BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Istilah
Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu, tampaknya
berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah Pura yang
berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah
arti menjadi tempat pemujaan Sang Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata
Pura untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan
atau Hyang. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berhubungan dengan
Ketuhanan. Pura banyak didirikan didaerah-daerah setempat, untuk dijadikan
tempat pemujaan bagi umat hindu seperti di daerah lombok terdapat banyak
pura-pura yang telah didirikan oleh umat hindu, salah satu pura yang didirikan
adalah Pura suranadi.
Pura Suranadi adalah pura
yang terdapat dilokasi wisata Suranadi, pura ini merupakan sarana aktivitas
ritual keagamaan yang dikelilingi oleh alam yang masih asri, namun pura ini
juga memiliki beberapa pura yang berpola menyebar, diantaranya adalah pura pembersihan,
pura ulon, pura pengentas, dan pura majapahit. Sesuai dengan keberadaan sumber
mata air suci yang terdapat di kawasan setempat. Meskipun terpisah secara
fisik, dari segi rangkaian kegiatan ritual, Pura Suranadi merupakan satu
kesatuan. Keberadaan pura Suranadi erat kaitannya dengan 5 mata air yang di sebut dengan Panca Tirta. Kelima mata
air (panca tirta) tersebut adalah tirta pembersihan, tirta panglukatan, tirta
pengening (Petirtan), tirta pengentas danToya tabah.
Suranadi sendiri berasal dari
kata Sura yang berarti dewa dan nadi yang berarti sungai. Konon, dalam kamus
bahasa Jawa kuno, Suranadi juga berarti kahyangan. Menurut catatan sejarah,
mata air di Pura Suranadi terbentuk pada abad XVI ketika seorang India yang
bernama Dang Hyang Nirata berkunjung ke pulau Lombok untuk menyebarkan agama
Hindu. Setelah lelah menempuh perjalanan yang panjang, beliau beristirahat di
Suranadi yang saat itu masih berupa hutan lebat yang dipenuhi satwa liar.
Ketika itu, beliau menancapkan tongkat saktinya ke lima titik dan menyemburlah
air dari tempat dimana tongkatnya ditancapkan dan sampai sekarang menjadi mata
air tempat masyarakat mengambil air untuk upacara keagamaan Hindu.
Inilah yang melatar belakangi
penulis untuk meneliti dan membuat makalah mengenai Pura Suranadi khususnya di
Pura Suranadi Ulon tersebut, dimana
dipura ini memiliki sejarah yang sangat sakral sehingga membuat penulis menjadi
tertarik untuk mengetahuinya.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah dan struktur bangunan pura
Suranadi Ulon?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini
antara lain:
1. Untuk
memberikan pemahaman dan gambaran mengenai sejarah pura suranadi.
2. Untuk
mengetahui nama dan fungsi dari pelinggih- pelinggih pura suranadi khususnya di
Pura Suranadi Ulon tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pura Suranadi Ulon
Pura
Suranadi berada di Dusun Suranadi Desa Selat, Kecamatan Narmada Kabupaten
Lombok Barat. Dari Kota Mataram berjarak sekitar 15 Km ke arah timur laut. Pura
tersebut berada di tiga buah lokasi yang berbeda yaitu disebut Pura Ulon,Pura
Majapahit, Pura Pengentas dan Pura Pebersihan. Lokasi Pura-pura ini dikelilingi
oleh hutan wisata, persawahan, jalan raya, tempat berjualan dan penginapan.
Terletak pada ketinggian 256 meter di atas permukaan laut.Secara etimologis, Suranadi berasal dari kata
“sura” (dewa) dan “nadi” (sungai).Dalam kamus bahasa jawa kuno disebutkan bahwa
Suranadi juga berarti “Kahyangan”, tempat para dewa bersemayam. (http://vhaulva.blogspot.com/2012/03/taman-suranadi.html)
Berdasarkan hasil wawancara dengan Pemangku Nengah Catra pada hari Rabu,
18 september 2013, beliau menceritakan bahwa keberadaan Pura Suranadi tidak
terlepas dari Kisah perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang kedua kalinya ke tanah
Lombok ini dan juga upacara pengabenan pertama di lombok sekitar abad ke-16.
Di ceritakan
pada waktu Danghyang Dwijendra datang pertama kali ke Lombok, dijumpai oleh Beliau adanya orang-orang Bali atau
“Baliage” yang berdomisili di Dusun Medayin. Mereka telah memuja Bhetara Gede
Muter Jagat. Atas permohonan orang-orang yang tinggal di Medayin itu maka Sang
Bethara menganugrahi mereka untuk berpindah tempat dari Medayin ke suatu tempat
yang terletak di sebelah utara dan di sebelah barat sebuah sungai. Tempat yang
baru itu diberi nama Karang Medain.
Pada suatu
hari Mpu Dwijendra melintas di Karang Medain
dan bertemu dengan salah seorang
penduduk bernama I Gede Butaq. Dia itu sedang mempersiapkan tempat kremasi
mayat pamannya yang bernama I Gede Batuhu yang meninggal tadi malamnya. Mpu
Dwijendra memberikan petunjuk kepada I Gede Butaq bahwa hari ini tidak baik
untuk membakar mayat maupun Ngaben,
tetapi yang baik adalah lima hari lagi
dari sekarang, tepatnya pada hari Wrespati Pon wuku Uye tanggal ping tigabelas
purnamaning ke-dasa. Sang Mpu akan diminta untuk Muput atau menuntaskan upacara
tersebut. I Gede Butaq juga memperkenalkan sanak saudara yang lain kepada Dang
Hyang Dwijendra. Disebutkan bahwa ayahnya bernama I Gede Pageh yang berstatus
Bendesa Banjar, bersaudara dengan I Gede Batuhu yang berstatus Kliang Banjar.
Sedangkan Gede Batuhu berputra bernama I Wayan Para.
Tepat pada
hari yang disepakati I Gede Butaq bersama I Wayan Para datang menjemput Mpu
Dwijendra di Asramanya di Dasan Agung. Tetapi ternyata Sang Mpu telah pergi
meninggalkan Asrama berjalan menuju kearah utara timur. Atas petunjuk seorang
warga sasak maka I Gede Butaq dan I Wayan Para berusaha mengejar Sang Mpu yang
baru saja berjalan ke arah timur. Setelah berjalan cukup jauh akhirnya di
sebuah hutan mereka menjumpai Mpu Dwijendra sedang duduk di atas batu di bawah
pohon beringin. Setelah I Gede Butaq menyampaikan maksudnya seraya mengingatkan
tentang kesepakatan mereka ternyata Beliau mengaku lupa sambil mengatakan bahwa
kejadian ini memang kehendak dari Yang Maha Kuasa.
Mpu Dwijendra selanjutnya menunjuk pohon bambo
dan menyuruh I Gede Butaq dan I Wayan Para membuat empat buah Bumbung (yaitu
buluh bambo yang dipotong untuk tempat menampung sesuatu). Setelah ke empat
Bumbung selesai dibuat, maka Mpu Dwijendra berdiri seraya mengambil tongkat.
Sang Mpu kemudian menancapkan tongkatnya ke tanah. Setelah beberapa saat
tongkat itu dicabut maka keluarlah air yang meluap-luap bahkan sampai mancur. I
Gede Butaq disuruh mengambil air tersebut dengan salah satu bumbung yang telah
disiapkan tadi. Mpu Dwijendra menyuruhnya untuk memberi tanda dengan helai daun
kayu, lalu bersabda bahwa air itu bernama “Tirtha Pebersihan”. Dan sekarang
kita mengenal dengan Nama pura Pembersihan.
Danghyang Dwijendra kemudian berjalan ke arah
timur diiringi oleh I Gede Butaq dan I Wayan Para. Setelah berjalan kurang
lebih lima puluh Depa, karena pada saat itu tidak ada meteran. Selanjutnya
Beliau menancapkan kembali tongkatnya seperti tadi maka keluarlah air yang
meluap-luap. Danghyang Dwijendra memberi tahu bahwa air tersebut bernama
“Tirtha Pelukatan”.
Danghyang Dwijendra kemudian
berjalan ke arah timur laut sampai sekitar lima Depa barulah melakukan hal yang
sama yaitu menancapkan tongkatnya maka keluarlah air mencirat bersuara gemuruh.
Beliau memberi tahu mereka berdua bahwa air itu bernama “Tirtha” yang
selanjutnya disebut “Tirta Gamana”. Hingga sekarang tempat munculnya tirta
pelukatan dan tirta Gamana ini di beri nama pura Suranadi Ulon.
Setelah itu
Danghyang Dwijendra berbalik jalan ke arah barat daya kurang lebih sejauh lima
belas Depa. Beliau kembali menancapkan tongkatnya maka keluarlah air yang
kemudian diberi nama “Tirtha Pengentas dan Toya Tabah. Jadi di Pura Pengentas
ini di temukan dua macam tirtha yaitu tirtha pengentas dan toya Tabah,
Dijelaskan oleh Beliau bahwa “Tirtha Pengentas” digunakan untuk upacara “Pitra
Yajna” yang bertujuan supaya Sang Atma (arwah) yang diupacarakan tersebut
berhasil menemukan jalan menuju asalnya. Sedangkan Toya Tabah digunakan untuk
pemuput upacara Pitra yadnya, yang di Bali dikenal dengan nama Tirta Penembak.
Sang Mpu menjelaskan kembali kegunaan Tirtha
yang lainnya. “Tirtha Pebersihan” digunakan untuk menghanyutkan Mala atau
kekotoran yang berasal dari luar diri atau luar badan agar menjadi suci.
“Tirtha Pelukatan” digunakan untuk menyapu Mala yang ada di dalam diri yaitu
enam musuh dalam diri yang disebut Sad Ripu. Sedangkan Tirtha Gamana digunakan
untuk menguatkan Sraddha, membuang pikiran negative dan memerangi tujuh macam
kegelapan yang disebut “Sapta Timira”.
Selanjutnya Mpu Dwijendra bersabda : “ Nah
sekarang, hutan ini Mpu beri nama Suranadi”. Sura berarti orang yang telah
berhasil melaksanakan Yoga Jnana atau dapat juga diartikan "Dewa".
Nadi berarti orang yang menebar kesucian
atau juga dapat diartikan "Sungai". Setelah itu I Gede Butaq dan
sepupunya disuruh segera pulang. Akhirnya kedua saudara sepupu ini segera kembali
ke Karang Medain.
I Gede Butaq dan I Wayan Para dengan membawa
empat buah bumbung berisi Tirtha yang
ditutup daun paku telah sampai di Karang Medain. Kemudian menjumpai bapaknya
yaitu I Gede Pageh yang statusnya Bendesa Banjar. Kepada bapaknya diceritakan
bagaimana sampai memperoleh empat bumbung
Tirtha. I Gede Pageh akhirnya
memanggil sekalian Sekaha Banjar termasuk kepada I Ketut Kayun sebagai
pemegang Awig-awig atau peraturan. Kepada warga banjar
disampaikanlah apa yang disebut “Tirtha” yang diciptakan Mpu Dwijendra alias
Ida Bhetara Sakti Waurauh yang berada di
Suranadi. Pemberian Tirtha dari tengah hutan itu digunakan sebagai dasar agama untuk memberi penerangan kepada
diri sendiri sehingga dinamakan “Gama Tirtha oleh Mpu Dwijendra bagi warga
Baliage di Karang Medain.
Setelah Danghyang Dwijendra selesai membuat
mata air suci atau Petirthan di Suranadi maka Beliau melanjutkan perjalanan ke
arah utara. Beliau akhirnya menginap di suatu tempat yang kemudian diberi nama
“Majapahit”. Beliau menginap ditempat itu selama sebelas hari. Kemudian Beliau kembali melakukan perjalanan
kearah utara menuju daerah Bayan. Di sana beliau mengajarkan warga masyarakat
tentang ajaran Wetu Telu.
2.2 Nama-Nama
Pelinggih di Pura Suranadi Ulon
Pura
Ulon berada disebelah timur dan tepatnya disebelah timur jalan raya dan berbatasan
dengan kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam disebelah utara dan timur pura.
Pura ini menghadap kebarat. Luas area pura Suranadi Ulon secara keseluruhan
sekitar 65 Ha, (berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Nengah Segara Yasa selaku ketua pengurus Krama Pura
Suranadi).
Pura Suranadi Ulon ini terbagi menjadi tiga area, yaitu
nista mandala, madya mandala dan utama mandala.
A. Utama
Mandala,terdiri dari:
1.
Padmasana
yaitu sebagai tempat berstananya Sanghyang widhi Wasa dengan berbagai manifestasinya.
Bangunan ini memiliki tinggi sekitar tujuh meter. Dimana semau motif bangunan ini berwarna hitam.
2.
Palinggih Penyungsungan Bhatara Gede Gunung
Rinjani. Palinggih ini berada diatas bataran bertangga sembilan, yang diapit
oleh palinggih padmasana dan palinggih ngerurah. Bangunan ini memiliki
ketinggian sekita empat meter dengan strukturnya terdiri atas dasar,badan dan
puncak. Bagian dasar berbentuk segi empat terbuat dari bata dan pasir semen
yang dicetak dengan hiasan dua buah ekor naga sebagai bibir tangga, serta
beberapa hiasan lainnya. Bagian badan terdiri atas kayu yang bertiang enam
dengan altar singgasana pada bagian atasnya. Puncak terdiri atas kerangka kayu
berbentuk limas dengan beratap ijuk. Bangunan palinggihnya hampir keseluruhan
berwarna hitam, yakni simbol Dewa Wisnu, sebagaimana diketahui bahwa wujud
beliau sebagai Dewa air dan dewa pemelihara. Demikian pula hutan suranadi
adalah sebagai pusat mata air yang jumlahnya sangat banyak.
3.
Palinggih Pengelurah , fungsinya sebagai tempat pemujaan brtara-betara pengiring atau
manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.Palinggih ini berada di sebelah selatan
palinggih Betara Gede Gunung Rinjani. Palinggih ini memiliki tinggi sekitar 3
meter.
4.
Palinggih Betara Ayu Mas Melanting berfungsi
sebagai tempat pemujaan betara ayu mas melanting. Pemujaan terhadap Betara Ayu
Mas Melanting bermakna untuk memohon penghidupan yang baik terutama dalam hal
rejeki agar selalu dimudahkan untuk memperolehnya. Umat hindu yang mengharapkan
rejeki dari berjualan di lingkungan pura suranadi dapat melaksanakan pemujaan
pada palinggih ini agar diberi kemudahan dalam mencari rajeki.
Bangunan ini memiliki panjang sekitar 2 meter, lebar 2
meter dan tinggi 3 meter, dengan dasar berupa bataran agak lebar. Pada atas
bagian badan terdapat altar berbentuk empat persegi dan diatasnya terdapat dua
buah tawulan (batu lonjong berdiri). Tawulan sebagai pratima itu dibungkus
masing-masing dengan kain warna putih dan kuning. Bangunan puncaknya berupa
kerangka berbentuk limas dengan atap genteng. Bagian dasarnya berupa teras yang
telah dikeramik biasanya sebagai sebagai tempat sesajen.
5.
Gedong Penyimpenan berfungsi sebagai tempat
pempat menyimpan segala peralatan yang digunakan pada saat persembahyangan atau
pujawali, seperti wastra dan sebagainya. Bangunan ini berada disebelah selatan.
Bangunan ini merupakan bangunan berdinding yang mempunyai teras dan di depan
bangunan terdapat dua buah tiang serta beratapkan genteng.
6.
Bale Pengaruman / bale pelik, berada di utara
pelinggih tirta pelukatan. Bale ini berfungsi sebagai tempat bermusyawarahnya
para dewa.
7.
Pesimpangan tirta pelukatan. Sebelum nunas/
mengambil tirta pelukatan ini, biasanya terlebih dahulu nunas lugra dengan
ngunggahan canang atau banten di palinggih ini.
8.
Tirta pelukatan. Tirta ini biasanya digunakan untuk melukat seseorang
dengan tujuan agar dapat membersihkan segala kekotoran yang ada pada dirinya
baik secara jasmani maupun rohani.
9.
Bale pewedaan pemangku, digunakan sebagai tempat
pewedaan oleh jero mangku saat muput persembahyangan atau upacara yadnya.
10.
Pesimpangan tirta pengening. Palinggih ini
berfungsi sebagai tempat mohon lugra / permisi sebelum mengambil tirta
pengening. Bangunan ini terletak berdekatan dengan tirta pengening.
11.
Tirta pengening, biasanya digunakan
saat puncak upacara, sebagai prasadam
dan diberikan kepada peserta upacara sebagai tirta wasuh paddya.
12.
Bale banten dan pewedaan pedanda. Bale banten
berfungsi segai tempat untuk menyimpan banten dan segala sarana upacara. Di
belakang bale banten terdapat bale tempat pewedaan pedanda yang sedang memimpin
pelaksanaan upacara yadnya.
13.
Bale peteduh (tempat istirahat). Bale ini
berbentuk persegi panjang, memiliki enam tiang dan beratap genteng. Bangunan
ini biasanya digunakan sebagai tempat beristirahat jero mangku yang bertugas.
B. Madya
Mandala, terdiri dari:
1.
Kori Agung serta pelinggih apit lawang. Kori
agung ini merupakan pembatas antara madya mandala dengan utama mandala. Kori
agung ini hanya di buka pada saat pujawali saja. Sedangkan pelinggi apit lawang
ini sebai tempat para penjaga atau prajurit di pura tersebut.
2.
Bale Pekemitan.
Diarea madya mandala ini terdapat dua bale pekemitan. Yang satu berada
di sebelah selatan dan yang satu lagi berada disebelah utara. Bale pekemitan
ini biasa digunakan oleh warga untuk beristirahat atau melaksanakan pekemitan
baik pada hari pujawali maupun hari-hari suci lainnya.
3.
Pos penjaga. Bangunan ini terletak di dekat
pintu masuk madya utama. Pos ini berfungsi sebagai tempat peminjaman selendang
atau kain bagi tamu wisatawan.
C. Nista
Mandala
1.
Bale Pesamuan, biasanya digunakan sebagai tempat
mengadakan rapat dan kegiatan
masyarakat, seperti pegelaran tari-tarian dan sebagainya. Menurut keterangn
narasumber ( putu Sueka agung ) dalam waktu dekat ini bale pesamuan tersebut akan
direnovasi menjadi bangunan serba guna yang memakai motif bangunan bali.
2.
Bale Kulkul, berada di bagian pojok utara nista
mandala berdekatan dengan kantor sekretariat. Kulkul ini biasa dibunyikan saat
ada pemberitahuan rapat atau saat pelaksanaan pujawali.
3.
Kantor sekretariat merupakan kantor yang
digunakan sebagai sekretariat oleh pengurus pura suranadi tersebut. (jero mangku nengah catra, 18 september 2013)
2.3
Fungsi Panca Tirtha
Hasil
wawancara dengan jero mangku I Ketut
Narwada dan Jero Mangku Buda Arsana,18 september 2013. Panca Tirtha artinya
lima buah mata air dalam rangka upacara
yajna. Panca Tirtha terdiri dari mata air Petirthan, mata
air Pelukatan, mata
air Pengentas, mata air Tabah dan mata air Pebersihan. Kaitan dengan pelaksanaan upacara agama maka
air berfungsi dan bermakna sebagai sarana persembahan yang disebut dengan air
suci, yang sering juga dikenal dengan istilah Toyam. Lebih lanjut dijelaskan,
Toyam atau Toya merupakan air suci yang dipergunakan sebagai sarana persembahan
atau sarana upacara yang memiliki kekuatan magis selanjutnya lebih dikenal
dengan nama Tirtha. Dalam kaitan ini yang digunakan Tirtha tersebut bersumber
dari mata air Petirthan.
~ Tirtha Pelukatan berasal dari
mata air Pelukatan bermakna untuk
membersihkan dan menyucikan rohani manusia yang akan melaksanakan upacara.
~ Tirtha Pengening (petirtan) dipergunakan
saat puncak upacara, sebagai prasadam
dan diberikan kepada peserta upacara sebagai tirta wasuh paddya.
~Tirta Pebersihan bermakna untuk
membersihkan dan menyucikan jasmani manusia yang akan melaksanakan upacara yang
berasal dari mata air Pebersihan
~Tirtha Pengentas berasal dari mata air
Pengentas bermakna untuk memberi bimbingan jalan bagi sang Roh agar lancar
melewati alam Niskala.
~ Toya Tabah sama dengan Tirtha Penembak yaitu bermakna
untuk muput upacara Pitra Yajna. Penembak juga bermakna sebagai bekal sang Roh agar tidak
kehausan di perjalanan, dan sebagai pengganti darah yang mengandung dosa dan
kegelapan menjadi bersih oleh sinar Sang Hyang Widhi.
Selain itu Jero Mangku Nengah Catra ketika di
wawancara juga menjelaskan bahwa untuk kegiatan upacara Dewa dan Manusia Yadnya
hanya dibutuhkan empat macam tirtha yaitu tirta Tabah, tirta Pebersihan, tirta
Pengening (Petirtan), dan tirta Pelukatan.
Sedangkan untuk upacara pitra
yadnya di butuhka lima macam tirta (panca tirta) yaitu tirta tabah, tirta
pebersihan, tirta pelukatan, tirta pengening
(petirtan) dan tirta pengentas. Bebten yang digunakan untuk nunas tirta
disesuaikan oleh kemampuan yang bersangkutan, apabila tidak bisa membuat banten
yang besar, dengan canang sari saja sudah cukup. Beliau juga menjelaskan, panca
Tirta ini tidak hanya di ambil oleh orang-orang lombok saja, namun juga diambil
oleh orang-orang dari luar seperti dari bali, jawa bahkan seluruh Indonesia
dapat mengambilnya.
2.4 Pujawali Pura Suranadi
Berdasarkan
hasil wawancara tanggal 18 September 2013, Pujawali Pura Suranadi ini
dilaksanakan pada purnamaning sasih ke-lima yang pada tahun ini jatuh pada
bulan November, tepatnya pada tanggal 17 November 2013.Rangkaian pujawali mulai
dari awal sampai penutupan upacara pujawali dilaksanakan selama sepuluh hari. Pujawali pura-pura ini di laksanakan secara
bersamaan pada hari yang sama.
Adapun prosesi Pujawali ini di
laksanakan dengan beberapa rangkaian upacara,diantaranya:
~
Enam Hari sebelum hari pujawali dilaksanakan upacara Nuhur tirtha Ida Bhatara Gunung Rinjani. Banten untuk nuhur Ida Bhatar
Gunung Rinjani dibawa dari Pura Suranadi Ke Gunung Rinjani terdiri atas,
pejatian, canang burat wangi, canang bebaos,canang genten, krik kramas,buhu dan
tehenan. Bnaten tersebut akan dihaturkan pada masing-masin palinggih yang ada
disana.
~ Tiga hari sebelum pujawali, yaitu balik dari
Gunung Rinjani mundut (membawa ) Tirtha Betara Gunung Rinjani tersebut yang
kemudian dilinggihkan di Pura Majapahit. Setelah Tirtha tersebut di linggihkan
maka diadakannya pekemitan yang dilaksanakan oleh banjar-banjar pengamong pura
Suranadi tersebut.
~
Dua hari sebelum puncak pujawali dilaksanakan upacara Tabuh Rah, yang merupakan
salah satu rangkaian upacara bhuta yadnya dengan cara mempersembahkan darah
ayam di halaman pura. Upacara ini dilaksanakan dengan cara memotong ayam dan
darahnya dicecerkan di nista mandala, madya mandala dan utama mandala. Banten
yang digunakan untuk upacara tabuh rah di pura ulon yaitu pejatian, canang
burat wangi, canang genten, krik kramas, dan buhu.
~ Sehari sebelum Puncak Pujawali dilaksanakan
upacara Melasti (Purwa Daksina) yang bertujuan untuk membersihkan dan
menyucikan semua pratima-pratima pura dan juga membersihkan diri semua krama
dari segala kekotoran (mala) baik secara jasmani maupun rohani. Upacara ini
dilaksanakan mulai pukul 08.00 pagi. Banten dan sarana yang dihaturkan untuk
nyuciang pratima dipura ulon yaitu: pejatian, canang burat wangi,canang genten,
canang bebaos, toya pesucian (toya cendana, toya segara, kumkuman, toya jeruk,
dan toya nyuh gading), muncuk ambengan, krik kramas, buhu, tehenan, tigasan,
dan solasan.
~
Dilanjutkan pada pukul 13.00 waktu setempat yaitu sehari
sebelum puncak pujawali dilaksanakan upacara mendak Ida Bhatara. Upacara ini
dilaksanakan dengan ngamedalang Bhatara tirtha pada masing-masing pura,
kemudian dinaikkan diatas jempana dan semuanya diarak keliling oleh semua
banjar yang mengemong pura.
Banten yang
digunakan dan dibawa pada waktu mendak yaitu: bayuhan panca phala, tipat
kelanan, sanganan jauman, canang burat wangi, ayunan alit, canang lenga wangi,
dan canang genten.
Banten yang
dihaturkan bila setibanya mendak Ida Bhatara, yaitu: segehan agung, pitik selem
mulus, rujak miyeh, solasan, basokan, tetabuhan (arak, tuak, berem, dan klungah
nyuh gading). Banten ini akan dihaturkan diarepan candi.
~ selanjutnya pada pukul 14.00 waktu setempat, dilaksanakan upacara ngadegan
Ida Bhatara di masing-masing Pura. Upacara ini di pimpin oleh seorang sulinggih
dan beberapa pemangku.
~
Keesokan harinya merupakan hari puncak pujawali, dimana puncak pujawali
dilaksanakan satu hari penuh. Upacara pujawali dimulai pada pukul 07.00 waktu
setempat, diawali dengan ngunggahan banten pada masing-masing tempat yang telah
ditentukan.
~ Upacara Nyejer dilaksanakan tepat satu hari
dan dua hari setelah puncak upacara (pujawali) yang mulai dilaksanakan pada
pukul 06.00 waktu setempat.
~
Upacara Nglukar dilaksanakan tiga hari setelah pujawali. Upacara ini
dilaksanakan pukul 15.00 waktu setempat yang dipimpin oleh pemangku yang telah
ditunjuk. (sesuai penjelasan Jero Mangku
Nengah Catra).
Beliau juga
menyarankan, kalau bisa ketika upacara pujawali pura suranadi yang akan
dilaksanakan pada tanggal 17 september tahun ini, agar di usahakan kami dari
mahasiswa STAHN Gde Pudja Mataram dapat ngaturang bakti di pura tersebut.
2.5 Banjar Pengamong Pura Suranadi
Berdasarkan hasil wawancara
dengan Bapak Wayan Nata dan petunjuk buku yang di
perlihatkan oleh beliau, dapat dijelaskan bahwa meski Pura Suranadi terbagi
menjadi 4 wilayah atau pura, namun pura-pura tersebut merupakan satu kesatuan.
Sehingga keempat pura tersebut di among
atau urus oleh pengurus dan banjar yang sama. Pura suranadi di among oleh 13 banjar atau kurang lebih
sekitar 1.000 umat. Adapun banjar-banjar pengamong pura Suranadi antara lain:
1. Banjar
Semitha Karya Suranadi Barat
2. Banjar
Patus Suranadi Barat
3. Banjar
Muwe Desa Suranadi Barat
4. Banjar
Lempuyang Suranadi Selatan
5. Banjar
Sida Karya Suranadi Selatan
6. Banjar
Tresna Karya Suranadi Selatan
7. Banjar
Rta Tunggal Dharma Seraya
8. Banjar
Suka Karya Eyet Kandel
9. Banjar
Karya Dharma Kuang Mayung
10. Banjar
Gumang Peninjoan
11. Banjar
Sila Dharma Pemunut
12. Banjar
Sida Karya Pemunut
13. Banjar
Satya Dharma Eyet Kendel
2.6 Renovasi dan Pemangku Pura Suranadi
Berdasarkan keterangan Bapak I Putu Sueka Agung, Pura Suranadi
Ulon ini sudah di renovasi sebanyak lima kali. Dimana Pura Suranadi pertama kalinya dipugar sekitar tahun 1720 M atas prakarsa Anak Agung Nyoman Karang raja di Pagesangan pada masa pemerintahan
raja karangasem. Beliau adalah putra pertama I Gusti Anglurah Ketut Karangasem
seorang raja yang dalam perjalanan waktu kemudian meninggalkan Puri Pagesangan
menuju Bali. Pemugaran Pura dipimpin oleh Peranda Sakti Abah yang didatangkan
dari Bali. Beliau adalah cicit dari Danghyang Dwijendra. Pemugaran kedua dilaksanakan
sekitar tahun 1930 oleh pengelolaan punggawa cakranegara selatan. Pemugaran
ketiga dilaksanakan sekitar tahun 1946, pada saat kepengurusan pura suranadi diserahkan kepada
krama pura pusat. Selanjutnya hingga saat ini kepengurusan pura suranadi diserahkan
kepada umat hindu Desa Suranadi.
Adapun
sumber dana yang digunakan untuk merenovasi Pura Suranadi tersebut, berasal
dari tiga sumber, diantaranya:
~ Hasil plaba pura seperti hasil sawah dan tanah
(hasil parkir dan dagang yang ada di
kompleks pura)
~ Dana punia dari
para Bakta
~ Donatur
Pemangku yang ada di pura
Suranadi secara keseluruhan berjumlah 8 orang, namun yang bertugas di pura
Suranadi Ulon sekaligus pura Majapahit berjumlah 3 orang. Dimana
pemangku-pemangku ini bertugas secara bergiliran setiap harinya. Salah satu
pemangku yang bertugas di Suranadi Ulon bernama Pemangku Nengah Catra, yang
menjadi narasumber ketika penelitian.
2.7 Peraturan di Pura
Suranadi Ulon
~ Tidak di
perbolehkan adanya hewan kaki empat masuk ke area pura, misalnya babi dan sapi.
~ Orang yang
dalam keadaan cuntaka dilarang untuk masuk kepura, seperti wanita yang sedang mengalami menstruasi,
wanita melahirkan sebelum 42 hari, bayi yang belum berumur tiga bulan dan
wanita Abortus selama 42 hari.
~ Dilarang
melakukan perjudian diareal pura.
~ Untuk para wisatawan, wajib menggunakan pakaian
(kain) yang sudah disediakan dan penglukatan oleh mangku sebelum masuk ke Utama
Mandala.
~ Para
wisatawan dilarang naik dibagian Luwur/
atas, yang diperbolehkan hanyalah orang-orang yang akan maturan atau
sembahyang.
~ Sebelum masuk ke Utama mandala, wajib
melakukan penglukatan yang sudah disediakan di depan pintu gerbang di madya
mandala. (keterangan dari Mangku Nengah
Catra).
2.8 Struktur Kepengurus Pura Suranadi
Susunan
Personalia Pengurus Krama Pura Suranadi
Periode
2012-2017
1. Dewan
Pembina
~Ketua : I Nyoman Santhi Artana.Amd.tak
~Wakil
ketua : I Gusti Lanang Suniartha
~Anggota :
Semua ketua banjar pengamong dan kepala dusun Hindu se-wilayah Suranadi.
2. Dewan
Penasehat
~ I
Nengah Gatarawi.BA
~ I
Gede Mandia,SH.M.Ag
~ I
Nyoman Sumantri.SH.M.Ag
~ I
Nyoman Adwisana
~ I
Komang Srigata.SP
3. Pengurus
Harian
~
Ketua : I Nengah Segara Yasa
~
Wakil Ketua I : I Made Swastika
~
Wakil Ketua II : I Gusti Nyoman Oka S.Ag
~
Sekretaris : Dewa Komang Puspa
~ Wakil Sekretaris : I Made Sutha
~ Bendahara I : I
Nengah Sirna
~ Bendahara II : I
Gusti Lanang Kawiasa
4. Seksi-Seksi
~
Seksi Yadnya : Ida Wayan Suarsana
Ni Komang Purni
Ayu Ketut Uma
~
Seksi Drowe : I Gede Sumarda, SH.MH
I
Gusti Bagus Kaler
Ni
Made Suryaningsih
~
Seksi Pembangunan : I Putu Sueka Agung,S.St
I
Ketut Wana Prastha
I
Wayan Dana
~
Seksi Humas : I Komang Asta
I
Gusti Bagus Parka
I
Gede Renawan
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pura Suranadi
berada di Dusun Suranadi Desa Selat, Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat.
Dari Kota Mataram berjarak sekitar 15 Km ke arah timur laut. Dimana kata
Suranadi berasal dari dua kata, yaitu "Sura" berarti Dewa dan "
Nadi" berarti sungai. Dalam kamus
bahasa jawa kuno disebutkan bahwa Suranadi juga berarti “Kahyangan”, tempat
para dewa bersemayam.
Pura tersebut
berada di empat buah lokasi yang berbeda
yaitu disebut Pura Ulon,Pura Majapahit, Pura Pengentas dan Pura Pebersihan.
Meski keberadaan pura-pura tersebut berpisah namun secara fisik merupakan satu kesatuan. Keberadaan
Pura Suranadi tidak terlepas dari Kisah perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang
kedua kalinya ke tanah Lombok ini dan juga upacara pengabenan pertama di lombok
sekitar abad ke-16. Di pura suranadi dikenal adanya lima macam tirta
diantaranya tirta pebersihan, tirta pelukatan, tirta pengening, tirta pengebtas
dan tirta tabah. Dimana tirta-tirta ini tidak hanya dapat diambil oleh orang
yang berada dilombok saja namun juga orang yang berasal dari luar lombok.
Luas area Pura Suranadi ulon ini sekitar 65 Ha,
yang terbagi menjadi tiga wilayah yaitu nista mandala, madya mandala dan utama
mandala. Pujawali pura suranadi dilaksanakan pada purnamaning sasih ke lima
yaitu sekitar bulan november. Pura suranadi memiliki 13 banjar pengamong dengan
jumlah warga sekitar 1.000 jiwa. Menurut keterangan yang diperoleh, hingga saat
ini pura suranadi ulon telah mengalami renovasi sebanyak lima kali.
3.2 Saran
Semoga dengan terbentuknya hasil makalah ini
para umat Hindu khususnya
di Lombok, lebih mengenal / memperhatikan
Pura-pura yang ada di Lombok ini. Karena bagaimanapun juga ini merupakan
peninggalan leluhur kita, yang harus kita jaga dan kita lestarikan untuk
nantinya sebgai bekal cucu kita untuk lebih bisa mengenal apa tempat suci
tersebut.
SUMBER:
Pemangku Nengah Catra,18
september 2013
Bapak Nengah Segara Yasa, 18 september 2013
I Ketut Narwada ,18 september 2013
Jero Mangku Buda Arsana, 18 september 2013
Bapak Wayan
Nata,18 september 2013
Bapak I Putu Sueka Agung,18 september 2013