RENUNGAN
Wanita
diciptakan dengan tubuh yang lemah, tapi dengan jiwa yang kuat.
Kecantikan
wajah hanyalah penghias, kecantikan hati adalah wujud yang sebenarnya.
Kelembutan
wanita adalah senjata dalam mengalahkan kerasnya laki-laki.
Tidak
semua wanita diciptakan dengan paras yang cantik, tapi semua wanita diciptakan
dengan kelebihan-kelebuhan yang menjadikannya berharga.
Tidak
semua laki-laki bisa tegar menghadapi beban pekerjaannya, tapi semua wanita
bisa tegar menghadapi pekerjaannya sebagai ibu.
PENDAHULUAN
Di dalam
kehidupan manusia, perempuan menempati poisis yang sentral dalam artian ada
sejumlah peran yang melekat dalam diri perempuan yang belum bisa disubtitusi
oleh kaum laki-laki sampai saat ini. Kontinuitas regenarasi kehidupan manusia dapat
dijaga eksistensinya berkat adanya perempuan sebagai pasangan laki-laki dalam
melakukan reproduksi atau menghasilkan keturunan sehingga perempuan mempunyai
kontribusi yang besar didalamnya. Demikian pula dalam agama Hindu, wanita dipandang sebagai kaum yang memiliki
peranan yang tidak terpisahkan dengan kaum pria dalam kehidupan masyarakat dari
jaman ke jaman. Sejak awal peradaban agama Hindu yaitu dari jaman Veda hingga
dewasa ini wanita senantiasa memegang peranan penting dalam kehidupan. Hal ini
tidak mengherankan bila ditinjau dari konsepsi ajaran agama Hindu dalam Siwa
Tattwa yang mengatakan adanya kehidupan makhluk terutama manusia karena perpaduan
antara unsur sukla dan swanita. Tanpa swanita tak mungkin ada dunia yang harmonis.
Demikianlah pentingnya kedudukan wanita dalam kehidupan ini.
Idealisme
ajaran agama Hindu tentang keutamaan wanita dapat kita jumpai dalam Kitab Suci
Weda, yang menyatakan:
“Wahai wanita,
engkau adalah perintis, cemerlang, mantap, pendukung, yang memberi makan dan
aturan-aturan seperti bumi. Kami memiliki engkau dalam keluarga untuk usia
panjang, kecemerlangan, kemakmuran/kesuburan pertanian dan
kesejahteraan”.(Yajur Veda XIV.21).
Selanjutnya
menurut smrti pria dinyatakan sebagai benih (bibit), terjadinya jazad badaniah
yang hidup terjadi karena hubungan antara tanah dengan benih (bibit)”. Sementara
wanita diumpamakan sebagai bumi (tanah) dan laki-laki (pria) disamakan dengan
bibit. Antara bumi atau tanah dengan bibit mempunyai kedudukan dan peranan yang
sama untuk menentukan segala kehidupan. Melalui pertemuan antara benih dengan
bumi mengakibatkan adanya kelahiran dan kehidupan.
Sloka
diatas memberikan penegasan kebenaran atas idealisme tentang keutamaan wanita
ini seharusnya menjadi landasan perjuangan bagi kaum wanita dewasa ini untuk
menumbuh kembangkan kemuliaannya ditengah-tengah masyarakat yang beradab. Dalam
peradaban veda semua wanita dihormati sebagai ibu yang memiliki sifat-sifat
kedewasaan. Karena kemuliaan seorang ibu memiliki kualifikasi kasih sayang yang
memungkinkan ia mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih
sayang.
Berdasarkan
dari uraian diatas, maka peran dan tanggung jawab wanita yang patut ditumbuh
kembangkan adalah sebagai perintis (pelopor), yang berkepribadian cemerlang,
pembimbing yang penuh kasih sayang dalam keluarga, pendidik yang berkualifikasi
sarjana guna mencetak generasi yang cakap dan berkepribadian yang luhur dan
bahkan sebagai generasi penerus bangsa yang akan membawa kemajuan untuk negeri
ini.
Dari
pernyataan ini tercermin bahwa peran status dan tanggungjawab antara laki-laki
dan perempuan adalah setara dan berkeadilan. Tetapi kenyataan dalam praktek
kehidupan sehari-hari masih banyak kasus yang menempatkan peran status dan
tanggung jawab perempuan tidak setara dan tidak adil. Hal ini terbukti bahwa
tidak jarang terjadi kasus eksploitasi perempuan dalam berbagai ranah kehidupan
yang menguntungkan pihak-pihak tertentu diatas penderitaan perempuan. Misalnya
saja mengenai pendidikan, hal ini terbukti dilapangan bahwa kualitas dan
kuantitas pendidikan perempuan di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan
dengan kaum laki-laki. Ketidaksetaraan gender dapat dilihat dengan masih
banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap kaum perempuan baik kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial
budaya.
Dalam
sejarah perkembangan agama hindu, pernah dalam momentum tertentu wanita
dilecehkan seperti yang kita jumpai dalam cerita Ramayana (Dewi Sita) dan dalam
Mahabharata (Drupadi) yang menjadi korban keserakahan dan hawa nafsu laki-laki.
Demikian pula dalam dalam kehidupan masyarakat Bali dimasa silam dikenal dengan
adanya suatu bentk perkawinan malagandang yakni pengambilan seorang calon istri
dengan pemaksaan, pemerkosaan, penggunaan obat bius, guna-guna dan sebgaianya.
Hal ini menunjukan bahwa kaum laki-laki tidak menghargai kedudukan kaum
perempuan (Tim Penyusun, 2005:13).
Namun sejak
Merdekanya Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, bentuk perkawinan seperti
itu diarang dan masyarakat tidak berani lagi melakukan hal-hal yang melecehkan
perempuan. Dan kini perempuan Indonesia dapat bernapas lega semenjak dicetuskannya
emansipasi wanita yang menekankan pengertian hak dan kewajiban dan berusaha
mensejajarkan status perempuan dan laki-laki merangsang perempuan-perempuan
modern untuk menerapkan hal ini dan untuk meningkatkan harkat martabat
perempuan.
KONSEP GENDER
Gender
berasal dari bahasa latin “Genus” yang berarti jenis atau tipe. Pengertian
gender (gender) dibedakan dengan pengertian jenis kelamin (seks). Pengertian
jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu,
dengan tanda-tanda (alat) tertentu pula. Alat-alat tersebut selalu melekat pada
manusia selamanya, tidak dapat dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat
dikenali sejak lahir. Itulah yang disebut dengan ketentuan Tuhan atau kodrat
(Arniati,2008:5). Sehingga pengertian gender sebagai suatu konsep yang
digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
sosial budaya. Gender dalam artian tersebut
mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut nonbiologis.
Sedangkan
menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender itu sendiri adalah prilaku atau
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau
dibentuk dimasyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Sehingga
konsep gender adalah suatu sifat yang melekat baik pada laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi atau dibentuk secara sosial maupun kultural dengan
akibat terjalinnya hubungan sosial yanng membedakan fungsi peran dan tanggunng
jawab kedua jenis kelamin itu. Gender bukanlah kodrat atau ketentuan Tuhan dan
karenanya berkaitan dengan proses keyakinan tentang bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan diharapkan untuk bersikap, bertindak dan berperan
sesuai dengan ketentuan sosial dan budaya dimana mereka berada.
Pemikiran
mengenai gender di Indonesia sendiri telah berkembang sejak kongres Perempuan
indonesia, di Yogyakarta 22 Desember 1982 yang kemudian diperingati sebagai
Hari Ibu. Sebenarnya isu kesetaraan sudah mulai mengemuka pertama adanya
kementerian perempuan pada tahun 1978 dikabinet pembangunan II. Kemudian
pemikiran gender ini berlanjut pada Deklarasi Komitmen bersama Negara dan
Masyarakat untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang diadakan dijakarta
pada tanggal 24 Nopember 1999 dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1999, “kesetaraan dan
keadilan gender telah dituangkan dalam GBHN 1999. Pada tahun 2004, dalam
Rencana Kerja Pemerintah program-program yang mengandung gender telah lebih
mendapat perhatian yang cukup besar.
Kesetaraan
gender tentunya dibentuk berdasarkan tujuan yang mulia, agar kita tidak membuat
skat yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, karena pada dasarnya semua
sama mempunyai hak atas semua yang ada didunia ini agar tidak ada lagi kesan bahwa
wanita adalah yang lemah.
PERSEPSI
MASYARAKAT HINDU TERHADAP PERANAN PEREMPUAN
Persepsi masyarakat
tentang wanita juga sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber bacaan yang umum
dijadikan teladan oleh masyarakat Hindu. Demikianlah ajaran yang terkandung
dalam kitab suci veda dan susastra Hindu sangat menentukan sikap dan persepsi
masyarakat terhadap perempuan. Di dalam Manawadharmasastra IX.33 (Titib,
1998:138) dinyatakan bahwa perempuan
menurut Smrti adalah sebagai tanah, laki-laki dinyatakan sebgaai benih, hasil
terjadinya jasad badaniah yang hidup terjadi karena melalui hubunngan antara
tanah dan benih. Terhadap mitos penciptaan tersebut diatas menimbulkan dua
penafsiran yang berbeda. Menurut Ranjana Kumari, potensi wanita (disimbolkan
dengan tanah) dipandang kreatif dan penuh kebaikan, hanya apabila potensi itu
terjalin secara harmonis dengan pria, jika wanita terpisah dengan pria maka
akan menimbulkan bahaya dan kedengkian. Hal ini jelas memberikan penafsiran yang
mensetarakan potensi pria dan wania. Ia juga berangkat dari kitab
Manavadharmasastra (1.32) yang menyatakan bahwa Brahman membagi dirinya atas
dua bagian yaitu pria dan wanita.
Berdasarkan
pada kitab tersebut, Thampuran melihat kesamaan pria dan wanita dari segi
hakekat potensinya, wanita menurutnya tidak dapat dikatakan inferior dan
superior. Wanita merupakan pasangan pria ideal. Lebuh lanjut ia menyatakan:
Semua ajaran Tantra mengagungkan wanita sebagai yang tertinggi. Sesungguhnya
telah dinyatakan bahwa Tuhan Sang hyang Siwa menjadi kuat hanya dengan bekerja
sama dengan dewi Sakti, berarti pria tidak lengkap potensinya sebelum bekerja
sama denga wanita.
Lebih jauh
tentang potensi dan status wanita, Nyonya Gedong Bagoes Oka dalam makalahnya
wanita dalam perspektif agama Hindu dan pembangunan menerima sebuah kesimpulan
yang menyatakan: “kalau ada potensi intelek yang begitu jernih dan tajam pada
seorang atau beberapa wanita seperti tersebut tadi, maka potensi itu terdapat
pada semua wanita, hanya manifestasinya berbeda derajatnya yang disebabkan lagi
oleh conditioning, kesempatan dan
tekad atau kemauan.
Sesungguhnya
di dalam kitab suci veda dinyatakan
tentang peran sosial laki-laki dan perempuan sebagai Ardha-Nara-Isvara artinya antara laki-laki dan perempuan memiliki
peran yang saling isi mengisi. Wanita memiliki intuisi keibuan yang tidak
dimiliki kaum laki-laki merupakan karunia Tuhan yang sangat diperlukan oleh
kaum wanita untuk membesarkan dan mendidik putra putrinya dengan cinta dan
kasih sayang. Sedangkan laki-laki memiliki intuisi kebapakan yang tidak
dimiliki kaum wanita dalam mendidik putra putrinya dengan kebijaksanaan dan
rasionalitas.
Lebih jauh
tentang peranan wanita, Drs.G.K.Adia Wiratmaja (Titib, 1998:142) dalam bukunya:
Wanita Hindu Suatu Proyeksi (1991), membagi peranan wanita kedalam lima jenis,
yaitu 1). Peranan wanita sebagai istri, pendamping suami. 2). Peranan wanita
sebagai ibu, pendidik dan pengasuh anak. 3). Peranan wanita dalam pelaksanaan
agama, utamanya penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan. 4). Peranan wanita
dalam kehidupan masyarakat, sebagai penumbuh kembangkan nilai-nilai yang baik
dalam keluarga dan masyarakat dan 5). Peranan wanita dalam pembangunan yang
menyoroti peranan wanita dewasa ini aktif sebagai ibu rumah tangga maupun
sebagai wanita karir.z
Dari
pandangan diatas, dapat kita kaji bahwa persepsi masyarakat Hindu tentang
perempuan (termasuk tentang demokrasi, HAM dan sebagainya) adalah sama-sama
mulia, sama-sama memiliki potensi dan fungsi sesuai dengan kodrat
masing-masing, artinya seorang perempuan bila mampu melaksanakan swadharmanya
dengan baik maka wanita benar-benar mendapatkan penghargaan yang sangat mulia,
termasuk dalam kepemimpinan dimasa yang lalu seperti yang kita dapat saksikan
dalam perkembangan sejarah Indonesia dimasa silam antara lain kepemimpinan Ratu
Simba di Jawa Tengah, Ratu Tribhuvanatunggadevi, Jro Jempiring di Buleleng dan
sebagainya. Tidak sedikit perempuan Hindu berjuang bahu membahu bersama-sama
pejuang laki-laki. Hal ini sebagai bentuk kesetaraan gender yang mengangkat
kedudukan wanita.
EKSISTENSI
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Manusia
yang lahir kedunia merdeka dan mempunyai martabat serta hak yang sama dihadapan
Tuhan Yang Maha Esa baik laki-laki maupun perempuan. Istilah dewa-dewi,
putra-putri, lingga yoni dalam agama Hindu menggambarkan bahwa dualisme ini
sesungguhnya ada dan saling membutuhkan karena Tuhan Yang Maha Esa menciptakan
semua mahluk hidup selalu berpasangan. Dalam Manavadharmasastra dijelaskan
bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya dalam wujud Ardha nari-isvari, sebagai sebagian
laki-laki dan sebagian lagi sebagai perempuan sebagai berikut:
“Dengan
membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian perempuan (Ardha
Nari-Isvari), ia ciptakan Viraja (alam semesta)”.
Manavadharmasastra I.32
Rahasia
Tuhan Yang Maha Esa dalam dualismenya ini membuat semua mahluk ciptaannya termasuk
umat manusia tidak sepi dengan berbagai aktivitas dualisme ini. Adanya petir
karena gesekan positif dengan negatif, adanya siang dan malam yang tak kuasa
kita lawan, dia berjalan dan mengalir begitu saja sesuai dennga porosnya
masing-masing. Swami Vivekananda menyatakan setiap kewajiban adalah suci dan
ketaatan kepada kewajiban adalah bentuk pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Gerakan
emansipasi wanita yang dimulai dunia barat akibat perlakuan kaum laki-laki yang
terkadang memarginalkan kaum perempuan, namun harus disadari bahwa gerakan ini
bertujuan menegakkan proporsi wanita sebagaimana layaknya. Ini harus di pahami
dengan baik agar prilaku wanita tidak terkesan memberontak terhadap eksistensi
laki-laki. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan eksistensi
wanita yaitu secara fisik apapun alasannya memang lebih lemah dari laki-laki,
disamping itu secara kodrati wanita dapat hamil, menyusui dan datang bulan.
Kodrat inipun kadang dilanggar oleh kebanyakan kaum wanita dengan gerakan
emansipasi wanita sehingga tidak sesuai dengan jiwa gerakan itu sendiri yaitu
menegakkan proporsi wanita sesuai dengan kodratnya.
Dalam
Hindu memandanng bahwa wanita karir adalah hak asasi sepanjang meninggalkan
kodratnya sebagai wanita. Menjadi wanita karir bukan berarti boleh tidak setia
dan tidak menghormati suami dan tidak mengurus anak, anggapan ini salah besar.
Memang wanita dihadapkan kepada hal yang sangat dilematis karena keadaan fisik
yang secara kodrati lebih lemah dari laki-laki dan disisi yang lain dia harus
taat kepada kodratnya. Berkenaan dengan kesetaraan gender ini harus disikapi
secara arif dan bijaksana, artinya kasuistis
tidak bisa dijadikan ukuran bahwa wanita kedudukannya sebagai second class
apalagi outclass. Pada hakekatnya wanita harus mampu mengkolaborasikan karir
atau pekerjaan denga urusan rumah tangga
bia ia telah memilih untuk menjadi wanita karir.
Sesungguhnya
menurut ajaran agama Hindu wanita memiliki kedudukan yang terhormat sesuai kodratnya
yang diuraikan dalam Manawadharmasastra sebagai berikut:
“
Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakaknya, suami dan
ipar-iparnya, jika menghendaki kebahagiaan”.
“Dimana
wanita dihormati, disanalah para dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak
dihormati, tidak ada upacara suci apapun dalam keluarga itu akan berpahala”.
Dimana
warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi
dimana wanita itu tdak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia”.
“rumah
dimana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kasar,
keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan
gaib”;
(Manavadharmasastra III.55-58)
Dari
terjemahan sloka-sloka kitab Manavadharmasastra diatas dapat dipahami,
sesungguhnya kedudukan wanita didalam agama Hindu sangat terhormat, sebab bila
tidak ada penghormatan kepada wanita, maka seluruh aktivitas ritual tidak akan
bermanfaat. Hingga dewasa ini wanita mendapat kehormatan khususnya dalam
berbagai pelaksanaan upacara yadnya. Nilai tawar perempuan sebenarnya cukup
kompotitif karena secara hakiki Sang Hyang Widhi menciptakan dua insan berbeda
jenis kelamin ini dalam kapasitas saling membutuhkan dan slaing melengkapi.
Selain
posisi terhormat salah satu keunggulan komparatif wanita yang termaktub dalam
kitab suci veda sebagai berikut:
“Oranng
yang jahat ini memperlakukan kami sebagai wanita yang tidak berdaya. Tetapi
kami berani dan sebagai ibu dari anak laki-laki yang gagah perkasa, layaknya
istri dari dewa Indra dan sahabat para dewa Maruf”.
(Rgveda X.8.9)
Secara
kodrati laki-laki juga memiliki keunggulan yang karismatik karena memang sejak
lahir dia sudah dapat menambah dorongan kejiwaan psikis keluarga dalam meniti
hidup rumah tangga. Dorongan psikis yang didalamnya terdapat pula dorongan
spiritual dari sebuah keluarga yang dihadiri anak-anak beranjak dari makna
ajaran yang terdapat dalam kitab Nitisastra bahwa anak yang “suputra”dapat memberi vibrasi kenyamanan
dilingkungannya dan bahkan lebih dari itu bahwa anak “ dapat menolong leluhur mencapai sorga. Disamping itu dorongan
psikis secara karismatik yang ditimbulkan pria seperti yang diuraikan dalam
kitab suci veda sebagai berikut”
“Sang
Hyang Agni kami bebas dari hutang, setelah seorang anak laki-laki lahir pada
kami yang mengisap payudara ibunya dengan riang gembira dan
berjingkrak-jingkrak i pangkuannya”.
(Yajur veda XIX.11)
Bebas hutang yang
dimaksud pada terjemahan mantra Yajurveda ini bermakna bahwa manusia sudah
melaksanakan sebagian kewajiban hidupnya sesuai dengan amanat Tuhan Yang Maha
Esa. Ungkapan emosional aktivis emansipasi wanita agar gregetnya muncul
kepermukaan dengan berpedoman pasa satu kasus yang terjadi belum tentu mewakili
untuk digenderalisir bahwa kaum pria memarginalkan wanita.
Setiap manusia
memiliki hak asasi yang melekat dala dirinya seumur hidup, demikian pula hak
asasi perempuan. Hak asasi perempuan menyangkut hak-hak atas kebebasan, permaan
dan persaudaraan (pembangunan). Hak-hak tersebut mesti dinikmati secara
universal oleh perempuan tanpa diskriminasi atas dasar jenis kelamin. Intinya adalah menyangkut kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Dalam Deklarasi tentang Kesetaraan Perempuan dan
Sumbangan mereka bagi pembangunan dan perdamaian tahun 1975, diungkapkan sejumlah
prinsip antara lain:
1.
Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
berarti kesetaraan dalam martabat dan nilai mereka sebagai manusia juga
kesetaraan dalam hak, kesempatan dan tanggungjawab.
2.
Semua hambatan yang menghalangi kaum
perempuan guna mencapai kesetaraan status dengan laki-laki harus dihapus guna
menjamin pengintegrasian sepenuhnya kaum perempuan kedalam pembangunan nasional
dan partisipasi mereka dalam mewujudkan dan menjaga perdamaian internasional.
3.
Perempuan dan laki-laki mempunyai tanggung
jawab yang sama dalam keluarga dan masyarakat. Kesetaraan antara perempuan dan
laki-laki harus dijamin didalam keluarga, yang merupakan unit dasar dalam
masyarakat dan dimana hubungan-hubungan manusia dibina.
4.
Kesetaraan hak tidak dapat dipisahkan dari
kesetaraan tanggung jawan karena itu merupakan kewajiban bagi kaum perempuan
untuk memanfaatkan sepenuhnya peluang yang tersedia bagi mereka serta
menunjukan kewajiban ereka terhadap
keluarga negara dan kemanusiaan.
KESETARAAN GENDER
DALAM PENDIDIKAN DAN KARIR
Wanita
adalah seorang ibu atau seorang gadis dewasa yang memiliki sifat-sifat lembut,
kasih sayang, perhatian, tulus iklas dalam menjalankan kehidupan senantiasa
memaafkan, berjiwa besar ketika terhina, ramah dalam pergaulan, memiliki peran
ganda dalam kehidupan dan kuat dalam doa untuk dirinya dan keluarga. Kedudukan
perempuan dalam ajaran agama Hindu sangat penting, khususnya yang berkaitan
dengan upaya untuk meningkatkan intelektualitas yang melekat pada perannya
dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan, baik dalam perspektif
individual, keluarga maupun bangsanya. Penghargaan kepada perempuan melalui
pemberian pendidikan merupakan bentuk nyata dari kesetaraan gender sekaligus
sebagai implementasi pencurahan kasih sayang kepada kaum perempuan dalam artian
yang luas. Memberikan rasa kasih sayang kepada perempuan melalui pendidikan
secara tidak langsung merupakan upaya untuk menghadirkan para dewa
ditengah-tengah kehidupan manusia. Dimana perempuan mendapatkan penghargaan dan
penghormatan maka pada tempat itu akan terdapat kesejahteraan dan kebahagiaan,
dan sebaliknya.
Dalam
kitab suci Veda diamanatkan bahwa perempuan seharusnya menjadi seorang sarjana
dan sekaligus sebagai pengajar yang memberikan pengetahuan kepada orang lain.
Amanat etrsebut secara eksplisit tersurat dalam kutipan mantra berikut ini.
Stri hi brahma babhuvita (Rg Veda
VIII.33.19)
Perempuan
sesungguhnya adalah seorang sarjana dan seorang pengajar.
Mantra diatas secara
jelas mengamanatkan bahwa perempuan memiliki potensi untuk menjadi sosok
sarjana ketika peluang untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
Sarjana dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai orang yang menguasai berbagai
bidang ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Sanskerta disetarakan dengan Sarva Jnana. Potensi yang dikembangkan
tersebut memberikan peluang bagi perempuan untuk menularkan kemampuan
intelektualitasnya kepada orang lain melalui proses pengajaran. Potensi lain
yang dapat dikembangkan oleh perempuan berdasarkan tingkat kerjasamanya adalah
kemampuannya dalam berbicara atau orator. Hal tersebut seperti yang secara
eksplisit tersurat dalam mantra Veda seperti dikutip berikut ini:
Aham ketur aham murdha
Aham ugra vivacani (Rg Veda X.159.2)
Kami adalah seorang raja
seorang sarjana yang
terkemuka
dan seorang wanita orator
(ahli bicara)
Mantra
diatas mengimplikasikan bahwa perempuan sebagai seorang sarjana juga memiliki
kemampuan dalam berbicara. Perempuan dalam posisi ini memiliki potensi sebagai
orator yang ulung. Aspek esensial yang terkandung dalam mantra tersebut adalah
peran perempuan dalam ranah publik ketika melakukan interaksi tidak kalah
dengan laki-laki. Keutamaan yang dimiliki oleh perempuan ketika dikembangkan
dengan tepat melekat pada sifat-sifatnya. Kutipan mantra berikut memberikan gambaran
bahwa permpuan sebagai sosok yang patut dimuliakan karena memiliki kemampuan
untuk membantu meningkatkan kualitas kehidupan diri dan orang lain. Satu hal
yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana potensi tersebut dapat
dikembangkan dalam tindakan nyata ditengah komunitasnya. Tanpa itu maka potensi
tersebut tidak akan banyak manfaatnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
komunitasnya. Pengembangan potensi tersebut dapat ditempuh melalui proses
pendidikan baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Kongruen dengan
itu, maka perlu dibuka peluang yang seluas-luasnya bagi upaya untuk
mengembangkan potensi diri perempuan melalui pemberian haknya untuk menempuh
pendidikan setara dengan yang diperoleh laki-laki.
Disamping
mengenai masalah pendidikan, dalam hal karir menurut Manavadharmasastra IX.29
menjelaskan bahwa wanita dapat memilih sebagai sadwi atau sebagai brahmawadini.
Wanita sebagai sadwi artinya wanita itu memilih berkarir dalam rumah tangga
sebagai pendidik putra-putrinya dan pendamping suami. Karena dalam Vana Parwa
27.214 , ibu dan ayah (Mata ca Pita)
tergolong guru yang setara. Dalam Manavadharmasastra IX.27 dan 28 ada
dinyatakan bahwa melahirkan anak, memelihara setelah lahir, lanjutnta peredaran
dunia wanitalah sumbernya. Demikian pula pendidikan anak-anak, melangsungkan
upacara yadnya, kebahagiaan rumah tangga, sorga untuk leluhur dan dirinya semua
itu atas dukungan istri bersama suami.
Sedangkan
wanita yang berkarir diluar rumah tangga disebut Brahma Vadini. Ia bisa sebagai
ilmuan, politisi, birokrasi, kemiliteran, maupun berkarir dalam bidang bisnis.
Semuanya itu mulia dan tidak terlarang bagi wanita. Itu semua konsep
normatifnya kedudukan perempuan menurut pandangan Hindu.
Disamping
itu, perempuan sebagai sosok yang dapat mewujudkan peningkatan kualitas
kehidupan, baik dirinya maupun orang lain seperti yang telah dicandra pada
bagian terdahulu mengharuskan pemberian penghargaan kepada perempuan. Kedudukan
perempuan dalam ajaran agama hindu menurut sumber-sumber yang telah dikutip
diatas memberikan identitas mulia padanya. Demikian juga halnya dalam praktik
kehidupan beragama Hindu telah memberikan posisi yang setara antara laki-laki
dan perempuan dalam sejumlah hal.
Salah satu
aspek pelaksanaan agama yang mendukung hal tersebut adalah pada tataran simbol
konstruktif keagamaan, khususnya dalam simbol pendeta keagamaan. merujuk pada
De Groot (2005:247-248) yang secara tandas mengemukakan bahwa keberadaan
pendeta Brahmana hindu perepuan diera masyarakat modern memiliki posisi dan
status yang setara dengan pendeta laki-laki. Keberadaan pendeta wanita
merupakan identitas kependetaan yang disejajarkan dengan pendeta laki-laki.
Pedanda istri kania merupakan pendeta yang memiliki otoritas penuh dimana
statusnya setara dengan pendeta laki-laki.
GRAND DESAIN
Sesuai dengan
pengertian gender yang diartikan sebagai suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya
untuk membedakan fungsi peran dan tanggung jawab antara keduanya,menurut
pandangan penulis memang sudah seharusnya kesetaraan gender ini diterapkan
dalam kehidupan masyarakat, sehingga kesetaraan gender tidak hanya sebagai
wacana belaka. Dengan adanya kesetaraan gender ini diharapkan kaum laki-laki
memberikan peluang kepada kaum wanita untuk mengembangkan segala potensi baik
dalam hal karir maupun dalam bidang pendidikan selama perempuan mampu untuk
memanajemen waktu sehingga ia tidak lupa dan melalaikan tugas dan kodratnya
sebagai perempuan.
Negara Indonesia
telah lama merdeka dan kemerdekaan sudah sepatutnya dirasakan oleh semua bangsa
baik laki maupun perempuan. Merdeka dalam hal ini adalah merdeka dari segala
bentuk penjajahan, baik penjajahan fisik maupun mental. Dengan adanya
kesetaraan gender yang mengangkat kedudukan wanita, maka diharapkan wanita
merdeka dari segalabentuk penjajahan kaum laki-laki. Kesetaraan gender
hendaknya dimaknai positif oleh kedua belah pihak, karena apabila antara
laki-laki dan perempuan saling memahami dan menghargai peran dan tanggungjawab
masing-masing dalam keluarga maka akan tercipta keharmonisan dalam keluarga.
Terlebih diera modern ini, sudah sepatutnya kaum wanita mendapat pendidikan
yang sama dengan kaum laki-laki, karena wanita merupakan pendidik pertama dalam
keluarga. Selain itu pemberian pendidikan kepada wanita adalah salah satu upaya
untuk meningkatkan martabat wanita dalam suatu bangsa.
PENUTUP
konsep gender adalah suatu sifat yang
melekat baik pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi atau dibentuk
secara sosial maupun kultural dengan akibat terjalinnya hubungan sosial yanng
membedakan fungsi peran dan tanggunng jawab kedua jenis kelamin itu.
Persepsi masyarakat Hindu tentang perempuan
(termasuk tentang demokrasi, HAM dan sebagainya) adalah sama-sama mulia,
sama-sama memiliki potensi dan fungsi sesuai dengan kodrat masing-masing,
artinya seorang perempuan bila mampu melaksanakan swadharmanya dengan baik maka
wanita benar-benar mendapatkan penghargaan yang sangat mulia.
Pada dasarnya laki-laki dan perempuan
mempunyai eksistensi yang sama namun tentunya mempunyai kekurangan dan
kelebihan masing-masing. Dalam mempertahankan eksistensinya, perempuan
mempunyai hak untuk berkarir dan mengembangkan segala potensi yang dimiliki
selama ia tidak melupakan kodratnya sebegai perempuan yang menjadi sumber
kesejahteraan dalam keluarga.
Pendidikan sangat penting diberikan kepada
perempuan sebagai bentuk penyetaraan gender, seperti dalam kitab suci Veda
diamanatkan bahwa perempuan seharusnya menjadi seorang sarjana dan sekaligus
sebagai pengajar yang memberikan pengetahuan kepada orang lain. Disamping
masalah pendidikan, Manavadharmasastra IX.29 juga menjelaskan bahwa wanita
dapat memilih karir sebagai sadwi atau sebagai brahmawadini. Wanita sebagai
sadwi artinya wanita itu memilih berkarir dalam rumah tangga sebagai pendidik
putra-putrinya dan pendamping suami. Sedangkan wanita yang berkarir diluar rumah
tangga disebut Brahma Vadini, misalnya ia bisa sebagai ilmuan, politisi,
birokrasi, kemiliteran, maupun berkarir dalam bidang bisnis.
REFERENSI:
Tim penyusun.
2005. Pengarusutamaan Gender (PUG)
Menurut Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Arniati, Ida Ayu Komang. 2008. Pandangan Gender Pada Smerti
Dalam Perkembangan Modern.
Surabaya: Paramita.
Suryani, Luh Ketut. 2003. Perempuan Bali Kini. Denpasar: BP.
Wirawan, I Wayan Ardhi. 2015. Makalah “Pendidikan Perempuan Menurut Ajaran Hindu Dan Dalam Praktik
Budaya Bali. Mataram: STAHN Gde Pudja Mataram.
Saridewi, Desak Putu. 2014. Artikel Desain Diri Bagi Wanita Hindu Pada Era Modern Di Nusa Tenggara
Barat. Mataram: STAHN Gde Pudja Mataram.
Sumber Internet: