Kamis, 13 November 2014

CARA MEMBACA SIFAT SEESORANG DARI CARA BERJALAN

« Membaca sifat seseorang dari cara berjalan:
 1. Berjalan dengan bahu mengangkat, biasanya orang ini sifatnya mudah lupa, kadang-kadang lupa betulan, kadang-kadang pura-pura lupa.
2.  Berjalan menunduk. Tipe orang seperti ini adalah orang yang sangat teliti dalam perjalanan hidupnya, terutama teliti melihat harta tetangga. Disamping itu, dia juga teliti dalam melihat sesuatu yang dilihat sepanjang perjalanannya, terutama untuk melihat duit receh yang tercecer.
3. Berjalan sambil melihat kiri kanan.Type orang seperti ini adalah orang yang sifatnya kritis, terutama terhadap lingkungan sosial dan lingkungan alam. Biasanya orang seperti ini adalah orang yang tidak mempunyai masalah dengan siapapun karena dia sangat faham mana yang boleh dikantongi atau tidak boleh. Dia sangat hafal buah-buahan yang tidak boleh disentuh atau jenis pakaian yang seperti apa yang tidak boleh diambil dari jemuran.4. Berjalan sambil bernyanyi atau bersiul. Orang seperti ini sifatnya sangat menyenangkan, menyenangkan siapa saja yang ditemuinya. Suka membantu orang lain terutama membantu menyelesaikan masalah orang lain. Tetapi dia juga senang sekali menerima bayaran dari yang dibantunya. 
« Berikut karakter dan sifat yang dapat diungkap dari wajah anda:
 1.   Alis
Alis dapat menunjukkan pola pikir anda. Bila anda memiliki alis dengan pangkal tebal lalu menepis di ujung menunjukkan anda sangat berbakat dalam memulai proyek-proyek baru. Alis yang dimulai dengan pangkal tipis dan berakhir dengan ujung lebih tebal menunjukkan orang yang berbakat mengikuti detail. Jika alis anda tebal berarti menunjukkan kekuatan intelektual. Bila anda memiliki alis tipis tipis menunjukkan intensitas mental. Bentuk alis yang lurus menunjukkan bahwa anda adalah orang yang baik, estetis tapi jika jaraknya terlalu dekat ke mata. Bila alis anda terlalu tebal berarti anda adalah orang yang mudah marah dan tidak sabar.Alis yang agak menunjuk ke telinga memberi arti bahwa anda adalah orang yang senang sikap ramah. 2.   Telinga
Telinga menunjukkan bagaimana anda merancang realita dan bagaimana anda bereaksi secara tidak sadar terhadap hal-hal di sekitar anda. Bila telinga anda panjang maka menunjukkan bahwa anda memiliki kemampuan mendengarkan yang luar biasa. Jika telinga anda ukurannya sedang maka menunjukkan keluwesan dalam mendengarkan. Tetapi jika telinga anda pendek maka menunjukkan kecenderungan bukan hanya mengumpulkan informasi tapi juga memperhatikannya secara serius. Bentuk telinga anda yang menyudut ke dalam biasanya berarti anda mudah menyesuaikan diri. Sedangkan telinga yang menyudut ke luar menunjukkan bahwa anda ragu mengikuti aturan masyarakat. Untuk telinga anda yang letaknya lebih tinggi dibandingkan alis maka menunjukkan bahwa anda orang yang ingin berprestasi tinggi.3.   Hidung
Hidung menunjukkan bagaimana anda mengelola uang dan apa yang membuat anda beda sebagai pekerja.Hidung pendek menunjukkan bakat kerja keras.Hidung panjang menunjukkan ketrampilan perencanaan dan strategi yang istimewa.Hidung lurus menunjukkan sistematis.Hidung melengkung mengungkapkan kreativitas. Hidung berjendul menunjukkan pekerjaan anda maju mundur. Hidung besar menunjukkan kemampuan mencari uang. Jika lubang hidung lebih tertutup daripada terbuka, orang ini berkemungkinan lebih besar mempertahankan kekayaannya.4.   Mulut
Mulut untuk ekspresi diri. Bentuk bibir penuh, pintar membuat percakapan jadi terbuka lebar dan bisa mengungkapkan sesuatu yang memalukan. Bibir yang tipis menunjukkan bahwa anda lebih pintar dalam menyimpan rahasia pribadi. Bibir yang pendek dapat menunjukkan bahwa anda lebih menyukai percakapan satu arah. Anda memiliki bibir yang panjang maka menunjukkan bahwa kemampuan bicara dengan banyak orang. Bila anda memiliki bibir penuh dan cuping telinga besar dapat menunjukkan bahwa anda adalah orang yang sangat sensual. Bibir atas yang tipis menunjukkan orang yang kurang afeksi sedangkan bibir bawah lebih penuh menunjukkan menerima tantangan.  5.        Dagu dan Rahang
Dagu dan rahang secara bersama-sama atau terpisah bisa mengungkapkan etika, kemampuan membuat keputusan serta cara mengatasi konflik. Rahang yang lebar dapat menunjukkan bahwa anda cenderung lebih fisik daripada mental. Begitu juga sebaliknya jika rahang anda sempit. Sedangkan dahi tinggi menunjukkan pemikir sedangkan dahi bulat menunjukkan idealistis. Hati-hati, ada baiknya anda berhati-hati dengan orang yang memiliki bibir atas yang menonjol keluar ke atas bibir bawah terutama jika bibir atasnya tipis. Karena orang seperti ini kemungkinan mempunyai sifat mencari mangsa. Anda juga harus waspada dengan orang yang memiliki wajah berhidup luar biasa lancip dan menurun, bibir hampir tidak terlihat, mata kecil dan tulang pipi tinggi dengan sedikit daging. Karena orang yang memiliki bentuk wajah ini memiliki sifat yang kejam.


SUMBER:
http://www.vemale.com/woman-extra/20488-melihat-kepribadian-seseorang-dari-cara-berjalan.html

PURA SURANADI ULON

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Sang Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berhubungan dengan Ketuhanan. Pura banyak didirikan didaerah-daerah setempat, untuk dijadikan tempat pemujaan bagi umat hindu seperti di daerah lombok terdapat banyak pura-pura yang telah didirikan oleh umat hindu, salah satu pura yang didirikan adalah Pura suranadi.
                   Pura Suranadi adalah pura yang terdapat dilokasi wisata Suranadi, pura ini merupakan sarana aktivitas ritual keagamaan yang dikelilingi oleh alam yang masih asri, namun pura ini juga memiliki beberapa pura yang berpola menyebar, diantaranya adalah pura pembersihan, pura ulon, pura pengentas, dan pura majapahit. Sesuai dengan keberadaan sumber mata air suci yang terdapat di kawasan setempat. Meskipun terpisah secara fisik, dari segi rangkaian kegiatan ritual, Pura Suranadi merupakan satu kesatuan. Keberadaan pura Suranadi erat kaitannya dengan 5 mata air  yang di sebut dengan Panca Tirta. Kelima mata air (panca tirta) tersebut adalah tirta pembersihan, tirta panglukatan, tirta pengening (Petirtan), tirta pengentas danToya tabah.
                   Suranadi sendiri berasal dari kata Sura yang berarti dewa dan nadi yang berarti sungai. Konon, dalam kamus bahasa Jawa kuno, Suranadi juga berarti kahyangan. Menurut catatan sejarah, mata air di Pura Suranadi terbentuk pada abad XVI ketika seorang India yang bernama Dang Hyang Nirata berkunjung ke pulau Lombok untuk menyebarkan agama Hindu. Setelah lelah menempuh perjalanan yang panjang, beliau beristirahat di Suranadi yang saat itu masih berupa hutan lebat yang dipenuhi satwa liar. Ketika itu, beliau menancapkan tongkat saktinya ke lima titik dan menyemburlah air dari tempat dimana tongkatnya ditancapkan dan sampai sekarang menjadi mata air tempat masyarakat mengambil air untuk upacara keagamaan Hindu.
Inilah yang melatar belakangi penulis untuk meneliti dan membuat makalah mengenai Pura Suranadi khususnya di Pura Suranadi Ulon tersebut,  dimana dipura ini memiliki sejarah yang sangat sakral sehingga membuat penulis menjadi tertarik untuk mengetahuinya.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah dan struktur bangunan pura Suranadi Ulon?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini antara lain:
1.      Untuk memberikan pemahaman dan gambaran mengenai sejarah pura suranadi.
2.      Untuk mengetahui nama dan fungsi dari pelinggih- pelinggih pura suranadi khususnya di Pura Suranadi Ulon tersebut.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pura Suranadi Ulon
Pura Suranadi berada di Dusun Suranadi Desa Selat, Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat. Dari Kota Mataram berjarak sekitar 15 Km ke arah timur laut. Pura tersebut berada di tiga buah lokasi yang berbeda yaitu disebut Pura Ulon,Pura Majapahit, Pura Pengentas dan Pura Pebersihan. Lokasi Pura-pura ini dikelilingi oleh hutan wisata, persawahan, jalan raya, tempat berjualan dan penginapan. Terletak pada ketinggian 256 meter di atas permukaan laut.Secara etimologis, Suranadi berasal dari kata “sura” (dewa) dan “nadi” (sungai).Dalam kamus bahasa jawa kuno disebutkan bahwa Suranadi juga berarti “Kahyangan”, tempat para dewa bersemayam. (http://vhaulva.blogspot.com/2012/03/taman-suranadi.html)
                   Berdasarkan hasil wawancara dengan Pemangku Nengah Catra pada hari Rabu, 18 september 2013, beliau menceritakan bahwa keberadaan Pura Suranadi tidak terlepas dari Kisah perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang kedua kalinya ke tanah Lombok ini dan juga upacara pengabenan pertama di lombok sekitar abad ke-16.
Di ceritakan pada waktu Danghyang Dwijendra datang pertama kali ke Lombok, dijumpai  oleh Beliau adanya orang-orang Bali atau “Baliage” yang berdomisili di Dusun Medayin. Mereka telah memuja Bhetara Gede Muter Jagat. Atas permohonan orang-orang yang tinggal di Medayin itu maka Sang Bethara menganugrahi mereka untuk berpindah tempat dari Medayin ke suatu tempat yang terletak di sebelah utara dan di sebelah barat sebuah sungai. Tempat yang baru itu diberi nama Karang Medain.
Pada suatu hari Mpu Dwijendra melintas di Karang Medain  dan   bertemu dengan salah seorang penduduk bernama I Gede Butaq. Dia itu sedang mempersiapkan tempat kremasi mayat pamannya yang bernama I Gede Batuhu yang meninggal tadi malamnya. Mpu Dwijendra memberikan petunjuk kepada I Gede Butaq bahwa hari ini tidak baik untuk membakar mayat  maupun Ngaben, tetapi  yang baik adalah lima hari lagi dari sekarang, tepatnya pada hari Wrespati Pon wuku Uye tanggal ping tigabelas purnamaning ke-dasa. Sang Mpu akan diminta untuk Muput atau menuntaskan upacara tersebut. I Gede Butaq juga memperkenalkan sanak saudara yang lain kepada Dang Hyang Dwijendra. Disebutkan bahwa ayahnya bernama I Gede Pageh yang berstatus Bendesa Banjar, bersaudara dengan I Gede Batuhu yang berstatus Kliang Banjar. Sedangkan Gede Batuhu berputra bernama I Wayan Para.
Tepat pada hari yang disepakati I Gede Butaq bersama I Wayan Para datang menjemput Mpu Dwijendra di Asramanya di Dasan Agung. Tetapi ternyata Sang Mpu telah pergi meninggalkan Asrama berjalan menuju kearah utara timur. Atas petunjuk seorang warga sasak maka I Gede Butaq dan I Wayan Para berusaha mengejar Sang Mpu yang baru saja berjalan ke arah timur. Setelah berjalan cukup jauh akhirnya di sebuah hutan mereka menjumpai Mpu Dwijendra sedang duduk di atas batu di bawah pohon beringin. Setelah I Gede Butaq menyampaikan maksudnya seraya mengingatkan tentang kesepakatan mereka ternyata Beliau mengaku lupa sambil mengatakan bahwa kejadian ini memang kehendak dari Yang Maha Kuasa.
 Mpu Dwijendra selanjutnya menunjuk pohon bambo dan menyuruh I Gede Butaq dan I Wayan Para membuat empat buah Bumbung (yaitu buluh bambo yang dipotong untuk tempat menampung sesuatu). Setelah ke empat Bumbung selesai dibuat, maka Mpu Dwijendra berdiri seraya mengambil tongkat. Sang Mpu kemudian menancapkan tongkatnya ke tanah. Setelah beberapa saat tongkat itu dicabut maka keluarlah air yang meluap-luap bahkan sampai mancur. I Gede Butaq disuruh mengambil air tersebut dengan salah satu bumbung yang telah disiapkan tadi. Mpu Dwijendra menyuruhnya untuk memberi tanda dengan helai daun kayu, lalu bersabda bahwa air itu bernama “Tirtha Pebersihan”. Dan sekarang kita mengenal dengan Nama pura Pembersihan.
 Danghyang Dwijendra kemudian berjalan ke arah timur diiringi oleh I Gede Butaq dan I Wayan Para. Setelah berjalan kurang lebih lima puluh Depa, karena pada saat itu tidak ada meteran. Selanjutnya Beliau menancapkan kembali tongkatnya seperti tadi maka keluarlah air yang meluap-luap. Danghyang Dwijendra memberi tahu bahwa air tersebut bernama “Tirtha Pelukatan”.
                   Danghyang Dwijendra kemudian berjalan ke arah timur laut sampai sekitar lima Depa barulah melakukan hal yang sama yaitu menancapkan tongkatnya maka keluarlah air mencirat bersuara gemuruh. Beliau memberi tahu mereka berdua bahwa air itu bernama “Tirtha” yang selanjutnya disebut “Tirta Gamana”. Hingga sekarang tempat munculnya tirta pelukatan dan tirta Gamana ini di beri nama pura Suranadi Ulon.
Setelah itu Danghyang Dwijendra berbalik jalan ke arah barat daya kurang lebih sejauh lima belas Depa. Beliau kembali menancapkan tongkatnya maka keluarlah air yang kemudian diberi nama “Tirtha Pengentas dan Toya Tabah. Jadi di Pura Pengentas ini di temukan dua macam tirtha yaitu tirtha pengentas dan toya Tabah, Dijelaskan oleh Beliau bahwa “Tirtha Pengentas” digunakan untuk upacara “Pitra Yajna” yang bertujuan supaya Sang Atma (arwah) yang diupacarakan tersebut berhasil menemukan jalan menuju asalnya. Sedangkan Toya Tabah digunakan untuk pemuput upacara Pitra yadnya, yang di Bali dikenal dengan nama Tirta Penembak.
  Sang Mpu menjelaskan kembali kegunaan Tirtha yang lainnya. “Tirtha Pebersihan” digunakan untuk menghanyutkan Mala atau kekotoran yang berasal dari luar diri atau luar badan agar menjadi suci. “Tirtha Pelukatan” digunakan untuk menyapu Mala yang ada di dalam diri yaitu enam musuh dalam diri yang disebut Sad Ripu. Sedangkan Tirtha Gamana digunakan untuk menguatkan Sraddha, membuang pikiran negative dan memerangi tujuh macam kegelapan yang disebut “Sapta Timira”.
   Selanjutnya Mpu Dwijendra bersabda : “ Nah sekarang, hutan ini Mpu beri nama Suranadi”. Sura berarti orang yang telah berhasil melaksanakan Yoga Jnana atau dapat juga diartikan "Dewa". Nadi berarti orang yang menebar  kesucian atau juga dapat diartikan "Sungai". Setelah itu I Gede Butaq dan sepupunya disuruh segera pulang. Akhirnya kedua saudara sepupu ini segera kembali ke Karang Medain.
   I Gede Butaq dan I Wayan Para dengan membawa empat buah bumbung  berisi Tirtha yang ditutup daun paku telah sampai di Karang Medain. Kemudian menjumpai bapaknya yaitu I Gede Pageh yang statusnya Bendesa Banjar. Kepada bapaknya diceritakan bagaimana sampai memperoleh empat bumbung  Tirtha.  I Gede Pageh akhirnya memanggil sekalian Sekaha Banjar termasuk kepada I Ketut Kayun sebagai pemegang  Awig-awig atau   peraturan. Kepada warga banjar disampaikanlah apa yang disebut “Tirtha” yang diciptakan Mpu Dwijendra alias Ida Bhetara Sakti Waurauh yang  berada di Suranadi. Pemberian Tirtha dari tengah hutan itu digunakan sebagai  dasar agama untuk memberi penerangan kepada diri sendiri sehingga dinamakan “Gama Tirtha oleh Mpu Dwijendra bagi warga Baliage di Karang Medain.
 Setelah Danghyang Dwijendra selesai membuat mata air suci atau Petirthan di Suranadi maka Beliau melanjutkan perjalanan ke arah utara. Beliau akhirnya menginap di suatu tempat yang kemudian diberi nama “Majapahit”. Beliau menginap ditempat itu selama sebelas hari.  Kemudian Beliau kembali melakukan perjalanan kearah utara menuju daerah Bayan. Di sana beliau mengajarkan warga masyarakat tentang ajaran Wetu Telu.      
2.2 Nama-Nama Pelinggih di Pura Suranadi Ulon
                   Pura Ulon berada disebelah timur dan tepatnya disebelah timur jalan raya dan berbatasan dengan kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam disebelah utara dan timur pura. Pura ini menghadap kebarat. Luas area pura Suranadi Ulon secara keseluruhan sekitar 65 Ha, (berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Nengah Segara Yasa selaku ketua pengurus Krama Pura Suranadi).
Pura Suranadi Ulon ini terbagi menjadi tiga area, yaitu nista mandala, madya mandala dan utama mandala.
A.    Utama Mandala,terdiri dari:
1.       Padmasana yaitu sebagai tempat berstananya  Sanghyang widhi Wasa dengan berbagai manifestasinya. Bangunan ini memiliki tinggi sekitar tujuh meter. Dimana  semau motif bangunan ini berwarna hitam.
2.      Palinggih Penyungsungan Bhatara Gede Gunung Rinjani. Palinggih ini berada diatas bataran bertangga sembilan, yang diapit oleh palinggih padmasana dan palinggih ngerurah. Bangunan ini memiliki ketinggian sekita empat meter dengan strukturnya terdiri atas dasar,badan dan puncak. Bagian dasar berbentuk segi empat terbuat dari bata dan pasir semen yang dicetak dengan hiasan dua buah ekor naga sebagai bibir tangga, serta beberapa hiasan lainnya. Bagian badan terdiri atas kayu yang bertiang enam dengan altar singgasana pada bagian atasnya. Puncak terdiri atas kerangka kayu berbentuk limas dengan beratap ijuk. Bangunan palinggihnya hampir keseluruhan berwarna hitam, yakni simbol Dewa Wisnu, sebagaimana diketahui bahwa wujud beliau sebagai Dewa air dan dewa pemelihara. Demikian pula hutan suranadi adalah sebagai pusat mata air yang jumlahnya sangat banyak.
3.      Palinggih Pengelurah , fungsinya  sebagai  tempat pemujaan brtara-betara pengiring atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.Palinggih ini berada di sebelah selatan palinggih Betara Gede Gunung Rinjani. Palinggih ini memiliki tinggi sekitar 3 meter.
4.      Palinggih Betara Ayu Mas Melanting berfungsi sebagai tempat pemujaan betara ayu mas melanting. Pemujaan terhadap Betara Ayu Mas Melanting bermakna untuk memohon penghidupan yang baik terutama dalam hal rejeki agar selalu dimudahkan untuk memperolehnya. Umat hindu yang mengharapkan rejeki dari berjualan di lingkungan pura suranadi dapat melaksanakan pemujaan pada palinggih ini agar diberi kemudahan dalam mencari rajeki.
Bangunan  ini memiliki panjang sekitar 2 meter, lebar 2 meter dan tinggi 3 meter, dengan dasar berupa bataran agak lebar. Pada atas bagian badan terdapat altar berbentuk empat persegi dan diatasnya terdapat dua buah tawulan (batu lonjong berdiri). Tawulan sebagai pratima itu dibungkus masing-masing dengan kain warna putih dan kuning. Bangunan puncaknya berupa kerangka berbentuk limas dengan atap genteng. Bagian dasarnya berupa teras yang telah dikeramik biasanya sebagai sebagai tempat sesajen.
5.      Gedong Penyimpenan berfungsi sebagai tempat pempat menyimpan segala peralatan yang digunakan pada saat persembahyangan atau pujawali, seperti wastra dan sebagainya. Bangunan ini berada disebelah selatan. Bangunan ini merupakan bangunan berdinding yang mempunyai teras dan di depan bangunan terdapat dua buah tiang serta beratapkan genteng.
6.      Bale Pengaruman / bale pelik, berada di utara pelinggih tirta pelukatan. Bale ini berfungsi sebagai tempat bermusyawarahnya para dewa.
7.      Pesimpangan tirta pelukatan. Sebelum nunas/ mengambil tirta pelukatan ini, biasanya terlebih dahulu nunas lugra dengan ngunggahan canang atau banten di palinggih ini.
8.      Tirta pelukatan. Tirta ini  biasanya digunakan untuk melukat seseorang dengan tujuan agar dapat membersihkan segala kekotoran yang ada pada dirinya baik secara jasmani maupun rohani.
9.      Bale pewedaan pemangku, digunakan sebagai tempat pewedaan oleh jero mangku saat muput persembahyangan atau upacara yadnya.
10.  Pesimpangan tirta pengening. Palinggih ini berfungsi sebagai tempat mohon lugra / permisi sebelum mengambil tirta pengening. Bangunan ini terletak berdekatan dengan tirta pengening.
11.  Tirta pengening, biasanya digunakan saat puncak upacara, sebagai prasadam dan diberikan kepada peserta upacara sebagai tirta wasuh paddya.
12.  Bale banten dan pewedaan pedanda. Bale banten berfungsi segai tempat untuk menyimpan banten dan segala sarana upacara. Di belakang bale banten terdapat bale tempat pewedaan pedanda yang sedang memimpin pelaksanaan upacara yadnya.
13.  Bale peteduh (tempat istirahat). Bale ini berbentuk persegi panjang, memiliki enam tiang dan beratap genteng. Bangunan ini biasanya digunakan sebagai tempat beristirahat  jero mangku yang bertugas.
B.     Madya Mandala, terdiri dari:
1.      Kori Agung serta pelinggih apit lawang. Kori agung ini merupakan pembatas antara madya mandala dengan utama mandala. Kori agung ini hanya di buka pada saat pujawali saja. Sedangkan pelinggi apit lawang ini sebai tempat para penjaga atau prajurit di pura tersebut.
2.      Bale Pekemitan.  Diarea madya mandala ini terdapat dua bale pekemitan. Yang satu berada di sebelah selatan dan yang satu lagi berada disebelah utara. Bale pekemitan ini biasa digunakan oleh warga untuk beristirahat atau melaksanakan pekemitan baik pada hari pujawali maupun hari-hari suci lainnya.
3.      Pos penjaga. Bangunan ini terletak di dekat pintu masuk madya utama. Pos ini berfungsi sebagai tempat peminjaman selendang atau kain bagi tamu wisatawan.
C.     Nista Mandala
1.      Bale Pesamuan, biasanya digunakan sebagai tempat mengadakan rapat  dan kegiatan masyarakat, seperti pegelaran tari-tarian dan sebagainya. Menurut keterangn narasumber ( putu Sueka agung ) dalam waktu dekat ini bale pesamuan tersebut akan direnovasi menjadi bangunan serba guna yang memakai motif bangunan bali.
2.      Bale Kulkul, berada di bagian pojok utara nista mandala berdekatan dengan kantor sekretariat. Kulkul ini biasa dibunyikan saat ada pemberitahuan rapat atau saat pelaksanaan pujawali.
3.      Kantor sekretariat merupakan kantor yang digunakan sebagai sekretariat oleh pengurus pura suranadi tersebut. (jero mangku nengah catra, 18 september 2013)

2.3 Fungsi  Panca Tirtha    
                   Hasil wawancara dengan jero mangku I Ketut Narwada dan Jero Mangku Buda Arsana,18 september 2013. Panca Tirtha artinya lima buah mata air dalam rangka upacara  yajna. Panca Tirtha terdiri dari mata air Petirthan,  mata  air  Pelukatan,  mata  air  Pengentas, mata  air Tabah dan mata air Pebersihan.  Kaitan dengan pelaksanaan upacara agama maka air berfungsi dan bermakna sebagai sarana persembahan yang disebut dengan air suci, yang sering juga dikenal dengan istilah Toyam. Lebih lanjut dijelaskan, Toyam atau Toya merupakan air suci yang dipergunakan sebagai sarana persembahan atau sarana upacara yang memiliki kekuatan magis selanjutnya lebih dikenal dengan nama Tirtha. Dalam kaitan ini yang digunakan Tirtha tersebut bersumber dari mata air Petirthan.
~ Tirtha Pelukatan berasal dari mata air Pelukatan  bermakna untuk membersihkan dan menyucikan rohani manusia yang akan melaksanakan upacara.
~ Tirtha Pengening (petirtan) dipergunakan saat puncak upacara, sebagai prasadam dan diberikan kepada peserta upacara sebagai tirta wasuh paddya.
~Tirta Pebersihan bermakna untuk membersihkan dan menyucikan jasmani manusia yang akan melaksanakan upacara yang berasal dari mata air Pebersihan
 ~Tirtha Pengentas berasal dari mata air Pengentas bermakna untuk memberi bimbingan jalan bagi sang Roh agar lancar melewati alam Niskala.
~ Toya Tabah  sama dengan Tirtha Penembak yaitu bermakna untuk muput upacara Pitra Yajna. Penembak juga  bermakna sebagai bekal sang Roh agar tidak kehausan di perjalanan, dan sebagai pengganti darah yang mengandung dosa dan kegelapan menjadi bersih oleh sinar Sang Hyang Widhi.
Selain itu Jero Mangku Nengah Catra ketika di wawancara juga menjelaskan bahwa untuk kegiatan upacara Dewa dan Manusia Yadnya hanya dibutuhkan empat macam tirtha yaitu tirta Tabah, tirta Pebersihan, tirta Pengening (Petirtan), dan tirta Pelukatan.
                   Sedangkan untuk upacara pitra yadnya di butuhka lima macam tirta (panca tirta) yaitu tirta tabah, tirta pebersihan, tirta pelukatan, tirta pengening  (petirtan) dan tirta pengentas. Bebten yang digunakan untuk nunas tirta disesuaikan oleh kemampuan yang bersangkutan, apabila tidak bisa membuat banten yang besar, dengan canang sari saja sudah cukup. Beliau juga menjelaskan, panca Tirta ini tidak hanya di ambil oleh orang-orang lombok saja, namun juga diambil oleh orang-orang dari luar seperti dari bali, jawa bahkan seluruh Indonesia dapat mengambilnya.


2.4 Pujawali Pura Suranadi
Berdasarkan hasil wawancara tanggal 18 September 2013, Pujawali Pura Suranadi ini dilaksanakan pada purnamaning sasih ke-lima yang pada tahun ini jatuh pada bulan November, tepatnya pada tanggal 17 November 2013.Rangkaian pujawali mulai dari awal sampai penutupan upacara pujawali dilaksanakan selama sepuluh hari.  Pujawali pura-pura ini di laksanakan secara bersamaan pada hari yang sama.
Adapun prosesi Pujawali ini di laksanakan dengan beberapa rangkaian upacara,diantaranya:
~ Enam Hari sebelum hari pujawali dilaksanakan upacara Nuhur tirtha Ida Bhatara  Gunung Rinjani. Banten untuk nuhur Ida Bhatar Gunung Rinjani dibawa dari Pura Suranadi Ke Gunung Rinjani terdiri atas, pejatian, canang burat wangi, canang bebaos,canang genten, krik kramas,buhu dan tehenan. Bnaten tersebut akan dihaturkan pada masing-masin palinggih yang ada disana.
~  Tiga hari sebelum pujawali, yaitu balik dari Gunung Rinjani mundut (membawa ) Tirtha Betara Gunung Rinjani tersebut yang kemudian dilinggihkan di Pura Majapahit. Setelah Tirtha tersebut di linggihkan maka diadakannya pekemitan yang dilaksanakan oleh banjar-banjar pengamong pura Suranadi tersebut.
~ Dua hari sebelum puncak pujawali dilaksanakan upacara Tabuh Rah, yang merupakan salah satu rangkaian upacara bhuta yadnya dengan cara mempersembahkan darah ayam di halaman pura. Upacara ini dilaksanakan dengan cara memotong ayam dan darahnya dicecerkan di nista mandala, madya mandala dan utama mandala. Banten yang digunakan untuk upacara tabuh rah di pura ulon yaitu pejatian, canang burat wangi, canang genten, krik kramas, dan buhu.
~  Sehari sebelum Puncak Pujawali dilaksanakan upacara Melasti (Purwa Daksina) yang bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan semua pratima-pratima pura dan juga membersihkan diri semua krama dari segala kekotoran (mala) baik secara jasmani maupun rohani. Upacara ini dilaksanakan mulai pukul 08.00 pagi. Banten dan sarana yang dihaturkan untuk nyuciang pratima dipura ulon yaitu: pejatian, canang burat wangi,canang genten, canang bebaos, toya pesucian (toya cendana, toya segara, kumkuman, toya jeruk, dan toya nyuh gading), muncuk ambengan, krik kramas, buhu, tehenan, tigasan, dan solasan.
~  Dilanjutkan  pada pukul 13.00 waktu setempat yaitu sehari sebelum puncak pujawali dilaksanakan upacara mendak Ida Bhatara. Upacara ini dilaksanakan dengan ngamedalang Bhatara tirtha pada masing-masing pura, kemudian dinaikkan diatas jempana dan semuanya diarak keliling oleh semua banjar yang mengemong pura.
Banten yang digunakan dan dibawa pada waktu mendak yaitu: bayuhan panca phala, tipat kelanan, sanganan jauman, canang burat wangi, ayunan alit, canang lenga wangi, dan canang genten.
Banten yang dihaturkan bila setibanya mendak Ida Bhatara, yaitu: segehan agung, pitik selem mulus, rujak miyeh, solasan, basokan, tetabuhan (arak, tuak, berem, dan klungah nyuh gading). Banten ini akan dihaturkan diarepan candi.
~  selanjutnya pada pukul 14.00  waktu setempat, dilaksanakan upacara ngadegan Ida Bhatara di masing-masing Pura. Upacara ini di pimpin oleh seorang sulinggih dan beberapa pemangku.
~ Keesokan harinya merupakan hari puncak pujawali, dimana puncak pujawali dilaksanakan satu hari penuh. Upacara pujawali dimulai pada pukul 07.00 waktu setempat, diawali dengan ngunggahan banten pada masing-masing tempat yang telah ditentukan.  
~  Upacara Nyejer dilaksanakan tepat satu hari dan dua hari setelah puncak upacara (pujawali) yang mulai dilaksanakan pada pukul 06.00 waktu setempat.
~ Upacara Nglukar dilaksanakan tiga hari setelah pujawali. Upacara ini dilaksanakan pukul 15.00 waktu setempat yang dipimpin oleh pemangku yang telah ditunjuk. (sesuai penjelasan Jero Mangku Nengah Catra).
Beliau juga menyarankan, kalau bisa ketika upacara pujawali pura suranadi yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 september tahun ini, agar di usahakan kami dari mahasiswa STAHN Gde Pudja Mataram dapat ngaturang bakti di pura tersebut.

2.5 Banjar Pengamong Pura Suranadi
                   Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak  Wayan Nata dan petunjuk buku yang di perlihatkan oleh beliau, dapat dijelaskan bahwa meski Pura Suranadi terbagi menjadi 4 wilayah atau pura, namun pura-pura tersebut merupakan satu kesatuan. Sehingga keempat pura tersebut di among  atau urus oleh pengurus dan banjar yang sama. Pura suranadi  di among oleh 13 banjar atau kurang lebih sekitar 1.000 umat. Adapun banjar-banjar pengamong pura Suranadi antara lain:
            1. Banjar Semitha Karya Suranadi Barat
            2. Banjar Patus Suranadi Barat
            3. Banjar Muwe Desa Suranadi Barat
            4. Banjar Lempuyang Suranadi Selatan
            5. Banjar Sida Karya Suranadi Selatan
            6. Banjar Tresna Karya Suranadi Selatan
            7. Banjar Rta Tunggal Dharma Seraya
            8. Banjar Suka Karya Eyet Kandel
            9. Banjar Karya Dharma Kuang Mayung
            10. Banjar Gumang Peninjoan
            11. Banjar Sila Dharma Pemunut
            12. Banjar Sida Karya Pemunut
            13. Banjar Satya Dharma Eyet Kendel
 2.6 Renovasi  dan Pemangku Pura Suranadi
                   Berdasarkan keterangan Bapak I Putu Sueka Agung, Pura Suranadi Ulon ini sudah di renovasi sebanyak lima kali. Dimana  Pura Suranadi pertama kalinya dipugar  sekitar tahun 1720 M atas prakarsa Anak  Agung Nyoman Karang  raja di Pagesangan pada masa pemerintahan raja karangasem. Beliau adalah putra pertama I Gusti Anglurah Ketut Karangasem seorang raja yang dalam perjalanan waktu kemudian meninggalkan Puri Pagesangan menuju Bali. Pemugaran Pura dipimpin oleh Peranda Sakti Abah yang didatangkan dari Bali. Beliau adalah cicit dari Danghyang Dwijendra. Pemugaran kedua dilaksanakan sekitar tahun 1930 oleh pengelolaan punggawa cakranegara selatan. Pemugaran ketiga dilaksanakan sekitar tahun 1946, pada saat  kepengurusan pura suranadi diserahkan kepada krama pura pusat. Selanjutnya hingga saat ini kepengurusan pura suranadi diserahkan kepada umat hindu Desa Suranadi.
Adapun sumber dana yang digunakan untuk merenovasi Pura Suranadi tersebut, berasal dari tiga sumber, diantaranya:
~  Hasil plaba pura seperti hasil sawah dan tanah (hasil parkir dan  dagang yang ada di kompleks pura)
~  Dana punia dari para Bakta
~  Donatur
                   Pemangku yang ada di pura Suranadi secara keseluruhan berjumlah 8 orang, namun yang bertugas di pura Suranadi Ulon sekaligus pura Majapahit berjumlah 3 orang. Dimana pemangku-pemangku ini bertugas secara bergiliran setiap harinya. Salah satu pemangku yang bertugas di Suranadi Ulon bernama Pemangku Nengah Catra, yang menjadi narasumber ketika penelitian.

2.7  Peraturan di Pura Suranadi Ulon
~  Tidak di perbolehkan adanya hewan kaki empat masuk ke area pura, misalnya babi dan sapi.
~  Orang yang dalam keadaan cuntaka dilarang untuk masuk kepura, seperti    wanita yang sedang mengalami menstruasi, wanita melahirkan sebelum 42 hari, bayi yang belum berumur tiga bulan dan wanita Abortus selama 42 hari.
~  Dilarang melakukan perjudian diareal pura.
~ Untuk para wisatawan, wajib menggunakan pakaian (kain) yang sudah disediakan dan penglukatan oleh mangku sebelum masuk ke Utama Mandala.
~  Para wisatawan dilarang naik  dibagian Luwur/ atas, yang diperbolehkan hanyalah orang-orang yang akan maturan atau sembahyang.
 ~  Sebelum masuk ke Utama mandala, wajib melakukan penglukatan yang sudah disediakan di depan pintu gerbang di madya mandala. (keterangan dari Mangku Nengah Catra).



2.8  Struktur Kepengurus Pura Suranadi
Susunan Personalia Pengurus Krama Pura Suranadi
Periode 2012-2017
1.      Dewan Pembina
                   ~Ketua              : I Nyoman Santhi Artana.Amd.tak
                   ~Wakil ketua     : I Gusti Lanang Suniartha
                   ~Anggota          : Semua ketua banjar pengamong dan kepala dusun Hindu                       se-wilayah  Suranadi.
2.    Dewan Penasehat
                   ~ I Nengah Gatarawi.BA
                   ~ I Gede Mandia,SH.M.Ag
                   ~ I Nyoman Sumantri.SH.M.Ag
                   ~ I Nyoman Adwisana
                   ~ I Komang Srigata.SP
3.    Pengurus Harian
                   ~ Ketua                              :      I Nengah Segara Yasa
                   ~ Wakil Ketua I                 :      I Made Swastika
                   ~ Wakil Ketua II               :      I Gusti Nyoman Oka S.Ag
                   ~ Sekretaris                        :      Dewa Komang Puspa
                   ~ Wakil Sekretaris             :      I Made Sutha
                   ~ Bendahara I                    :      I Nengah Sirna
                   ~ Bendahara II                   :      I Gusti Lanang Kawiasa
4.    Seksi-Seksi
                   ~ Seksi Yadnya                 :      Ida Wayan Suarsana
                                                                     Ni Komang Purni
                                                                     Ayu Ketut Uma
            ~ Seksi Drowe                   :      I Gede Sumarda, SH.MH
                                                                     I Gusti Bagus Kaler
                                                                     Ni Made Suryaningsih
                   ~ Seksi Pembangunan       :      I Putu Sueka Agung,S.St
                                                                     I Ketut Wana Prastha
                                                                     I Wayan Dana
                   ~ Seksi Humas                   :      I Komang Asta
                                                                     I Gusti Bagus Parka
                                                                     I Gede Renawan




BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pura Suranadi berada di Dusun Suranadi Desa Selat, Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat. Dari Kota Mataram berjarak sekitar 15 Km ke arah timur laut. Dimana kata Suranadi berasal dari dua kata, yaitu "Sura" berarti Dewa dan " Nadi" berarti sungai. Dalam kamus bahasa jawa kuno disebutkan bahwa Suranadi juga berarti “Kahyangan”, tempat para dewa bersemayam.
Pura tersebut berada di empat  buah lokasi yang berbeda yaitu disebut Pura Ulon,Pura Majapahit, Pura Pengentas dan Pura Pebersihan. Meski keberadaan pura-pura tersebut berpisah namun secara fisik  merupakan satu kesatuan.  Keberadaan Pura Suranadi tidak terlepas dari Kisah perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang kedua kalinya ke tanah Lombok ini dan juga upacara pengabenan pertama di lombok sekitar abad ke-16. Di pura suranadi dikenal adanya lima macam tirta diantaranya tirta pebersihan, tirta pelukatan, tirta pengening, tirta pengebtas dan tirta tabah. Dimana tirta-tirta ini tidak hanya dapat diambil oleh orang yang berada dilombok saja namun juga orang yang berasal dari luar lombok.
Luas area Pura Suranadi ulon ini sekitar 65 Ha, yang terbagi menjadi tiga wilayah yaitu nista mandala, madya mandala dan utama mandala. Pujawali pura suranadi dilaksanakan pada purnamaning sasih ke lima yaitu sekitar bulan november. Pura suranadi memiliki 13 banjar pengamong dengan jumlah warga sekitar 1.000 jiwa. Menurut keterangan yang diperoleh, hingga saat ini pura suranadi ulon telah mengalami renovasi sebanyak lima kali.
3.2 Saran

                   Semoga dengan terbentuknya hasil makalah ini para umat Hindu khususnya di Lombok,  lebih mengenal / memperhatikan Pura-pura yang ada di Lombok ini. Karena bagaimanapun juga ini merupakan peninggalan leluhur kita, yang harus kita jaga dan kita lestarikan untuk nantinya sebgai bekal cucu kita untuk lebih bisa mengenal apa tempat suci tersebut.

SUMBER:
Pemangku Nengah Catra,18 september 2013
Bapak Nengah Segara Yasa, 18 september 2013
I Ketut Narwada ,18 september 2013
Jero Mangku Buda Arsana, 18 september 2013
Bapak  Wayan Nata,18 september 2013
Bapak I Putu Sueka Agung,18 september 2013

Senin, 27 Oktober 2014

Riwayat Perjalanan Maharsi Markandeya

A.  Silsilah Maha Yogi Rsi Markandeya
Pada zaman dahulu kala tersebutlah seorang maharsi yang bernama Rsi Markandeya. Rsi Markandeya adalah seorang Maha Yogi yang sangat utama yang berasal dari keturunan warga Bregu. Bheghawan Bregu adalah keturunan dari Hyang Jagatnatha yang bergelar Sang Hyang Ratnamaya. Beliau adalah putra dari Sang yang Tunggal yang menjaga dan menguasai dunia seluruhnya. Dikisahkan, salah satu keturunan Hyang Jagatnatha bernama Sang Hyang Rsiwu, beliau seorang Mahayogi yang amat bijaksana mempunyai putra bergelar Sang Hyang Meru.
Sang Hyang Meru mempunyai Putra Sang Ayati dan adiknya Sang Niata. Sang Ayati mempunyai putra bernama Sang Prana , dan Sang Niata mempunyai putra bernama Sang Markanda. Sang Markanda memperistri seorang gadis cantik dan sempurna bernama Dewi Manswini. Inilah yang Melahirkan Sang Maharsi Markandeya. Rsi Markandeya sangat tampan da mempunyai banyak ilmu, Lama beliau membujang dan akhirnya memperistri Dewi Dumara. Dan mempunyai putra seorang bergelar Hyang rsi Dewa Sirah. Rsi Dewa sirah memperistri Dewi Wipari. Rsi Markadeya adalah titisan Dewa Surya yang berasal dari Negara Bharatawarsa ( India). Dan Beliau berkeinginan mengembangkan ajaran Yoga beliau menuju daerah selatan India hingga akhirnya sampailah di Nusantara.

B.  Perjalanan Maharsi Markandeya di Nusantara
 Maharsi Markandeya datang kebumi nusantara pada abad ke 2 M. Beliau bertapa dilereng gunung Dieng, di jawa Tengah. Akan tetapi tiap malam beliau didatangai oleh orang-orang halus. Mereka ada yang berupa jin, setan, hantu dan sebagainya. Konon kabarnya mereka berdiam pada goa-goa, jurang-jurang yang dalam, batu-batu besar atau pohon-pohon yang besar. Semuanya datang mengganggu Sang Markhandeya bertapa. Maka terpaksalah beliau meninggalkan tempaat itu dan pergi kearah timur dan akhirnya sampai dilereng gunung Raung. Disitlah Maharsi Markandeya mulai bertapa lagi. Tak berselang lama dalam pertapaannya beliau mendapatkan wahyu berupa suara gaib dan sinar terang berderang yang terlihat di arah Timur.
Terlihatlah sederetan gunung-gunung dari barat ke timur yang berjejer berwarna hijau nan subur. Nun jauh ditimur tampaklah puncak gunung agung yang menjulang tinggi. disebut panjang (Dawa) karena berderet gunung-gunung yang memanjang dari barat ke timur, untuk membuka lahan baru. Mahayogi Markandeya dengan segera mengumumkan kepada para pengikutnya, maka sejumlah kurang lebih 8000 orang bersedia untuk hijrah ke Pulau Dawa atas saran Mahayogi untuk membuka lahan baru. Setelah perlengkapan dan perbekalan dirasakan telah siap maka berangkatlah rombongan Mahayogi Markandeya menuju pulau Dawa, rombongan ini mengalami banyak musibah, binatang-binatang buas macan, ular dan binatang buas lainnya banyak yang menerkam pengikut-pengikut Mahayogi Markandeya saat merabas hutan. Selain itu banyak pula pengikut-pengikut Mahayogi yang terserang wabah penyakit hingga banyak yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Melihat kenyataan ini, Mahayogi sangat sedih dan kecewa, pasti ada sesuatu yang kurang beres dalam misi ini. Akhirnya Mahayogi memutuskan untuk kembali ke Gunung Rawung bersama pengikut-pengikutnya yang masih tersisa. Sesampainya di Gunung Rawung Jawa Timur, Mahayogi Markandeya bertapa kembali untuk memohon petunjuk kepada hyang kuasa. Setelah selesai bertapa beliau kembali memberitahukan kepada pengikut-pengikutnya tentang rencana untuk kembali ke pulau Dawa. Kali ini beliau mengikutsertakan para Yogi lainnya. Untuk keberangkatan yang kedua kalinya, telah terkumpul orang-orang yang sebagian besar dari desa Aga yang berjumlah kurang lebih 400 orang lengkap dengan alat pertanian termasuk sejumlah bibit sarwapala yang dibawa untuk pembukaan lahan baru. Setibanya di pulau Dawa dan sebelum merabas hutan, diadakan upacara yang dipimpin oleh Mahayogi Markandeya beserta para Panditha, Rsi dan para Yogi lainnya. Upacara ini memohon kepada Tuhan dan Ibu Pertiwi agar diperkenankan untuk mengolah lahan yang akan dijadikan pertanian. Tak lupa pula dimohonkan agar wabah penyakit dan binatang-binatang buas tidak menjadi kendala untuk misi ini.
Setelah upacara yang dilakukan oleh Markandeya bersama orang-orang Desa Aga selesai, maka dilanjutkan dengan prosesi penanaman sarana yang disebut Pancadatu (liam jens logam, yaitu: perak, tembaga, emas, besi, dan timah, disertai pula permata mirah). Sebagai simbol kelima unsur elemen agar pengolahan lahan baru ini berjalan lancar. Mahayogi Markandeya memberi nama “Basuki” pada penanaman Pancadatu tersebut, karena Basuki memiliki arti Rahayu atau selamat. Akhirnya saat ini nama Basuki itu dikenal dengan nama Desa Besakih di lereng Gunung Agung. Disaat Mahayogi membagi-bagikan sawah dan ladang kepada para pengikutnya, maka tempat tersebut diberi nama “Desa Puwakan” (puwakan=pembagian).
Di tempat dimana Mahayogi beryoga disebut Desa Payogan, Campuan, Ubud. Selanjutnya di Desa Taro (Taro=Taru, Taru =Kayu, Kayu berarti Kayun, Kayun = keinginan, dalam hal ini berarti memiliki keinginan suci dan berpikiran suci) yang artinya sang Yogi mengajarkan ajaran dan pikiran suci. Selanjutnya orang desa Aga disebut Bali Aga yang berarti orang-orang dari desa Aga yang melakukan wali=kurban suci. Semenjak itu pulau Dawa dikenal dengan nama pulau Wali/Bali. Mahayogi Markandeya pun mengajarkan sistem bertani yang dikenal dengan sistem “subak” dan mengajarkan sistem bermasyarakat yaitu adat Banjar, Pekasehan, dan tugas serta kewajiban masing-masing. di tempat dimana beliau mengajarkan agama, akhirnya dikenal dengan sebutan “Desa Payangan” (Payangan berasal dari kata Parahyangan yang berarti para dewata). Di kemudian hari, dimana tempat tinggal beliau, didirikan pura Taro, di desa Besakih juga didirikan Pura Besakih.
Demikian kisah Mahayogi Markandeya di tahun 158 Masehi yang membawa para pengkutnya dari Gunung Rawung dan desa Aga, Jawa Timur ke pulau Dawa untuk membuka lahan baru hingga pulau ini dikenal dengan nama pulau Bali yang terkenal dengan pura Besakihnya dimana beliau menanamkan pancadatu untuk memulai merabas hutan yang nantinya menjadi lahan pertanian dan perladangan untuk mengisi kehidupan pada pulau ini. Karena pulau ini telah lama kosong semenjak penduduk asli Bali yang hidup di zaman raja Bali yang pernah bertemu dengan Mahayogi cebol yang bernama Wamana, yang mana atas permintaan sang Wamana meminta 3 langkah kaki sebagai wilayahnya, akhirnya raja Bali beserta rakyatnya harus menuju ke alam bawah yang disebut patala. Pada zaman Ramayana, Sugriwa pernah mengirim pasukannya untuk mencari Dewi Sitha hingga ke pulau “Narikel” yang artinya kepulauan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa (Sunda Kelapa = Sumatra, Jawa, Madura, dan Bali). Yang ditemukan hanyalah saksi-saksi bisu di masa raja Bali. Namun berkat kedatangan Mahayogi Markandeya beserta pengikutnya, maka pulau ini hidup kembali dan dikenal dengan nama pulau Bali.



C.  Jejak perjalanan Rsi Markandeya di Tanah Lombok
Setelah memastikan pulau Bali merupakan titik sinar yang beliau lihat pada waktu bersemedi di Gunung Raung Jawa. Maka untuk memastikan suatu saat nanti di masa depan pulau Bali akan tetap menjadi pulau yang suci, maka Ida Maharsi Markandeya berusaha melindungi pulau Bali dengan cara memagari pulau Bali dengan sinar-sinar suci. Proses pemagaran pulau Bali ini terkait dengan penanaman panca datu di beberapa pulau yang mengelilingi pulau Bali. Tujuan dari penanaman panca datu di pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali ini adalah dengan tujuan jikalau suatu saat sinar kesucian pulau Bali mulai meredup akibat pola prilaku sekala-niskala dari penduduk Bali yang mulai tidak sesuai dengan kaidah Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita Karana maka sinar-sinar suci dari pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali inilah yang akan memberikan sokongan energi supaya energi kesucian pulau Bali tetap terjaga.
Singkat cerita, dalam tulisan ini penulis memfokuskan pada perjalanan Ida Maharsi Markandeya ke tanah Lombok dalam rangka menanam panca datu dan dalam rangka menandai titik-titik spiritual di tanah Lombok yang suatu saat akan menjadi sumber energi spiritual yang bukan hanya akan menjaga keseimbangan pulau Lombok dan sekitar akan tetapi juga akan menjadi cadangan energi spiritual untuk pulau Bali jikalau pulau Bali sudah mulai kotor.
Jejak perjalanan Ida Maharsi Markandeya ditanah Lombok diawali lewat Nusa Penida. Setelah menandai titik-titik spiritual di Nusa Penida seperti Puncak Mundi, Puncak Tunjuk Pusuh, Puncak Tinggar, Dalem Ped, Giri Putri, Sekar Taji dll, Ida Maharsi Markandeya melanjutkan perjalanan beliau ke pulau Lombok. Di pulau Lombok ini beliau pertama kali beryoga semadi di puncak Gunung Sari (sekarang menjadi lokasi pura Gunung Sari, Lombok), disini Ida ditemani oleh putun Ida yang bernama Ratu Ayu Manik Tirta Mas.
Kemudian setelah itu beliau beryoga semadi di puncak Baliku (sekarang menjadi lokasi pura Puncak Baliku), disini Ida ditemani oleh istri beliau yang bernama Ida Ratu Niang Sarining Suci. Setelah itu beliau lanjut menandai titik Gunung Pengsong.
Di Gunung Pengsong beliau bertemu dengan seorang wanita cina yang jaman sekarang dikenal dengan Ida Ratu Niang Gunung Pengsong atau ditanah Bali dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Di Gunung Pengsong ini Ida Hyang Maharsi Markandeya melakukan kawin kesaktian dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Jadi selama bertapa di Gunung Pengsong ini Ida Maharsi Markandeya ditemani oleh Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Tempat pertapaan beliau ini yang pada jaman sekarang ini menjadi cikal bakal Pura Puncak Gunung Pengsong. Taksu hasil kawin kesaktian dari Ida Maharsi Markandeya dan Ida Hyang Dewi Anjani di Gunung Pengsong ini merupakan taksu kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Setelah menyelasaikan proses pembangkitan sinar suci di Gunung Pengsong kemudian Ida Maharsi Markandeya ditemani dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani melanjutkan perjalanan ke Puncak Gunung Rinjani. Di Puncak Gunung Rinjani ini Ida Maharsi Markandeya mengumpulkan energi dari semua titik sinar suci di pulau Lombok yang suatu saat jika diperlukan akan dikirim ke pulau Bali untuk menjaga kesucian pulau Bali. Di puncak Gunung Rinjani ini Ida Hyang Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar kesucian yang beliau dapat di pulau Lombok. Akibat dari hasil penunggalan semua sinar suci pulau Lombok ini maka di Puncak Gunung Rinjani, Ida Betara Lingsir Maharsi Markandeya dikenal dengan Ida Hyang Lingsir Maharsi SUKMA JATI. Setelah Ida Maharsi Markandeya merasa cukup membangkitkan titik kesucian pulau Lombok, kemudian beliau berencana melanjutkan perjalanan meninggalkan pulau Lombok menuju Gunung Tambora. Untuk tetap menjaga kesucian pulau Lombok khususnya setelah ditinggalkan oleh beliau maka Tongkat Komando Penguasa pulau Lombok diserahkan kepada Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Karena tugas yang maha berat ini kemudian Ida Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar suci yang telah dikumpulkan selama masa pertapaan Ida dan Hyang Dewi Anjani dari pertapaan di Gunung Pengsong sampai puncak Gunung Rinjani.
Hasil penunggalan /pemurtian sinar suci ini kemudian menyebabkan Ida Hyang Betari Dewi Anjani bergelar IDA HYANG BETARI AMBUN JAGAT. Gelar ini mencerminkan bahwa Ida Hyang Betari Dewi Anjani adalah pengayom dan pelindung jagat Lombok dan sekitarnya. Sehingga sampai saat ini yang diyakini berstana dan merupakan betara lingsir puncak Gunung Rinjani Lombok adalah Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Sepeninggal Ida Maharsi Markandeya, suatu saat ratusan tahun kemudian atas petunjuk spiritual yang diberikan oleh Ida Maharsi Markandeya, datanglah murid spiritual beliau yaitu Ida Hyang Mpu Siddhimantra bertapa di puncak Gunung Rinjani untuk melanjutkan tugas Ida Maharsi Markandeya. Jadi di atas puncak Gunung Rinjani secara garis besar terdapat tiga Ida Betara Lingsir yang menjadi pengayom dan penjaga kesucian Gunung Rinjani yaitu : Ida Hyang Lingsir Maharsi Sukma Jati yang merupakan penunggalan dari Ida Maharsi Markandeya, Ida Hyang Betari Lingsir Ambun Jagat yang merupakan penunggalan dari Ida Hyang Betari Dewi Anjani dan Ida Hyang Mpu Siddhimantra sebagai pelaksana teknis dari Gunung Rinjani.
Setelah menyelesaikan penandaan dan pembangkitan sinar-sinar suci di pulau Lombok kemudian Ida Hyang Maharsi Markandeya berdasarkan petunjuk yang didapat di puncak Gunung Rinjani kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Tambora. Berdasarkan petunjuk yang didapat dari puncak Gunung Rinjani, meskipun Gunung Tambora tidak berbatasan langsung dengan pulau Bali, akan tetapi jika tidak ditandai dan dibangkitkan sinar sucinya maka Gunung tersebut suatu saat akan bisa menghancurkan pulau Bali, ini terbukti dengan terjadinya letusan paling dasyat di muka bumi ini yaitu pada tahun 1881 dimana efeknya ikut meluluhlantakan kehidupan di Bali.
Singkat cerita Ida Maharsi Markandeya sampai ke puncak Gunung Tambora, disini beliau bertemu dengan seorang wanita yang nantinya akan menjadi istri beliau di puncak Gunung Tambora beliau bernama Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan. Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan sepeninggal Ida Maharsi Markandeya dari puncak Gunung Tambora, kelak kemudian hari juga dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Bhujangga Suci. Atas tugas dari alam semesta untuk melindungi Gunung Tambora, sehingga ditempat ini Ida Maharsi Markandeya menanam pancer berupa manik-manik yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan Gunung Tambora. Atas tugas inilah alam semesta memberi gelar Ida Betara Lingsir Pancer Manik Tunggul kepada Ida Maharsi Markandeya sebagai Betara Lingsir Puncak Gunung Tambora.
Sama seperti Ida Hyang Mpu Siddimantra yang dipanggil oleh Guru Niskala Ida yaitu Ida Hyang Maharsi Markandeya untuk melanjutkan menjaga kesucian puncak-puncak di tanah Lombok maka sama seperti halnya Ida Hyang Maharsi Madura. Ida Maharsi Madura dipanggil ratusan tahun berikutnya ke tanah Lombok untuk melanjutkan tugas Maharsi Markandeya untuk menjaga kesucian pulau Lombok. Akan tetapi, Ida Maharsi Madura dalam kapasitas sebagai Ida Rsi Dalem Segara, hanya ditugaskan untuk menjaga kesucian laut Lombok. Titik yang dipilih oleh Ida Rsi Madura dalam mendoakan dan menjaga kesucian laut-laut di pulau Lombok, pada jaman sekarang ini dikenal dengan Pura Batu Bolong. Setelah jaman Ida Maharsi Markandeya, Ida Mpu Siddimantra dan Ida Maharsi Madura barulah ratusan berikutnya datang Ida Peranda Sakti Wawu Rauh atau yang nantinya di Lombok dikenal dengan Tuan Semeru. Ida Peranda Sakti tidak dapat napak puncak-puncak di Lombok, akan tetapi beliau napak di puncak Gunung Tambora. Disinilah beliau mendapat julukan Tuan Semeru. Mudah-mudahan dengan cerita di atas dapat membuka wawasan berpikir saudara-saudara di Bali akan jejak perjalanan para pendeta ditanah Lombok beserta dengan titik-titik napak tilasnya.

D.  Tempat Suci Peninggalan Rsi Markandeya

1.    Pura Besakih
Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula lokasi pura ini merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Hingga sekarang komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih.
2.    Pura Pucak Cabang Dahat.
 Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.
3.    Pura Gunung Raung
Pura ini sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali.

4.    Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar.