lebih jauh tentang potensi dan status wanita, Nyonya Gedong Bagoes Oka dalam makalahnya wanita dalam perspektif agama Hindu dan pembangunan menerima sebuah kesimpulan yang menyatakan: “kalau ada potensi intelek yang begitu jernih dan tajam pada seorang atau beberapa wanita seperti tersebut tadi, maka potensi itu terdapat pada semua wanita, hanya manifestasinya berbeda derajatnya yang disebabkan lagi oleh conditioning, kesempatan dan tekad atau kemauan.
              Sesungguhnya di dalam kitab suci veda  dinyatakan tentang peran sosial laki-laki dan perempuan sebagai Ardha-Nara-Isvara artinya antara laki-laki dan perempuan memiliki peran yang saling isi mengisi. Wanita memiliki intuisi keibuan yang tidak dimiliki kaum laki-laki merupakan karunia Tuhan yang sangat diperlukan oleh kaum wanita untuk membesarkan dan mendidik putra putrinya dengan cinta dan kasih sayang. Sedangkan laki-laki memiliki intuisi kebapakan yang tidak dimiliki kaum wanita dalam mendidik putra putrinya dengan kebijaksanaan dan rasionalitas.
              Lebih jauh tentang peranan wanita, Drs.G.K.Adia Wiratmaja (Titib, 1998:142) dalam bukunya: Wanita Hindu Suatu Proyeksi (1991), membagi peranan wanita kedalam lima jenis, yaitu 1). Peranan wanita sebagai istri, pendamping suami. 2). Peranan wanita sebagai ibu, pendidik dan pengasuh anak. 3). Peranan wanita dalam pelaksanaan agama, utamanya penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan. 4). Peranan wanita dalam kehidupan masyarakat, sebagai penumbuh kembangkan nilai-nilai yang baik dalam keluarga dan masyarakat dan 5). Peranan wanita dalam pembangunan yang menyoroti peranan wanita dewasa ini aktif sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai wanita karir.z
              Dari pandangan diatas, dapat kita kaji bahwa persepsi masyarakat Hindu tentang perempuan (termasuk tentang demokrasi, HAM dan sebagainya) adalah sama-sama mulia, sama-sama memiliki potensi dan fungsi sesuai dengan kodrat masing-masing, artinya seorang perempuan bila mampu melaksanakan swadharmanya dengan baik maka wanita benar-benar mendapatkan penghargaan yang sangat mulia, termasuk dalam kepemimpinan dimasa yang lalu seperti yang kita dapat saksikan dalam perkembangan sejarah Indonesia dimasa silam antara lain kepemimpinan Ratu Simba di Jawa Tengah, Ratu Tribhuvanatunggadevi, Jro Jempiring di Buleleng dan sebagainya. Tidak sedikit perempuan Hindu berjuang bahu membahu bersama-sama pejuang laki-laki. Hal ini sebagai bentuk kesetaraan gender yang mengangkat kedudukan wanita.
EKSISTENSI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
              Manusia yang lahir kedunia merdeka dan mempunyai martabat serta hak yang sama dihadapan Tuhan Yang Maha Esa baik laki-laki maupun perempuan. Istilah dewa-dewi, putra-putri, lingga yoni dalam agama Hindu menggambarkan bahwa dualisme ini sesungguhnya ada dan saling membutuhkan karena Tuhan Yang Maha Esa menciptakan semua mahluk hidup selalu berpasangan. Dalam Manavadharmasastra dijelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya dalam wujud Ardha nari-isvari, sebagai sebagian laki-laki dan sebagian lagi sebagai perempuan sebagai berikut:
“Dengan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian perempuan (Ardha Nari-Isvari), ia ciptakan Viraja (alam semesta)”.
Manavadharmasastra I.32
              Rahasia Tuhan Yang Maha Esa dalam dualismenya ini membuat semua mahluk ciptaannya termasuk umat manusia tidak sepi dengan berbagai aktivitas dualisme ini. Adanya petir karena gesekan positif dengan negatif, adanya siang dan malam yang tak kuasa kita lawan, dia berjalan dan mengalir begitu saja sesuai dennga porosnya masing-masing. Swami Vivekananda menyatakan setiap kewajiban adalah suci dan ketaatan kepada kewajiban adalah bentuk pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
              Gerakan emansipasi wanita yang dimulai dunia barat akibat perlakuan kaum laki-laki yang terkadang memarginalkan kaum perempuan, namun harus disadari bahwa gerakan ini bertujuan menegakkan proporsi wanita sebagaimana layaknya. Ini harus di pahami dengan baik agar prilaku wanita tidak terkesan memberontak terhadap eksistensi laki-laki. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan eksistensi wanita yaitu secara fisik apapun alasannya memang lebih lemah dari laki-laki, disamping itu secara kodrati wanita dapat hamil, menyusui dan datang bulan. Kodrat inipun kadang dilanggar oleh kebanyakan kaum wanita dengan gerakan emansipasi wanita sehingga tidak sesuai dengan jiwa gerakan itu sendiri yaitu menegakkan proporsi wanita sesuai dengan kodratnya.
              Dalam Hindu memandanng bahwa wanita karir adalah hak asasi sepanjang meninggalkan kodratnya sebagai wanita. Menjadi wanita karir bukan berarti boleh tidak setia dan tidak menghormati suami dan tidak mengurus anak, anggapan ini salah besar. Memang wanita dihadapkan kepada hal yang sangat dilematis karena keadaan fisik yang secara kodrati lebih lemah dari laki-laki dan disisi yang lain dia harus taat kepada kodratnya. Berkenaan dengan kesetaraan gender ini harus disikapi secara arif dan bijaksana, artinya kasuistis tidak bisa dijadikan ukuran bahwa wanita kedudukannya sebagai second class apalagi outclass. Pada hakekatnya wanita harus mampu mengkolaborasikan karir atau pekerjaan denga  urusan rumah tangga bia ia telah memilih untuk menjadi wanita karir.
              Sesungguhnya menurut ajaran agama Hindu wanita memiliki kedudukan yang terhormat sesuai kodratnya yang diuraikan dalam Manawadharmasastra sebagai berikut:
“ Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakaknya, suami dan ipar-iparnya, jika menghendaki kebahagiaan”.
“Dimana wanita dihormati, disanalah para dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun dalam keluarga itu akan berpahala”.
Dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tdak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia”.
“rumah dimana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kasar, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib”;
(Manavadharmasastra III.55-58)
             
              Dari terjemahan sloka-sloka kitab Manavadharmasastra diatas dapat dipahami, sesungguhnya kedudukan wanita didalam agama Hindu sangat terhormat, sebab bila tidak ada penghormatan kepada wanita, maka seluruh aktivitas ritual tidak akan bermanfaat. Hingga dewasa ini wanita mendapat kehormatan khususnya dalam berbagai pelaksanaan upacara yadnya. Nilai tawar perempuan sebenarnya cukup kompotitif karena secara hakiki Sang Hyang Widhi menciptakan dua insan berbeda jenis kelamin ini dalam kapasitas saling membutuhkan dan slaing melengkapi.
              Selain posisi terhormat salah satu keunggulan komparatif wanita yang termaktub dalam kitab suci veda sebagai berikut:
“Oranng yang jahat ini memperlakukan kami sebagai wanita yang tidak berdaya. Tetapi kami berani dan sebagai ibu dari anak laki-laki yang gagah perkasa, layaknya istri dari dewa Indra dan sahabat para dewa Maruf”.
(Rgveda X.8.9)
             
              Secara kodrati laki-laki juga memiliki keunggulan yang karismatik karena memang sejak lahir dia sudah dapat menambah dorongan kejiwaan psikis keluarga dalam meniti hidup rumah tangga. Dorongan psikis yang didalamnya terdapat pula dorongan spiritual dari sebuah keluarga yang dihadiri anak-anak beranjak dari makna ajaran yang terdapat dalam kitab Nitisastra bahwa anak yang “suputra”dapat memberi vibrasi kenyamanan dilingkungannya dan bahkan lebih dari itu bahwa anak “ dapat menolong leluhur mencapai sorga. Disamping itu dorongan psikis secara karismatik yang ditimbulkan pria seperti yang diuraikan dalam kitab suci veda sebagai berikut”
“Sang Hyang Agni kami bebas dari hutang, setelah seorang anak laki-laki lahir pada kami yang mengisap payudara ibunya dengan riang gembira dan berjingkrak-jingkrak i pangkuannya”.
(Yajur veda XIX.11)
Bebas hutang yang dimaksud pada terjemahan mantra Yajurveda ini bermakna bahwa manusia sudah melaksanakan sebagian kewajiban hidupnya sesuai dengan amanat Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan emosional aktivis emansipasi wanita agar gregetnya muncul kepermukaan dengan berpedoman pasa satu kasus yang terjadi belum tentu mewakili untuk digenderalisir bahwa kaum pria memarginalkan wanita.
Setiap manusia memiliki hak asasi yang melekat dala dirinya seumur hidup, demikian pula hak asasi perempuan. Hak asasi perempuan menyangkut hak-hak atas kebebasan, permaan dan persaudaraan (pembangunan). Hak-hak tersebut mesti dinikmati secara universal oleh perempuan tanpa diskriminasi atas dasar jenis kelamin.  Intinya adalah menyangkut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam Deklarasi tentang Kesetaraan Perempuan dan Sumbangan mereka bagi pembangunan dan perdamaian tahun 1975, diungkapkan sejumlah prinsip antara lain:
1.    Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki berarti kesetaraan dalam martabat dan nilai mereka sebagai manusia juga kesetaraan dalam hak, kesempatan dan tanggungjawab.
2.    Semua hambatan yang menghalangi kaum perempuan guna mencapai kesetaraan status dengan laki-laki harus dihapus guna menjamin pengintegrasian sepenuhnya kaum perempuan kedalam pembangunan nasional dan partisipasi mereka dalam mewujudkan dan menjaga perdamaian internasional.
3.    Perempuan dan laki-laki mempunyai tanggung jawab yang sama dalam keluarga dan masyarakat. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki harus dijamin didalam keluarga, yang merupakan unit dasar dalam masyarakat dan dimana hubungan-hubungan manusia dibina.
4.    Kesetaraan hak tidak dapat dipisahkan dari kesetaraan tanggung jawan karena itu merupakan kewajiban bagi kaum perempuan untuk memanfaatkan sepenuhnya peluang yang tersedia bagi mereka serta menunjukan kewajiban  ereka terhadap keluarga negara dan kemanusiaan.
KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN DAN KARIR
              Wanita adalah seorang ibu atau seorang gadis dewasa yang memiliki sifat-sifat lembut, kasih sayang, perhatian, tulus iklas dalam menjalankan kehidupan senantiasa memaafkan, berjiwa besar ketika terhina, ramah dalam pergaulan, memiliki peran ganda dalam kehidupan dan kuat dalam doa untuk dirinya dan keluarga. Kedudukan perempuan dalam ajaran agama Hindu sangat penting, khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan intelektualitas yang melekat pada perannya dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan, baik dalam perspektif individual, keluarga maupun bangsanya. Penghargaan kepada perempuan melalui pemberian pendidikan merupakan bentuk nyata dari kesetaraan gender sekaligus sebagai implementasi pencurahan kasih sayang kepada kaum perempuan dalam artian yang luas. Memberikan rasa kasih sayang kepada perempuan melalui pendidikan secara tidak langsung merupakan upaya untuk menghadirkan para dewa ditengah-tengah kehidupan manusia. Dimana perempuan mendapatkan penghargaan dan penghormatan maka pada tempat itu akan terdapat kesejahteraan dan kebahagiaan, dan sebaliknya.
              Dalam kitab suci Veda diamanatkan bahwa perempuan seharusnya menjadi seorang sarjana dan sekaligus sebagai pengajar yang memberikan pengetahuan kepada orang lain. Amanat etrsebut secara eksplisit tersurat dalam kutipan mantra berikut ini.
Stri hi brahma babhuvita (Rg Veda VIII.33.19)
Perempuan sesungguhnya adalah seorang sarjana dan seorang pengajar.
Mantra diatas secara jelas mengamanatkan bahwa perempuan memiliki potensi untuk menjadi sosok sarjana ketika peluang untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Sarjana dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai orang yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Sanskerta disetarakan dengan Sarva Jnana. Potensi yang dikembangkan tersebut memberikan peluang bagi perempuan untuk menularkan kemampuan intelektualitasnya kepada orang lain melalui proses pengajaran. Potensi lain yang dapat dikembangkan oleh perempuan berdasarkan tingkat kerjasamanya adalah kemampuannya dalam berbicara atau orator. Hal tersebut seperti yang secara eksplisit tersurat dalam mantra Veda seperti dikutip berikut ini:
Aham ketur aham murdha
Aham ugra vivacani (Rg Veda X.159.2)
Kami adalah seorang raja
seorang sarjana yang terkemuka
dan seorang wanita orator (ahli bicara)
             
              Mantra diatas mengimplikasikan bahwa perempuan sebagai seorang sarjana juga memiliki kemampuan dalam berbicara. Perempuan dalam posisi ini memiliki potensi sebagai orator yang ulung. Aspek esensial yang terkandung dalam mantra tersebut adalah peran perempuan dalam ranah publik ketika melakukan interaksi tidak kalah dengan laki-laki. Keutamaan yang dimiliki oleh perempuan ketika dikembangkan dengan tepat melekat pada sifat-sifatnya. Kutipan mantra berikut memberikan gambaran bahwa permpuan sebagai sosok yang patut dimuliakan karena memiliki kemampuan untuk membantu meningkatkan kualitas kehidupan diri dan orang lain. Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana potensi tersebut dapat dikembangkan dalam tindakan nyata ditengah komunitasnya. Tanpa itu maka potensi tersebut tidak akan banyak manfaatnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap komunitasnya. Pengembangan potensi tersebut dapat ditempuh melalui proses pendidikan baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Kongruen dengan itu, maka perlu dibuka peluang yang seluas-luasnya bagi upaya untuk mengembangkan potensi diri perempuan melalui pemberian haknya untuk menempuh pendidikan setara dengan yang diperoleh laki-laki.
              Disamping mengenai masalah pendidikan, dalam hal karir menurut Manavadharmasastra IX.29 menjelaskan bahwa wanita dapat memilih sebagai sadwi atau sebagai brahmawadini. Wanita sebagai sadwi artinya wanita itu memilih berkarir dalam rumah tangga sebagai pendidik putra-putrinya dan pendamping suami. Karena dalam Vana Parwa 27.214 , ibu dan ayah (Mata ca Pita)  tergolong guru yang setara. Dalam Manavadharmasastra IX.27 dan 28 ada dinyatakan bahwa melahirkan anak, memelihara setelah lahir, lanjutnta peredaran dunia wanitalah sumbernya. Demikian pula pendidikan anak-anak, melangsungkan upacara yadnya, kebahagiaan rumah tangga, sorga untuk leluhur dan dirinya semua itu atas dukungan istri bersama suami.
              Sedangkan wanita yang berkarir diluar rumah tangga disebut Brahma Vadini. Ia bisa sebagai ilmuan, politisi, birokrasi, kemiliteran, maupun berkarir dalam bidang bisnis. Semuanya itu mulia dan tidak terlarang bagi wanita. Itu semua konsep normatifnya kedudukan perempuan menurut pandangan Hindu.
              Disamping itu, perempuan sebagai sosok yang dapat mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan, baik dirinya maupun orang lain seperti yang telah dicandra pada bagian terdahulu mengharuskan pemberian penghargaan kepada perempuan. Kedudukan perempuan dalam ajaran agama hindu menurut sumber-sumber yang telah dikutip diatas memberikan identitas mulia padanya. Demikian juga halnya dalam praktik kehidupan beragama Hindu telah memberikan posisi yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam sejumlah hal.
              Salah satu aspek pelaksanaan agama yang mendukung hal tersebut adalah pada tataran simbol konstruktif keagamaan, khususnya dalam simbol pendeta keagamaan. merujuk pada De Groot (2005:247-248) yang secara tandas mengemukakan bahwa keberadaan pendeta Brahmana hindu perepuan diera masyarakat modern memiliki posisi dan status yang setara dengan pendeta laki-laki. Keberadaan pendeta wanita merupakan identitas kependetaan yang disejajarkan dengan pendeta laki-laki. Pedanda istri kania merupakan pendeta yang memiliki otoritas penuh dimana statusnya setara dengan pendeta laki-laki.
GRAND DESAIN
Sesuai dengan pengertian gender yang diartikan sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya untuk membedakan fungsi peran dan tanggung jawab antara keduanya,menurut pandangan penulis memang sudah seharusnya kesetaraan gender ini diterapkan dalam kehidupan masyarakat, sehingga kesetaraan gender tidak hanya sebagai wacana belaka. Dengan adanya kesetaraan gender ini diharapkan kaum laki-laki memberikan peluang kepada kaum wanita untuk mengembangkan segala potensi baik dalam hal karir maupun dalam bidang pendidikan selama perempuan mampu untuk memanajemen waktu sehingga ia tidak lupa dan melalaikan tugas dan kodratnya sebagai perempuan.
Negara Indonesia telah lama merdeka dan kemerdekaan sudah sepatutnya dirasakan oleh semua bangsa baik laki maupun perempuan. Merdeka dalam hal ini adalah merdeka dari segala bentuk penjajahan, baik penjajahan fisik maupun mental. Dengan adanya kesetaraan gender yang mengangkat kedudukan wanita, maka diharapkan wanita merdeka dari segalabentuk penjajahan kaum laki-laki. Kesetaraan gender hendaknya dimaknai positif oleh kedua belah pihak, karena apabila antara laki-laki dan perempuan saling memahami dan menghargai peran dan tanggungjawab masing-masing dalam keluarga maka akan tercipta keharmonisan dalam keluarga. Terlebih diera modern ini, sudah sepatutnya kaum wanita mendapat pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki, karena wanita merupakan pendidik pertama dalam keluarga. Selain itu pemberian pendidikan kepada wanita adalah salah satu upaya untuk meningkatkan martabat wanita dalam suatu bangsa.
PENUTUP
konsep gender adalah suatu sifat yang melekat baik pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi atau dibentuk secara sosial maupun kultural dengan akibat terjalinnya hubungan sosial yanng membedakan fungsi peran dan tanggunng jawab kedua jenis kelamin itu.
Persepsi masyarakat Hindu tentang perempuan (termasuk tentang demokrasi, HAM dan sebagainya) adalah sama-sama mulia, sama-sama memiliki potensi dan fungsi sesuai dengan kodrat masing-masing, artinya seorang perempuan bila mampu melaksanakan swadharmanya dengan baik maka wanita benar-benar mendapatkan penghargaan yang sangat mulia.
Pada dasarnya laki-laki dan perempuan mempunyai eksistensi yang sama namun tentunya mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dalam mempertahankan eksistensinya, perempuan mempunyai hak untuk berkarir dan mengembangkan segala potensi yang dimiliki selama ia tidak melupakan kodratnya sebegai perempuan yang menjadi sumber kesejahteraan dalam keluarga.
Pendidikan sangat penting diberikan kepada perempuan sebagai bentuk penyetaraan gender, seperti dalam kitab suci Veda diamanatkan bahwa perempuan seharusnya menjadi seorang sarjana dan sekaligus sebagai pengajar yang memberikan pengetahuan kepada orang lain. Disamping masalah pendidikan, Manavadharmasastra IX.29 juga menjelaskan bahwa wanita dapat memilih karir sebagai sadwi atau sebagai brahmawadini. Wanita sebagai sadwi artinya wanita itu memilih berkarir dalam rumah tangga sebagai pendidik putra-putrinya dan pendamping suami. Sedangkan wanita yang berkarir diluar rumah tangga disebut Brahma Vadini, misalnya ia bisa sebagai ilmuan, politisi, birokrasi, kemiliteran, maupun berkarir dalam bidang bisnis.

REFERENSI:

Tim penyusun.  2005. Pengarusutamaan Gender (PUG) Menurut Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Arniati, Ida Ayu Komang. 2008. Pandangan Gender Pada Smerti  Dalam Perkembangan Modern.  Surabaya: Paramita.
Suryani, Luh Ketut. 2003. Perempuan Bali Kini. Denpasar: BP.
Wirawan, I Wayan Ardhi. 2015. Makalah “Pendidikan Perempuan Menurut Ajaran Hindu Dan Dalam Praktik Budaya Bali. Mataram: STAHN Gde Pudja Mataram.
Saridewi, Desak Putu. 2014. Artikel Desain Diri Bagi Wanita Hindu Pada Era Modern Di Nusa Tenggara Barat. Mataram: STAHN Gde Pudja Mataram.
Sumber Internet: